Ilustrasi: www.pritikin.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Ramadan
dapat menjadi satu etape antara hedonistik menuju transenden. Ramadan
memerangkap ruang dan waktu untuk menihilkan logika-logika sekuler yang
membatasi ego manusia dengan Tuhannya. Sehingga untuk melewati fase ini, Allah
hanya memanggil orang-orang beriman, tidak cukup hanya label Islam.
Di luar
teologis, salah satu aliran filsafat yang dapat didekatkan dengan Ramadan
adalah humanisme. Ia telah menjadi doktrin beretika yang cakupannya diperluas
melebihi batas etnis atau identitas tertentu. Humanisme dalam Islam dapat
dipanggil sebagai hablumminannas yang
diikat oleh dogma muamalah.
Di sini
humanisme mengalami kontradiksi antara religi dan sekuler. Ketika kita sebagai
umat post modernis dipeluk sangat ketat oleh dalil-dalil humanisme sekuler yang
ditandai oleh globalisme, teknologi dan jatuhnya kekuasaan agama, maka Ramadan
hadir meluruskan bahkan menihilkan.
Bila di
luar Ramadan hubungan sosial kita kerap memenuhi unsur transaksional dalam
kawah besar kepitalisme dan politis, maka Ramadan akan membakar logika yang
dibangun oleh filsafat umum.
Dalam
Ramadan seorang Muslim misalnya akan memberi lebih banyak karena adanya
pelipatgandaan pahala dan balasan di dunia. Di tengah momen safari, sedekah dan
santunan Ramadan dijadikan siasat selebritas beraroma politis atau narsis.
Allah
memanggil hanya umat yang transenden untuk dapat memasuki zona Ramadan.
Panggilan ini bersifat khusus sebab Ramadan adalah sebentuk perlawanan yang
keras terhadap sistem eksistensial yang selama ini telah mengatur gerak dan
pikir manusia di ujung zaman.
Adalah
eksistensialisme yang menjadi tuhan baru kaum hedonis. Sebagai salah satu aliran besar dalam filsafat,
khususnya tradisi filsafat barat. Ia mempersoalkan eksistensi manusia dan
eksistensi itu dihadirkan lewat kebebasan.
Jean-Paul Sartre yang terkenal dengan diktumnya human is
condemned to be free atau manusia dikutuk untuk
bebas. Ini akan menjadi semacam pikir sesat ketika kebebasan ditaruh di
luar aturan Tuhan. Bagi eksistensialis, kebebasan adalah satu-satunya
universalitas manusia, sehingga batasan dari kebebasan dari setiap individu
hanyalah kebebasan individu lain.
Maka di dalam zona Ramadan, pikiran kita yang mungkin
terhegemoni oleh eksistensi yang dibangun oleh filsafat barat dapat segera
dinetralisasi, sebab Ramadan sepenuhnya otoritas Tuhan. Orang berpuasa tidak
diberi sedikitpun kebebasan untuk menentukan anasir benar dan salah bagai
eksistensialis, kecuali sudah digenggam penuh oleh Allah. “Semua amal anak Adam
untuknya kecuali puasa. Ia untukKu dan Aku yang akan membalasnya,” demikian
firman Allah dan hadist Qudsi.
Sehingga dalam Ramadan, dalil filsuf Sartre bahwa eksistensi
mendahului esensi dapat dipatahkan di sini. Karena dalam Ramadan – dan memang
semestinya dalam iman – bahwa esensi manusialah yang mendahului eksistensinya.
Esensi adalah landasan dasar manusia yang tak bisa diubah-ubah yang terikat
aturan Tuhan, sedang eksistensi adalah pilihan bebas. Bagi manusia bertuhan
eksistensinya akan dipandu oleh esensinya sebagai penghamba Tuhan.
Para filsuf yang menganut mazhab eksistensialisme mungkin
hanya meletakkan eksistensi pada prinsip fenomonologis yang berdasarkan hanya
kepada fenomena yang tertangkap oleh kesadaran pengalaman indera manusia. “Cogito ergo sum”, aku berpikir maka ada,
kata Descartes. Dengan kata lain, manusia tidak lagi ada ketika mereka berhenti
menangkap fenomena untuk memandu eksistensi mereka.
Ramadan telah mengajak kita pulang kepada pengembaraan
spritualitas yang hakiki. Sadar atau tidak, kita yang saban waktu melakoni diri
sebagai makhluk materialis bahkan begitu taklid kepada eksistensialis, Ramadan
dapat dijadikan momentum untuk mengenal esensi.
Sebagai makhluk beragama yang melaksanakan ibadah sebatas ritual kosong bahkan narsistik, Ramadan dapat menjadi terminal kontemplatif untuk memperbaiki tujuan ibadah kita.
Sebagai makhluk beragama yang melaksanakan ibadah sebatas ritual kosong bahkan narsistik, Ramadan dapat menjadi terminal kontemplatif untuk memperbaiki tujuan ibadah kita.
Ramadan secara universal akan mendatangkan nilai tambah bagi
hubungan theosentris kita sebagai hamba Allah dan hubungan antroposentris kita
dengan sesama muslim dan sesama makhluk. ~MNT
Comments