Piagam Jakarta: banpustaka.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Sebagai
dokumen historis, Piagam Jakarta (Jakarta
Charter) menyisakan hal-hal yang
tidak selesai. Kendati sebagian pihak menganggap risalah ini berujung pada
kompromi antara para tokoh Islam dengan penganut kebangsaan lainnya, ia menjadi
api abadi di dalam sekam sejarah keindonesiaan.
Piagam Jakarta bermuara pada perubahan butir Pancasila dengan
mencoret sila pertama yang berbunyi: Ketuhanan dan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya. Dengan penghapusan ini, pembukaan konstitusi yang tadinya
disebut sebagai Piagam Jakarta pun berubah drastis. Sebelumnya, para wakil
kelompok Islam yang menjadi anggota Dokuritsu Zyumbi Tyioosaki atau Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berusaha keras menjadikan Islam sebagai Dasar Negara. Kompromi
disepakati setelah dijanjikan bahwa syariat
Islam akan masuk kembali dalam konstitusi daerah setelah MPR terbentuk enam
bulan kemudian.
Kita melihat konteks kekinian, percaturan politik Indonesia
tetap berselisih tentang pemisahaan antara agama dengan Negara. Sementara tata
hukum Negara telah dijalankan di pertengahan antara Islam dan sekuler.
Di tarik garis besar, setidaknya ada dua kutub utama yang
terlibat perdebatan wacana pemberlakuan hukum Islam di Indonesia yakni kelompok
yang menekankan pendekatan formal-tekstual dengan kelompok yang menekankan pada
pendekatan kultural-substansial.
Dalam
tahun 1938 sampai 1940, wacana perdebatan antara kelompok Islam dengan
nasionalis pernah mencapai puncak. Media cetak bernama Panji Islam dan Al-Manar menyediakan
ruang yang besar antara Sukarno sebagai tokoh nasionalis yang sedang jatuh hati
kepada sekularisme Mustafa Kemal Attaturk di
Turki dengan Muhammad Natsir sebagai intelektual Islam yang mematahkannya.
Perdebatan muncul ketika Soekarno menulis artikel berjudul “Apa
Sebab Turki Memisahkan Antara Agama dan Negara”. Dalam tulisannya,
Bung Karno menyebut sekularisasi yang dijalankan Kemal Attaturk di Turki yakni
pemisahan agama dari negara sebagai langkah paling modern dan paling radikal.
Kata Bung Karno: ”Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu
dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki
sendiri, dan tidak kepada negara. Maka oleh karena itu, salahlah kita kalau
mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita
samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia?“.
Natsir
menyindir bahwa Sukarno terlalu banyak membaca kitab-kitab Eropa yang memberi
gambaran keliru tentang Islam. “…bukanlah
bahwa “Agama” itu cukup sekedar dimasuk-masukkan saja di sana sini kepada
“Negara” itu. Bukan begitu! Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat.
Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu bagian yang
tidak dapat dipisahkan, satu “intergreered deel” dari Islam,” tulis Natsir.
Menurut
Sukarno, demokrasi tidak akan ada apabila Negara digabung dengan agama,
sementara Natsir berpendapat bahwa realisasi ajaran Islam tidak akan sempurna
tanpa negara sebagai alatnya.
Perdebatan
historis ini menjadi penting ketika melihat kondisi Indonesia belum juga
memiliki Hukum Nasional, kita masih meminjam sangat banyak dasar hukum warisan
Belanda. Seperti ditulis CST Kansil, setiap Negara yang merdeka dan berdaulat
harus mempunyai suatu Hukum Nasional yang baik (pidana dan perdata) yang
mencerminkan jiwa dan pandangan hidup bangsanya.
Kalau
Perancis dapat menunjukkan Code Civil-nya
yang menjadi kebanggaan mereka, Swiss dengan Zivil Gezetzbuc-nya
yang terkenal, diikuti dengan RRC dan Philipina yang sudah punya Code Civil masing
–masing, Indonesia belum juga dapat menunjukkan kepada tamu – tamu asingnya
Kitab Undang-Undang Hukum Nasional, baik dalam bidang keperdataan maupun
kepidanaan.
Sejak
zaman Belanda, Hukum Islam sudah digempur melalui Teori Receipte. Dalam
teori ini hukum Islam dipertentangkan dengan hukum Adat (yang dimaksud hukum
artifisial ciptaan para sarjana Belanda). Teori ini digagas oleh tokoh
orientalis Belanda Snouck Hurgronje - menyamar sebagai agamawan bernama Abdoel
Gafar - oleh intelektual Muslim Hazairin teori tersebut dikecam
sebagai teori Iblis.
Perihal
agama dan Negara terus menjadi Dikotomis. Tahun 1970, Nurcholis Madjid
memunculkan pandangan bahwa dalam Islam, antara agama dan Negara adalah dua hal
yang berbeda walaupun
tidak terpisahkan. Setidaknya pandangan ini dapat menjadi jalan tengah bahwa
substansi keislaman lebih penting ketimbang formalisasi teks-teks Islam.
Agus
Muhammad Najib dalam tesisnya Pengembangan
Metodologi Fikih Indonesia dan kontribusinya bagi pembentukan hukum
nasional menyebut, pemikiran fikih Indonesia adalah jalan tengah di
antara kelompok formal-tekstual dengan kelompok kultural-substansial. Kelompok
terakhir menekankan bahwa yang lebih penting adalah penyerapan nilai – nilai
Islam secara kultural daripada formalisasi teks.
Sementara
Najib menyebut, pemikiran fikih yang bersifat formal-kontekstual adalah jalan
tengah atau moderat. Hal ini merupakan upaya untuk memformulasikan hukum Islam supaya
dapat sesuai dengan konteks sosial kultural masyarakat Indonesia.
Titik
pemikiran kita sebagai jalan tengah adalah dengan menyadari bahwa Indonesia
bukan Arab apalagi Belanda. Meskipun di antara keduanya terdapat benang
merah. Seperti
kata Prof DR Busthanul Arifin, sebenarnya hukum Belanda sebagai asal hukum
positif di Indonesia adalah juga berasal dari hukum Islam.
Sistem hukum sipil (kontinental) jalur pengambilannya adalah dari khazanah hukum Islam Mesir, khususnya Iskandaria, dan sistem hukum Anglo Saxon dengan jalur pengambilannya dari Sicilia yang pernah dikuasai Islam.
Sistem hukum sipil (kontinental) jalur pengambilannya adalah dari khazanah hukum Islam Mesir, khususnya Iskandaria, dan sistem hukum Anglo Saxon dengan jalur pengambilannya dari Sicilia yang pernah dikuasai Islam.
Menurut
Busthanul, penegakan hukum secara aplikatif berbeda dengan penegakan hukum
sebagai komoditas politik yang terjerumus pada apologistik (membela iman) tanpa
berupaya mewujudkan hukum lainnya yang ada di Indonesia. Selagi belum ada
konsensus nasional tentang perumusan Hukum Nasional Indonesia yang dapat
mengakomodasi semua pihak, selama itu pula Piagam Jakarta akan menjadi api
dalam sekam. Sekarang tinggal kita, pilih teks atau konteks?. ~MNT
Comments