Oleh Muhammad
Natsir Tahar
Demokrasi kita sedang lelah. Lelah mendaki langit esensi
tapi hanya berputar – putar di selingkaran horizon. Orang – orang yang terlibat
di dalamnya begitu gemar memuja kedangkalan dan memproduksi bualan. Demokrasi
ditafsirkan sebatas kepuasan bercakap-cakap dan iring-iringan lima tahunan yang
kekanak-kanakan.
Prasyarat demokrasi yang sempurna adalah kecerdasan publik.
Tanpa itu demokrasi hanyalah kertas kosong yang dicoret-coret para kelana
politik. Menyembah demokrasi adalah sebuah kekeliruan, karena ia hanyalah
perkakas. Pilih mana, pemimpin yang lahir dari monarki absolut tapi mampu
membawa kemakmuran atau pemimpin yang tercipta dari perkakas demokrasi tapi
membiarkan rakyatnya terjerembab lama di pelimbahan papa?
Maka demokrasi bukanlah tujuan, ia semata laluan. Kita
sudah mufakat untuk menjalankan bangsa ini dengan sistem demokrasi karena
secara historis sudah tidak ada cara lain yang dapat memuaskan semua orang.
Mestinya juga kita sepakat bahwa seorang pemimpin adalah perkakas demokrasi.
Pemimpin bukan dewa dewi langit yang dititiskan sebagaimana
mitologi dalam monarki absolut. Memilih demokrasi berarti berhenti memuja
pemimpin atau calon pemimpin laksana petapa suci. Mengkultuskan pemimpin adalah
aksi kontra demokrasi. Dalam esensi demokrasi, rakyat adalah pengendali
perkakas, bukan sebaliknya. Kata kuncinya Dēmokratía (kekuasaan
rakyat) bukan Aristocratie (kekuasaan elit).
Jika seorang figur sudah dikultuskan maka mata pemujanya
sudah kabur. Yang kemudian tercipta adalah ilusi optik bahwa pujaan mereka
laksana mistikus yang jauh dari salah. Demokrasi tak pernah ada selama rakyat
tak sadar diuntung, bahwa mereka adalah patron yang sebenarnya bukan malah
menjadi pelayan apalagi orang upahan. Tidak dapat tidak, kunci gerbang
demokrasi yang esensial adalah kecerdasan publik dan entah kapan.
Ilusi Optik pertama kali dijelaskan oleh Epicharmus pada
abad V SM yang kemudian diikuti oleh Protagoras, Aristoteles dan Plato. Ilusi
Optik menjurus kepada definisi fisika sebagai sesuatu yang membelokkan
realitas, dan umumnya dimiliki oleh kebanyakan orang. Epicharmus menyebut itu
terjadi karena indra bisa menyesatkan, namun Protagoras mengatakan ilusi optik
muncul karena lingkungan yang bodoh (membodohi atau mencitrakan). Sementara
Aristoteles membenarkan keduanya, bahwa ilusi dapat terjadi karena indra dan
manipulasi objek.
Dalam perjalanan pengetahuan waktu, ilusi optik diperkaya
oleh para filsuf berbeda dan para peneliti. Salah satunya Hermann von Helmholtz
(abad XIX). Ahli fisika dari Jerman ini mengajukan ide ilusi kognitif. Menurut
Helmholtz, ilusi kognitif muncul dari asumsi seseorang yang memegang sekitar
lingkungannya atau dunia secara keseluruhan. Otak dan mata manusia membuat
kesimpulan tidak sadar (auto pilot) berdasarkan asumsi dan
dengan demikian menciptakan ilusi kognitif.
Bila ilusi optik ditarik ke alam demokrasi, ia telah
menjadi cara rakyat untuk menerjemahkan dan memilih siapa pemimpin mereka.
Persona seorang pemimpin atau calon pemimpin kemudian dikultuskan. Ilusi optik
ini membuat siklus demokrasi demikian berisik. Meributkan isu permukaan tapi
jauh dari kontemplasi atau perenungan yang senyap. Berdasarkan ilusi kognitif
mereka membuat pembenaran-pembenaran yang seolah-olah cerdas.
Indonesia kekinian sudah berada dalam polarisasi yang beku
lalu memegang ilusi optik masing-masing yang tak tergoyahkan. Mestinya rakyat
sebagai tuan utama demokrasi melesat dari dua kutub ini lalu mengamati dari
ketinggian untuk mendekat kepada Tuhan agar mampu melihat fenomena secara
terang dan holistik.
Publik yang cerdas tidak tabu soal tagline @gantipresiden2019 atau
#lanjutduaperiode, dan bicara tentang fungsi dan disfungsi serta telaah –
telaah dalam netralitas ruang publik. Bukan penghamba tapi penentu. Bukan
sebarisan atau kerumunan hampa, tapi analis yang cendikia. Laksana instrumen
musik, bukan tabla atau seruling yang jadi soal, tapi mana yang paling bisa
memainkan harmoni yang senada dengan kebutuhan rakyat.
Esensi demokrasi adalah rakyat semesta dan substansinya
adalah perkakas menuju kemakmuran. Oleh ilusi optik kita gagal melihat esensi
dan eksistensi demokrasi. Kualitas seorang figur pemimpin dikacaukan oleh ilusi
– ilusi yang muncul dari dalam diri dan kepalsuan yang dipampangkan oleh
politik kekuasaan. Selama rakyat tidak mampu menghargai dirinya sendiri sebagai
tuan dan bukan pelayan demokrasi, selama itu pula demokrasi akan
kekanak-kanakan dan berputar di selingkaran horizon. Entah kapan kita mulai
memanjat ke langit esensi. ~MNT
Comments