|
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Penganut
kubisme menolak tunduk pada realitas alam semesta. Mereka membuat belokan yang
tajam, keluar dari garis edar realisme, romantisme, dan naturalisme serta
semacam itu lainnya. Mereka mengacak-acak objek menjadi faset-faset geometris-yang
tampaknya sesuka hati- namun tema dasarnya tetap bertahan.
Genius
tidak dilahirkan untuk mengulang romantisme usang. Tidak ada genius tanpa
pikiran gila, kata Aristoteles. Seorang kubisme seolah berpura-pura melukis
objek seperti wanita cantik, tapi hasilnya adalah kesembarangan yang
mengagumkan.
Semisal lukisan
berjudul Tea
Time karya Metzinger, memperlihatkan lukisan seorang wanita dengan
cangkir yang separuh terlihat dari samping persis, dan separuh agak dari atas.
Sementara wajahnya sekali waktu terasa seperti terlihat dari samping dan di
lain kali seperti dari depan dalam bentuk yang kompleks.
Pembangkangan
kepada realitas semesta itu dipelopori oleh seorang maestro dari Spanyol, Pablo
Picasso. Mungkin dia ‘gila’ turunan, kalau tidak orangtuanya yang juga seniman
eksentris tak mungkin memberi nama sepanjang ini: Pablo Diego José
Francisco de Paula Juan Nepomuceno María de los Remedios Cipriano de la
Santísima Trinidad Ruiz y Picasso.
Seperti
teori The
Black Swan (Nassim Nicholas Taleb), sebuah
fenomena yang baru tidaklah benar-benar baru ketika ia memiliki tinjauan ke
belakang. Aliran kubisme duet Picasso - Georges Braque, sebenarnya telah
didahului oleh pematung primitif Afrika, ribuan tahun sebelumnya.
Orang
Afrika sudah memulai pembangkangan kepada realitas semesta. Patung Negro Afrika
memberikan ilham kebentukan pada seniman modern Eropa terutama pada Kubisme
Picasso. Tahap awal ialah proses pembentukan gaya Kubisme yang ditandai adanya
deformasi bentuk alam menjadi bentuk geometris, dan penerapan konsep kebentukan
patung primitif pada bidang dua dimensional.
Di tangan
Picasso, alam atau obyek diungkapkan melalui
bentuk-bentuk geometris, seperti balok, silinder, limas, kerucut, dan
lain-lain, dalam suatu kesatuan komposisi yang mempertimbangkan unsur-unsur
estetik.
Picasso adalah pelukis paling aktif dengan 20.000 lukisan
seumur hidup. Di samping cakap dalam membuat patung, grafis, keramik, kostum penari balet sampai tata panggung.
Seorang gadis cantik akan mendatangi Picasso untuk melihat
seaneh apa wajahnya jika berubah menjadi balok atau silinder. Konon, setiap wanita memberikan inspirasi berbeda baginya.
Kebetulan ia seorang don juan.
Dari
Marie-Terese Walter kekasihnya, Picasso melahirkan karya La Reve (mimpi)
yang laku terjual 48.402.500 dolar AS, sebuah nilai yang sangat fantastik untuk
ukuran abad 19. Dikutip dari biografi Picasso, dari kekasih yang lain lagi, Eva
Gouel, terlahir lukisan Femme Assise Dans Un
Fauteuil, yang termasuk salah satu adikarya kubistis.
Picasso
lahir di Malaga, Spanyol 25 Oktober 1881. Ia adalah sebaris seniman yang
terpengaruh oleh kehidupan sosial pada masa sulit dan peperangan. Hal yang
kemudian terefleksi kepada obyek dan komposisi lukisan Kubisme.
Obyek
yang merepresentasikan kegelisahan dan penuh simbolis banyak diungkapkan para
seniman sebelum perang. Suasana kekacauan sosial dan ketatanegaraan juga tidak
lepas dari perhatian. Ketidaksetujuan terhadap kekejaman dan kekerasan perang
muncul pula ke permukaan kanvas sebagai tema pilihan.
Picasso
seorang melankolis, berkepribadian kuat, egois dan hidupnya sangat bebas
tercermin dari karya-karyanya yang kontroversial dan sangat ekspresif, beda
dari yang pernah ada sebelumnya.
Di sisi
lain, kemelankolisan Picasso terungkap dari sifatnya yang sangat sensitif serta
rinci dalam menilai suatu kenyataan hidup. Ia sanggup membuat kenyataan hidup
itu sebagai sumber inspirasi karyanya.
Misalnya,
lukisan Mesra
Cinta (periode biru) yang bersuasana muram dan pesimis, mencerminkan
masa-masa sulit Picasso di tengah situasi yang kompetitif. Lukisan Guernica yang
menjadi pusat mata di Museum Reina Sofia (Madrid) adalah goresan tangan dari
hasil ingatannya pada tragedi berdarah awal tahun 1930-an.
Picasso
seolah menegur kepada kita yang terlalu memuja eksistensi. Bahwa fakta yang
terlihat dari fenomena optik yang tertangkap oleh lensa mata kita hanyalah
fakta kanvas alam semesta. Tidak mutlak sebagai esensi atau kebenaran.
Seperti
dipercaya Platonis, bahwa yang terlihat di alam semesta hanyalah bayangan dari idea. Terungkap
oleh Mitos
Gua dalam Republic (Plato)
bahwa objek yang terlihat di dunia adalah pantulan bayangan idea belaka.
Untuk
kembali mengingatkan kita bahwa di balik teks ada konteks, di balik fakta ada
ketersembunyian. Di balik bayangan ada cermin, di balik negara fakta (distopia)
ada negara filosofis (utopia).
Dunia ini
terlalu luas untuk sekadar berkutat pada ilusi optik dari sepenggal fakta yang
kita terima itu ke itu saja. Guna memecah kebekuan dan kebuntuan konservatif,
ada baiknya kita membongkar cara berpikir kita seperti cara kubisme: pada awalnya obyek diuraikan atau dianalisis, kemudian
menuju proses abstraksi lalu ditarik pada suatu sintesa.
Bahkan obyek dikumpulkan pada suatu tempat, dan bertumpuk,
saling menumpang, dan terkadang bertransparansi, menuju kepada realitas baru. Mengapa takut untuk membuat tikungan tajam dari jalur
biasa? Bukankah Kubisme Picasso sudah dibayar mahal untuk itu. ~MNT
Comments