Ilustrasi: cdn.pixabay.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Malam penghujung Januari 2018, sebagian orang di bumi
menyaksikan trifecta surgawi, gabungan tiga kejadian langka:
bulan super, bulan biru dan bulan merah darah. Sebelumnya pernah terlihat pada 31
Januari 1866 di benua Amerika, Eropa, serta sebagian kecil Asia, dan Afrika.
Itu baru tentang bulan, benda langit terdekat yang hanya berjarak 1,3 detik
cahaya dari bumi. Bagaimana dengan sesuatu yang melebihi itu?
Dada ini akan bergetar bila tengah membayangkan bahwa kita
adalah bagian dari alam raya yang maha luas, yang hanya bisa diukur dengan
kecepatan cahaya, 300.000 kilometer per detiknya. Betapa luasnya Bima Sakti,
galaksi kita yang jarak dari ujung ke ujungnya ditempuh selama 100.000 tahun
cahaya.
Hasil sensus atau pencacahan terbaru dengan teleskop Hubble dari alam semesta yang dipublikasikan mengungkap jumlah galaksi meningkat sepuluh kali lipat dari cacah galaksi sebelumnya yakni 200 miliar galaksi, sekarang dua triliun. Setiap galaksi dihuni miliaran bintang. Setiap satu bintang memiliki susunan tata suryanya sendiri, dan setiap planet dalam tata surya itu memiliki bulan – bulannya sendiri, satu dua atau lima. Kita berada di tata surya bintang matahari yang berjarak hanya 8,3 menit cahaya.
Hasil sensus atau pencacahan terbaru dengan teleskop Hubble dari alam semesta yang dipublikasikan mengungkap jumlah galaksi meningkat sepuluh kali lipat dari cacah galaksi sebelumnya yakni 200 miliar galaksi, sekarang dua triliun. Setiap galaksi dihuni miliaran bintang. Setiap satu bintang memiliki susunan tata suryanya sendiri, dan setiap planet dalam tata surya itu memiliki bulan – bulannya sendiri, satu dua atau lima. Kita berada di tata surya bintang matahari yang berjarak hanya 8,3 menit cahaya.
Perlu memahami posisi dan ukuran kita di antara benda –
benda langit, untuk melihat betapa maha luasnya ruang langit dan betapa
kecilnya kita. Maka pemahaman benda – benda langit tidak hanya domain ahli
astronomi maupun astrologi tapi juga menjadi bahan kontemplasi para ahli
filsafat. Untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan filosofis tentang eksistensi
manusia, hubungannya dengan semesta raya dan Tuhan.
Tidak banyak orang yang memikirkan hal – hal yang seluas
itu. Cenderung hampir semuanya terseret pada sensasi sesaat, tiba – tiba berada
dalam kerumunan orang – orang yang menyanjung bulan gerhana super biru merah
darah, yang hanya akan ada 150 tahun lagi. Beruntungnya kita karena wajah bulan
dapat sampai ke lensa mata tidak lebih dalam 1,3 detik, bayangkan ada sebuah
bintang yang butuh 2.000 tahun untuk bisa terlihat dari bumi.
Apa yang sudah terjadi dalam masa setua itu, apakah
bintangnya masih di sana? Kita masih berbicara tentang langit di atas sana,
sedangkan kita adalah langit itu sendiri, dengan posisi yang jungkir balik
saban hari karena ada rotasi bumi, yang berevolusi mengelilingi matahari dan
bersama – sama melesat dalam kecepatan super menjauhi pusat semesta raya.
Jostein Gaarder, seorang Norwegia penulis novel
filsafat Shopie’s World mendiskripsikan fenomena alam raya
dengan kedahsyatan jarak di antaranya. Dia menyebut, bila ada seseorang di
bintang yang berjarak empat tahun cahaya dan sedang mengarahkan sebuah teleskop
kuat ke Bjerkely, dia akan menyaksikan Bjerkely sebagaimana tampak pada empat
tahun yang lalu.
Dan bila ada seorang lagi yang sedang duduk di nebula Andromeda - tetangga Bima Sakti - dan sedang mengarahkan teleskop ajaibnya ke bumi, maka yang terlihat adalah pemandangan bumi dua juta tahun lalu tentang pergerakan orang Neanderthal berwajah rata.
