Ilustrasi: http://nebula.wsimg.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Kita tidak dapat melangkah untuk kedua kalinya ke dalam
sungai yang sama. Jika itu terjadi maka kita dan sungai – keduanya –
telah berubah. Segala sesuatu mengalami perubahan terus menerus dan tidak ada
yang menetap, kata Heraclitus. Plato pula berseru, apa yang terlihat di alam
ini hanya seumur gelembung sabun, menunggu pecah dan kembali tiada.
Jangan tanyakan kepada seorang filosof tentang kontes ratu
sejagat atau pergerakan harga cabe keriting sehari – hari. Mereka terlahir
untuk mengabaikan buah bibir, mulailah bertanya tentang apa yang paling indah,
paling benar atau yang paling ideal.
Inilah sebabnya para filosof menjadi tidak populer, selain diburu dan dibunuh di zaman kuno. Mereka bahkan tidak menganjurkan – seperti yang dilakukan banyak orang - menulis panjang-panjang atau berdiskusi serius tentang gelembung sabun tertentu yang hanya berumur lima detik.
Inilah sebabnya para filosof menjadi tidak populer, selain diburu dan dibunuh di zaman kuno. Mereka bahkan tidak menganjurkan – seperti yang dilakukan banyak orang - menulis panjang-panjang atau berdiskusi serius tentang gelembung sabun tertentu yang hanya berumur lima detik.
Sebuah aliran ‘tergila’ dalam filsafat pernah dibawakan
oleh Antisthenes, sama seperti Plato, ia juga murid Socrates. Aliran itu
disebut Filsafat Sinis, yang berbicara tentang dunia materi yang acak dan
mengambang sebagai bukan sumber dari kebahagiaan. Karena kebahagiaan sejati
justru terletak pada ketidaktergantungan akan hal – hal semacam itu.
Antisthenes menurunkan ilmunya kepada Diogenes yang
fenomenal sebagai Filosof Tong. Konon ia hidup dalam sebuah tong tanpa apapun
kecuali mantel lusuh, tongkat, kantong roti, dan kadang - kadang sinar
matahari. Pada suatu hari, ia dikunjungi oleh seorang penguasa imperium
terbesar di dunia Alexander Agung, barangkali sang filosof membutuhkan uluran
tangan. Tanpa menoleh kepada Sang Agung, ia berkumandang: bergeserlah ke
samping, Anda menghalangi matahari!
Dalam sepanjang sejarah filsafat, para filosof menganut dan
menguatkan beberapa aliran, namun yang paling menyita perhatian adalah antara
dua dari tiga filosof besar yakni Plato dan Aristoteles. Pada pergolakan
pikiran, Aristoteles adalah murid paling pembangkang. Dua puluh tahun ia
menyerap filsafat Plato untuk kemudian mematahkannya.
Plato berusia 29 tahun ketika Socrates minum racun cemara,
sebagai hukuman karena terlalu rajin bertanya tentang definisi kepada semua orang dan
membiarkan mereka tergeletak tak berdaya. Dari sana Plato membuat tikungan yang
tajam antara negara fakta dan negara ideal utopia.
Ia menulis Apologi untuk membela Socrates lalu kumpulan Episteles dan 20 Dialog filsafat. Karya – karya itu menjadi utuh untuk diwariskan karena Plato mendirikan sebuah akademi pertama dunia, berasal dari kata Academus, pahlawan lagendaris Yunani.
Ia menulis Apologi untuk membela Socrates lalu kumpulan Episteles dan 20 Dialog filsafat. Karya – karya itu menjadi utuh untuk diwariskan karena Plato mendirikan sebuah akademi pertama dunia, berasal dari kata Academus, pahlawan lagendaris Yunani.
Esensi filsafat Plato adalah Idea. Idea menurutnya
adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan tidak
berubah. Pandangan Plato terhadap idea-idea dipengaruhi oleh pandangan Sokrates
tentang definisi.
Plato juga terkenal dengan Mitos Gua, yang ia
tulis dalam Republic. Tentang beberapa orang yang terkekang di
dalam gua dengan kaki dan tangan terikat. Mereka melihat di dinding gua
tersebut terdapat bayangan dari makhluk – makhluk menyerupai manusia, karena
ada api di belakangnya. Maka yang tampak oleh orang – orang tersebut hanyalah
bayangan itu, yang telah mereka lihat sejak lahir sehingga menganggap itulah
realita.
Seseorang berhasil terlepas dari kekangan, dan kemudian
terpesona setelah melihat warna – warni nyata yang memantulkan bayang – bayang.
Keindahan itu adalah idea dan bayang – bayang tadi
adalah dunia. Dari sini Plato melahirkan gagasan tentang negara filosofis yang
paling ideal seperti diturunkan dari surga dan belum pernah ada. Plato
menganjurkan agar negara dipimpin oleh seorang (berjiwa) filosof, menekankan
kepada substansi ketimbang sibuk melayani fakta – fakta busa sabun.
Namun Plato dianggap terlalu mengawang – awang oleh Aristoteles
yang lebih menekankan kepada pembuktian empiris. Ackrill J. L. (1997)
dalam Essays on Plato and Aristotle, menyebut, logika
Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive
reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar
dari setiap pelajaran tentang logika formal.
Sedangkan di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa
bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarki.
Aristoteles sangat menekankan fakta empirisme untuk pengetahuan. Filsafat
Aristoteles memang lebih mementingkan logika, namun agak mengabaikan esensi
seperti Plato.
Dari Plato kemudian muncul Neoplatonisme sebagai jalan
tengah. Aliran ini berupaya menggabungkan ajaran Plato dan Aristoteles
yang merupakan puncak terakhir dalam sejarah filsafat Yunani. Dipopulerkan oleh
Plotinus dari Lycopolis, Mesir pada abad ketiga masehi. Sebagai pembelaan
terhadap Plato, agar manusia memiliki pemikiran kosmik yang berpuncak kepada
Tuhan dan tidak semata – mata kepada logika dan metafisika khas Aristoteles.
Siapa yang menyangka setelah hampir seribu tahun wafat,
Aristoteles terlahir kembali di jazirah Arab. Kitab – kitab Aristoteles
dibongkar oleh para ilmuan gurun Sahara yang kemudian menjadi obor penerang
bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke tujuh. Aristoteles tak bisa
dibiarkan sendirian, di Timur Tengah oleh filsuf Ibn Rusyd (Averos) ia telah
diselaraskan dengan Teologi Islam, sedangkan di Eropa, Aristoteles dipadukan
dengan Teologi Kristen oleh Thomas Aquinas.
Yang artinya bahwa kekuatan otak dan nalar manusia tidak
bisa dibiarkan sendirian mengurus dunia. Kita butuh bimbingan Sang Pencipta,
tempat awal dan akhir. Di samping Neoplatonis, para peneladan Aristoteles abad
Renaisans macam Jean-Paul Satre, Albert Camus, dan Simone de Beauvoir
acap menyebut: eksistensi mendahului esensi (atau
dibalik saja).
Mereka melahirkan aliran Eksistensialisme yang telah melepaskan filsafat dari lingkup menara gadingnya yang eksklusif, untuk kemudian masuk ke dalam dunia publik. Pada akhirnya kita semua butuh filsafat, agar tak terlalu lama bermain – main dengan gelembung sabun. ~MNT
Mereka melahirkan aliran Eksistensialisme yang telah melepaskan filsafat dari lingkup menara gadingnya yang eksklusif, untuk kemudian masuk ke dalam dunia publik. Pada akhirnya kita semua butuh filsafat, agar tak terlalu lama bermain – main dengan gelembung sabun. ~MNT
Comments