Ilustrasi: https://www.cgstudio.com |
Oleh Muhammad Natsir
Tahar
Di balik tirai penyingkapan manusia di fase awal, kita akan
melihat api. Apakah itu kerlipan, kilatan atau kobaran. Api membuat manusia
kuat di bumi untuk mengusir dan menguasai apapun. Lain dari itu, kitab suci
sudah bercerita tentang makhluk api bernama Iblis yang berhasil membuat Adam
dan Hawa terusir dari surga.
Penjinakan api adalah sebuah langkah raksasa. Dengannya
manusia bisa memasak dan memakan dengan cepat. Sebab daging mentah butuh waktu
lima jam untuk dikunyah. Para turis Zaman Batu mencatat destinasi wisatanya ke
wilayah – wilayah pembakaran baru sambil memanen hewan, kacang – kacangan,
serta umbi yang telah terpanggang api. Api menjadi wisata, seperti Nero
membakar Roma dan menari dari kejauhan.
Singa dan srigala purba boleh melenggang sebagai makhluk
kejam di hutan, tapi begitu seorang gadis kecil penghuni gua sudah mahir
memantik api, para predator hutan manapun segera hangus atau tersingkir dalam
waktu beberapa jam. Hutan – hutan dibakar untuk menjadi sabana, tempat tinggal
baru, atau laluan. Secara domestik, api mampu melunakkan makanan, membunuh
bakteri dan parasit, penerang sekaligus penghangat. Tapi lebih dari itu api
telah pun membangun tembok yang tinggi antara manusia dan makhluk planet bumi
lainnya. Api dan kemampuan berbicara membuat manusia berada di pentas dunia.
Manusia sudah rasis sejak pertama, ketika jumlahnya sedikit
spesies manusia demikian akur. Mereka hanya menjadi rasis terhadap makhluk
tegak lainnya. Panah api ditembakkan kepada Homo Rudoflensis di
Afrika Timur, Erectus di
Asia Timur dan Naenderthal di
Eropa dan Asia Barat. Ketiganya punah (meminjam Yuval NH
dalam Sapiens).
Manusia makin rajin membakar hutan jelang memasuki revolusi
pertanian. Jika saat ini perkebunan dibuka dengan cara yang sama hingga kabut
asap menjadi bencana nasional, kita dengan mudah menebak: DNA primitif para
pembakar tidak mudah terputus dalam ribuan generasi.
Kisah kelam tentang api dalam episode selanjutnya adalah
pembakaran kota, seperti pasukan Mongol membakar Baghdad dan buku-buku. “Di
manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia,” kata
Heinrich Heine. Hal yang menjadi bencana literasi sangat memilukan dalam
sejarah, ketika buku-buku berharga menjadi lautan karbon hitam yang
diinjak-injak pasukan dungu. Tentang –misalnya- 40.000 buku telah dihanguskan
di Aleksandria, adalah bagian terpedih dalam sejarah panjang pembakaran buku
yang dimulai di Sumeria Kuno, sekitar 4.000 tahun Sebelum Masehi.
Manusia penguasa api telah diperkenalkan kepada mitos dan
agama. Jiwa-jiwa primitif dan kosong dibersihkan ke dalam gereja Gotik, masjid
Islam, ashram Hindu, perkamen Taurat, roda doa Tibet atau dinding-dinding
ratapan Yahudi. Bahkan manusia menyembah api itu sendiri, atau bola api besar
bernama matahari di samping batu-batu paganisme. Batu – batu yang sebenarnya
jika diadu, menghasilkan api juga.
Sejak itu manusia diperkenalkan kepada Iblis atau makhluk
kegelapan dengan istilah apapun. Mereka terbuat dari api untuk menjerumuskan
manusia ke dalam api di hari pembalasan. Manusia adalah makhluk penguasa api di
dunia nyata, tapi jiwanya dipanggang oleh api abstrak yang disulut para legiun
setan. Maka api-api yang dikuasai manusia akan semakin menghanguskan, dan
api-api yang berkobar dalam jiwanya akan terus membinasakan.
Api-api merambat, memasuki gudang
mesiu, mengendap di plutonium dan menjadi nuklir. Senjata-senjata api membuat
suku-suku di Afrika saling bunuh dalam tragedi Berlian Berdarah dan seterusnya.
Pertempuran intelektual antara Adam Smith dan Karl Marx
misalnya, adalah pergelutan pikiran antara dua filsuf demi kesejahteraan umat
manusia, sampai kemudian manusia menerjemahkannya dengan cara api. Maka
kapitalisme dan komunisme di belakang hari mencatat sejarah sama
jahatnya.
Adam Smith yang dianggap sebagai pencetus kapitalisme
justru adalah seorang dosen filsafat moral. Dia tidak hanya bicara tentang
pasar bebas melainkan juga tentang moral sentimen. Dengan kata lain, konsep
dasar ekonomi sesungguhnya adalah sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Sedangkan Marx adalah seorang pemikir sosialisme ekonomi
yang paling berpengaruh, terlepas apakah dia penganut materialisme
historis-atheis. Gerakan sosialisme ekonomi sendiri muncul ketika pasar yang
menjadi andalan kapitalisme, mulai bergerak liar dan meninggalkan konsep
ekonomi sebagai kegiatan bersama untuk mencapai kebaikan bersama. Masyarakat
terbelah dan terpola menjadi kelompok kapitalis dan buruh, lalu menjadi borjuis
dan proletar. Ekonomi bertumbuh tetapi alih-alih sejahtera bersama, para
borjuis menjadi penindas dan penghisap.
Api penghangus telah berada di tangan para penjahat
revolusi industri dan kolonialis di pihak Smith dan api-api lainnya di pihak
Marx dipegang dengan brutal oleh Lenin, Stalin, Mao, Castro sampai Pol Pot dan
para komunis radikal yang membantai di Indonesia. Api berjabat tangan dengan
kedunguan dan ketergesa-gesaan untuk tidak memikirkan esensi Smith dan Marx,
sebagai nabi baru mereka.
Api telah menyediakan titik panas di sebentang jembatan
panjang sejarah. Menjadikan umat manusia sebagai makhluk terkuat sekaligus
terlemah secara akal budi. Dan makhluk api telah ikut campur sedemikian jauh
untuk sebuah akhir api abadi di hari perhitungan.
Inilah hikayat api. Secara domestik, api mampu melunakkan
makanan, membunuh bakteri dan parasit, penghangat dan penerang di masa lampau,
lalu juga menjadi energi listrik di abad modern untuk menyalakan apa saja. Api
mampu menjadi teman terbaik ketika ia kecil, atau berhati-hatilah ketika ia
mulai membesar. Jangan bermain api dan jadilah penjinak api, bukan sebaliknya.
Agar hikayat api tidak melulu soal kobaran. ~MNT
Comments