Ilustrasi: http://www.changethethought.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Frekuensi
yang digunakan televisi adalah sumber daya alam yang mahal dan terbatas. Ia
adalah bagian dari kekayaan udara, di samping spektrum lainnya yang penting
untuk manusia yakni oksigen dan karbon. Frekuensi adalah harta rakyat Indonesia
yang harusnya digunakan bagi kemakmuran bersama.
Televisi
bukan hanya turunan kotak arkais yang dipuja generasi Baby Boomer era
Perang Dingin, sekaligus tak diacuhkan jemaah Net Gener, berikut
anak – anak milenial yang menyimpan dunia dan rahasia mereka pada layar – layar
sentuh, televisi juga berperan sebagai arena pembodohan (dumbing
down) untuk memenuhi kenaifan budaya populer.
Sengaja
atau tidak, sadar atau tidak, televisi Indonesia terus aktif melakukan
pengurangan tingkat intelektual. Praktik pembodohan biasanya menggunakan
penyederhanaan yang berlebihan terhadap definisi aslinya sampai kepada tingkat
yang merusak konsep standar dari bahasa dan pembelajaran masyarakat.
Seperti
kata John Algeo dalam Among the New Words, tingginya tingkat
persaingan media massa (utamanya televisi), dan penggunaan metode ekonometrika
telah mengubah praktik bisnis dari media komunikasi massa. Praktik tersebut
telah mengurangi keluasan dan kedalaman dari jurnalisme dan produk siaran yang
dilakukan dan disediakan untuk informasi publik serta hiburan.
Sumber
daya alam yang mahal yang kemudian dipinjamkan kepada industri televisi,
dihabiskan bertahun - tahun hanya untuk sesuatu yang leceh semacam mengintip
kamar mandi atau kain jemuran milik Nagita Slavina dan Raffi Ahmad.
Televisi juga membingkai dan memberi panggung kepada para pemain sirkus politik. Televisi juga menjadi podium yang dipaksakan oleh pemiliknya. Mereka bertetangga dengan televisi lain yang meminjam sumber daya alam mewah milik publik ini untuk menayangkan sinema elektronik (sinetron) kejar tayang dengan kualitas minimalis dan membantai akal sehat.
Televisi juga membingkai dan memberi panggung kepada para pemain sirkus politik. Televisi juga menjadi podium yang dipaksakan oleh pemiliknya. Mereka bertetangga dengan televisi lain yang meminjam sumber daya alam mewah milik publik ini untuk menayangkan sinema elektronik (sinetron) kejar tayang dengan kualitas minimalis dan membantai akal sehat.
Demi
memungut pundi – pundi iklan yang terikat rating dari cerminan perangai
penganut Budaya Pop yang tak ambil pusing dengan kualitas dan pentingnya
tanggung jawab moral sebuah pertelevisian, para pelaku rumah produksi yang
disewa televisi – misalnya
penulis skenerio dan sutradara – membuat metode pendangkalan standar budaya,
seni, dan akademis. Bisa karena malas atau sama sekali tak punya sense untuk
membuat kerja - kerja sinematografi yang layak, paling tidak masuk akal.
Alur
drama pada sinetron Indonesia pun umumnya seragam, bertema putra putri yang
tertukar dengan mudahnya, metafora bawang putih dan merah, sengketa warisan, percintaan
antara pelayan dan tuan, serta akhir kisah yang mudah ditebak. Gestur, mimik
dan diksi yang dibawakan hampir serupa untuk semua sinetron ditambah properti,
efek latar dan teknologi visual yang tak memanjakan mata, kecuali dari pelakon
– pelakon instan berwajah Western dan Korea.
Sinetron
Indonesia secara seragam pula menebarkan lakon – lakon absurd dan
kesan dramatik yang dipaksakan. Skenerio demi skenerio disambung dengan fase
amnesia. Amnesia bahkan menjadi babakan wajib sinetron apapun, tidak hanya
manusia hidup, arwah penasaran pun ada amnesianya. (Lihat sinetron berjudul DIA
produksi SinemArt yang ditayangkan di SCTV baru-baru ini)
Jika
dalam film India, bujang atau dara yang mabuk kepayang langsung bernyanyi jika
melihat pohon, maka di sinetron Indonesia, seseorang langsung hilang ingatan
jika terbentur atau membentur. Apakah karena menyeberang jalan, terkena batu di
sungai atau menabrak tiang listrik. Selembut apapun benturan yang terjadi
amnesia adalah takdir yang harus dijalani.
Sinetron
bahkan menjadi candu, seleceh dan seberani apapun mereka menihilkan estetika
dan logika, mereka tetap menjadi kudapan wajib, ditonton berjuta – juta orang.
Pelan – pelan pola hidup dan absurditas sinetron mengendap di bawah sadar
sehingga ingin dijelmakan ke dunia nyata.
Amnesia
dalam kisah sinetron berfungsi untuk membelokkan alur cerita, menciptakan
solusi atau memperpanjang durasi. Bayangkan jika amnesia bisa diciptakan
semudah sinetron, tanpa cacat permanen, tanpa tetesan darah dan akan segera membaik,
maka habislah perkara. Seseorang yang menderita amnesia akan diperlakukan
seperti anak manusia yang baru terlahir, meski sejarah hidupnya akhir – akhir
ini adalah dramatisasi sekelas sinetron untuk menjauh dari palu hakim.
Pertama,
televisi meminjam kekayaan alam milik publik yang mahal dan terbatas, maka
perlakukanlah ia dengan layak dan penuh penghormatan. Kedua, tiang listrik
ternyata punya fungsi ganda, selain untuk menopang kabel juga bisa membuat kita
amnesia atau hal – hal lainnya yang berfungsi serupa dengan itu.~MNT
Comments