Dan bila ada seorang lagi yang sedang duduk di nebula Andromeda - tetangga Bima Sakti - dan sedang mengarahkan teleskop ajaibnya ke bumi, maka yang terlihat adalah pemandangan bumi dua juta tahun lalu tentang pergerakan orang Neanderthal berwajah rata.
Kita dapat berfantasi lebih jauh dengan cara ini, misalnya
sebuah bintang yang berjarak 3.500 tahun dari bumi, lalu seseorang dengan
teleskop supernya sedang mengarah ke jazirah Arab, kemungkinan ia akan melihat
Musa membelah Laut Merah lalu Firaun tenggelam setelahnya. Atau di lain bintang
yang berjarak 2.500 tahun sedang menyorot Athena, kemungkinan terlihat pemuda
tampan Plato bersimpuh di kaki seorang tua pengoceh bernama Sokrates di pinggir
Orakel Delfi atau di sebelah timur laut India, Siddharta Gautama sedang memimpin murid – muridnya di bawah
sebatang pohon raksasa.
Lebih menggetarkan lagi bila kita mengenang bahwa kita
hidup di atas sebutir debu alam raya bernama bumi. Darinyalah kita hidup dan
memakan apa – apa yang tumbuh di atasnya. Bahwa sebutir debu itu adalah bagian
yang pernah menyatu dengan kita dan menyatu pula dengan triliunan galaksi itu.
Ahli Astronomi sepakat, kira – kira 15 miliar tahun yang lalu, semua substansi
di alam raya ini menyatu. Substansi itu demikian padatnya sehingga membuatnya
sangat panas hingga akhirnya meledak. Kita menyebut ledakan itu sebagai
Dentuman Desar (Big Bang).
Akibat ledakan dahsyat itu setiap harinya kita terseret
sejauh 8,64 miliar kilometer di jagad semesta raya menjauhi pusat ledakan
dengan kecepatan sepertiga laju cahaya. Fenomena ini disebut The
Exppanding Universe atau Alam Semesta Raya yang Mengembang.
Kita tidak tahu untuk apa Tuhan menciptakan alam semesta
yang sedemikian besar, jika ternyata kehidupan hanya ada di bumi, atau ada
bagian lain yang menjadi misteri. Sudahlah debu itu terlalu kecil, kita membagi
– bagi lagi umat manusia yang mendiaminya menjadi bagian – bagian lebih kecil,
lebih kecil lagi dan lebih rumit lagi, untuk kemudian memperselisihkan di
antara bagian – bagian itu.
Tuhan adalah pesulap alam raya yang tiba – tiba memunculkan
seekor kelinci putih di balik topinya. Gaarder mengandaikan, kita seperti
serangga halus yang hidup di dalam rimbunan bulu putih sang kelinci. Beberapa
serangga memanjat ke ujung bulu itu untuk menatap mata Sang Pesulap, atau ingin
mengamati bagaimana cara Dia bekerja.
Miliaran serangga lainnya telah menelusup masuk ke dalam bulu kelinci dan tinggal menetap sampai mati di dasarnya untuk berbicara tentang reshuffle kabinet atau hari terakhir masuk sekolah atau hidangan dan ekspresi macam apa yang menjadi sasaran kamera hari ini. Serangga – serangga yang memanjat adalah para filosof dan miliaran lainnya adalah kita semua, yang kemarin berduyun – duyun penuh kesima demi menyaksikan gerhana bulan super biru merah darah. ~MNT
Miliaran serangga lainnya telah menelusup masuk ke dalam bulu kelinci dan tinggal menetap sampai mati di dasarnya untuk berbicara tentang reshuffle kabinet atau hari terakhir masuk sekolah atau hidangan dan ekspresi macam apa yang menjadi sasaran kamera hari ini. Serangga – serangga yang memanjat adalah para filosof dan miliaran lainnya adalah kita semua, yang kemarin berduyun – duyun penuh kesima demi menyaksikan gerhana bulan super biru merah darah. ~MNT
Comments