Sumber: http://images.says.com |
Oleh Muhammad Natsir tahar
Apollo menghukum Marsias yang telah lancang menantangnya
sebagai dewa. Apollo menggantung Marsias secara terbalik di sebuah pohon dan
mengulitinya hidup-hidup sampai Marsias tak punya kulit dan mati.
Marsias adalah seorang satire yang menemukan alat musik
bernama Aulos dan
mulai memainkannya. Dalam waktu singkat, Marsias pun menjadi pesohor pemain Aulos terhebat.
Dengan kelebihannya itu, ia berani menantang Apollo sebagai dewa musik.
Bukan soal apakah ia kalah atau menang, tapi soal dia telah
berani menantang dewa dan kelancangan itu tidak termaafkan. Tidak ada
dialektika tentang benar dan salah serta hukum kausalitas. Penentangan adalah
sebuah kedurhakaan.
Nasib sama menimpa Thamiris, pemain alat musik bernama Lira. Lancang
menantang para dewa Muse, maka ia dibutakan, pita suaranya dirusak hingga tak
ada lagi nyanyian dan puisi. Nasib naas ini pula yang menimpa Hang Jebat dengan
keris Taming Sari di tangannya.
Jebat adalah benang kusut epos tanah Melayu yang merintih
sendirian di ujung ajalnya. Tidak ada pembelaan untuk Jebat, garis tangannya
seperti Marsias dan Thamiris, siapa yang berani berpikir di luar kotak? rakyat
sudah terlalu lama bersimpuh di kaki sultan.
Padahal dulu kala, di pangkal sejarah imperium Melayu,
Demang Lebar Daun sebagai representasi jelata telah mengikat perjanjian dengan
Bapak Raja Melayu Sang Sapurba tentang adanya kesetaraan dan timbal balik,
semacam equality
before the law dalam Magna Charta.
Namun dalam lintasan kosmik zaman feodal apapun, kesetaraan
itu tak pernah ada. Rakyat sudah terhegemoni sejak lahir hingga meninggal,
bahkan hampir tidak berani sekadar berpikir untuk berpihak kepada patriotisme
jalan sunyi yang dilewati Sang Rajuna Tapa, Jebat dan Megat Seri Rama:
membalas raja-raja zalim.
Gaia yang marah karena anak-anaknya dikurung di Tartaros,
menyuruh para raksasa untuk bangkit melawan para dewa Olimpus dan mengakhiri
pemerintahan mereka. Tapi siapakah yang disebut pahlawan, dia adalah Herakles
yang berhasil menumpas para raksasa suruhan Gaia. Gaia adalah personifikasi
bumi dalam mitologi Yunani. Sejarah melupakan anak-anak Gaia yang dikurung
untuk mengenang kepahlawanan Herakles.
Hang Tuah bahkan lupa bahwa dirinya lah yang dibela, sebab
dialah Jebat durhaka. Lupa bagaimana zalimnya Sultan Malaka kepadanya.
Kekasihnya direnggut, dan ia semena-mena dihukum bunuh hanya karena bisikan
Karma Wijaya yang track record-nya
tak elok. Tak setitikpun pengorbanannya dihargai sultan.
"Aku datang tidak untuk mempertengkarkan siapa membela
dan siapa menitahkan, aku datang untuk menentukan, menghukum, yang diwakilkan
padaku untuk baginda menamatkan hidupmu yang telah derhaka," inilah sabda Tuah sebelum menumpas Jebat. Sejarah
melupakan pembelaan tulus suci Jebat kepada sahabatnya itu untuk mengenang
kepahlawan Tuah. Semesta seolah mengutuk Marsias dan ia pantas mati untuk
lancang kepada Apollo.
Mitologi Tuah dan Jebat adalah dialektika antara legalitas
dan moralitas. Apa yang hendak didahulukan? Mereka hidup di zaman daulat atau
legalitas berada di puncak tertinggi. Maka moral akan selalu dikorbankan.
Pejuang moral bahkan dianggap pendurhaka ketika mereka merusak daulat.
Dalam The Metaphysics of
Moral (Metafisika Moralitas), Immanuel Kant menghubungkan pendapat
antara legalitas dan moralitas. Legalitas dalam pandangannya adalah sebagai
kesesuaian atau ketidaksesuaian.
Kesesuaian atau ketidaksesuaian yang ada dalam diri manusia
belum bernilai moral, dikarenakan dorongan batin tidak menjadi objek penilaian.
Nilai-nilai moral itu baru ada apabila diperoleh dalam moralitas.
Moralitas merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan
manusia dengan norma hukum batiniah manusia. Kant melihat moralitas sebagai
kebaikan yang tertinggi, dan kebaikan yang tertinggi itu menjadi kebaikan yang
sempurna. Kebaikan yang dimaksud Kant berbeda dengan kebaikan dalam arti
empiris, atau kebaikan yang bersifat sementara.
Dari pendapat Kant kita kemudian menemukan benang merah
bahwa Jebat berada dalam ketidaksesuaian untuk meruntuhkan legalitas penguasa
dengan alasan moral apapun. Sedangkan Tuah dijunjung tinggi berkat ia berada di
dalam kesesuaian itu.
Lalu apakah tulisan ini berpretensi untuk memperuncing
friksi Tuah-Jebat? Ketika Kant dan pejuang moralitas lainnya akan memihak
Jebat. Mungkin Tuah sudah benar pada zamannya, tapi Jebat adalah manusia yang
berani melampaui zaman itu.
Tuah adalah seorang yang idealis khas era feodalisme, dan
Jebat adalah seorang pragmatis yang berkiblat kepada kebenaran. Tapi di masa
itu Jebat dianggap menggunakan pragmatisme negatif (meminjam William Ernest
Hocking), atas asas yang mengatakan bahwa apabila suatu ide tidak bekerja, maka
tidak mungkin akan benar.
Ketika Tuah-yang sebenarnya tidak dibunuh tapi
disembunyikan oleh Datok Bendahara-dipulihkan kembali jabatannya sebagai
laksmana, maka logika kita sedikit terusik. Tuah menyisakan teka teki apakah ia
semata mengabdi demi sultan atau soal politik kekuasaan di lingkar istana.
Lalu siapakah reinkarnasi Tuah dan Jebat di orde milenial
kini? Mulailah menebak-nebak, mencocok-cocokkan, dan menarik konklusi, apakah
yang kini dominan untuk ditinggikan, legalitas kah atau moralitas? Bukan pula
tulisan ini untuk melaga antara legalitas dan moralitas, jika keduanya berada
di dalam bingkai yang sama, maka itu adalah jalan menuju utopia. ~MNT
Comments