Oleh Muhammad Natsir Tahar
Novel Bordeaux
Tiga yang ditulis W Mahdayani mengisahkan tentang Kelana Putri,
seorang mahasiswi yang mendapat beasiswa ke Perancis. Sepanjang pertemuannya
dengan Patricia, mahasiswi setempat, Kelana acap mendapat teror verbal atas
eksistensinya sebagai pelajar yang berasal dari Indonesia.
Bordeaux
Tiga – sebuah kota kecil di Perancis
- diangkat dari kisah nyata dan Patricia digambarkan sebagai mimpi buruk dari
warga negara maju yang tinggi hati. Bahkan untuk menyebut nama Indonesia ia
lebih nyaman menggantinya dengan frasa “Dunia Ketiga”.
Untuk beberapa negara seperti Bangladesh, India, Thailand, Kuba, Somalia dan apapun yang bisa dibayangkan tentang negara berkembang sebentang Afrika, Amerika Latin, Oceania dan Asia, mulut – mulut semacam Patricia memilih untuk menempatkan mereka dalam kelompok stigma: Negara Dunia Ketiga dan tidak perlu ada beban untuk menghapal nama – nama negara tersebut.
Untuk beberapa negara seperti Bangladesh, India, Thailand, Kuba, Somalia dan apapun yang bisa dibayangkan tentang negara berkembang sebentang Afrika, Amerika Latin, Oceania dan Asia, mulut – mulut semacam Patricia memilih untuk menempatkan mereka dalam kelompok stigma: Negara Dunia Ketiga dan tidak perlu ada beban untuk menghapal nama – nama negara tersebut.
Fenomena
ini lebih menyesakkan ketimbang superstar Justin Bieber – yang mungkin karena
wawasan geografinya minim – memanggil Indonesia sebagai random
country, negara acak atau negara sembarangan. Dunia Ketiga
diasosiasikan sebagai negeri berdebu, kacau, kemiskinan absolut, korup, bekas
jajahan, bodoh, dikelilingi gangster serta jaringan narkoba
yang tak terkendalikan oleh pemerintah setempat yang korup dan pengutang.
Stigma
ini selalu melekat dan belum ada tanda – tanda akan berakhir sementara kita
terus berada atau masih menyisakan atau malah masih menumpuki semua kosa kata
buruk yang dapat digambarkan tentang Dunia Ketiga. Patricia dan orang – orang
lainnya yang beraliran konservatif, feodal dan mereka yang tersihir oleh kitab
– kitab klasik memiliki dalil yang kuat untuk tidak usah menghapal apapun tentang
Negara Dunia Ketiga – jika tak jua berubah - kecuali sumpah serapah.
Menurut
Jurnal “What was the Third World", Tomlinson, B.R.
(2003), Dunia Ketiga adalah istilah yang pertama kali diciptakan pada 1952 oleh
seorang demografer Perancis Alfred Sauvy untuk membedakan negara-negara yang
tidak bersekutu dengan Blok Barat ataupun Blok Soviet pada masa Perang Dingin.
Namun
sekarang istilah ini sering dipergunakan untuk merujuk negara-negara yang
mempunyai Indeks Pengembangan Manusia PBB (IPM), terlepas dari status politik
mereka (artinya bahwa Republik Rakyat Tiongkok, Rusia dan Brasil, yang semuanya
saling bersekutu dengan erat selama Perang Dingin, seringkali disebut Dunia
Ketiga). Namun, tidak ada definisi yang obyektif tentang Dunia Ketiga atau
negara Dunia Ketiga dan penggunaan istilahnya tetap lazim.
Sebagian
orang di lingkungan akademis menganggap istilah ini sudah kuno, kolonialis,
diskriminatif dan tidak akurat. Namun ternyata istilah ini tetap dipergunakan.
Pada umumnya, negara-negara Dunia Ketiga bukanlah negara industri atau
yang maju dari segi teknologi seperti negara-negara Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD), dan karena itu di
lingkungan akademis digunakanlah istilah yang lebih tepat secara politis, yaitu
Negara Berkembang.
Istilah-istilah
seperti "Selatan yang Global", "negara-negara yang kurang
makmur", "negara berkembang", "negara yang paling kurang
maju" dan "Dunia Mayoritas" telah semakin populer di
kalangan-kalangan yang menganggap istilah "Dunia Ketiga" mengandung
konotasi yang menghina atau ketinggalan zaman.
Istilah
Dunia Keempat pula - yang merujuk kepada negara-negara yang paling kurang maju
- digunakan oleh sejumlah penulis untuk menggambarkan negara-negara Dunia
Ketiga yang termiskin, yakni mereka yang tidak memiliki infrastruktur industri
dan sarana untuk membangunnya. Namun yang lebih lazim lagi istilah ini
digunakan untuk menggambarkan penduduk pribumi atau kelompok-kelompok minoritas
tertindas lainnya di lingkungan negara-negara Dunia Pertama.
Daripada
tersinggung atas semua stigma dan penempatan Indonesia sebagai Dunia Ketiga,
ada baiknya kita berbenah ke dalam. Bukan tidak bisa Indonesia melejitkan
IPM-nya selevel negara maju, bisa.
Tapi lihatlah negeri ini, sepanjang umurnya ditimpa ujian tak henti, uang untuk sekolah tinggi - tinggi sudah digerogoti mulai dari kolonialisme berlanjut ke neokolonialisme, pengekangan rezim, mega korupsi, dan sekarang sedang berada dalam kekacauan abad digital yang menyeret anak bangsa ke dalam perdebatan dan perseteruan low context. Kapan punya waktu untuk belajar? ~MNT
Tapi lihatlah negeri ini, sepanjang umurnya ditimpa ujian tak henti, uang untuk sekolah tinggi - tinggi sudah digerogoti mulai dari kolonialisme berlanjut ke neokolonialisme, pengekangan rezim, mega korupsi, dan sekarang sedang berada dalam kekacauan abad digital yang menyeret anak bangsa ke dalam perdebatan dan perseteruan low context. Kapan punya waktu untuk belajar? ~MNT
Comments