Ilustrasi: https://upload.wikimedia.org |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Empat
raja agung imperium Melayu bernama sama: Mahmud. Riwayat tiga raja adalah epos
atau wiracarita kepahlawanan, sisanya tentang tragedi. Dua di antaranya lahir
dari trah Sang Sapurba, dua lainnya terhimpun dalam pohon Dinasti Abdul Jalil
Riayat Syah. Dalam bentang waktu hampir empat abad dan keempatnya
mempersembahkan drama epik sekelas Mahabharata.
Keempatnya
pernah berada dalam situasi genting yang mengubah alur drama kemaharajaan
Melayu sepanjang tujuh abad. Drama yang melekat kuat dengan sejarah kolonialisasi
Eropa dan peta perpolitikan di lingkar istana. Haru biru empat Mahmud sudah
cukup untuk mewakili abad – abad penting zaman feodal.
Mahmud
Mangkat di Julang, Sang Tragedi itu mencabut dengan kasar akar kekuasaan anak
keturunan Nila Utama dari bumi Melayu dengan kematiannya sendiri, oleh ulahnya
sendiri. Usai sudah legitimasi beralas mitos kedigdayaan Iskandar Zulkarnain
alias Alexander Agung, berganti dengan dinasti Sang Bendahara, begitu Mahmud
Mangkat di Julang.
Dua
Mahmud di sebelah Sang Nila Utama bin Sang Sapurba, berbeda watak 180 derajat.
Sultan Mahmud Syah I atau Marhum Kampar adalah seorang religius berjiwa
patriot. Bersama Pati Unus Raja Demak yang bergelar Pahlawan Nasional itu,
Mahmud menantang bedil Alfonso de’Albuquerque. Tak mudah pusat dagang kelas
dunia bernama Malaka itu jatuh ke tangan Portugis sebab Mahmud berani bersabung
nyawa.
Batu
nisan Mahmud I abadi di Pekan Tua, Kampar setelah sebelumnya sempat menggeser
pusat pemerintahannya ke Bintan dan membangun benteng di Kota Kara. Ia
menginspirasi Nara Singa Raja Inderagiri serta Datuk Laksmana Sangar, Datuk
Ikal Pandak Longan, Datuk - datuk dan Batin - batin Kampar lainnya untuk
mengusir Portugis. Sultan Mahmud Syah I berada pada situasi antiklimaks
ketika Kerajaan Malaka direbut Portugis.
Sultan
Mahmud Syah II pula adalah seorang hedonis. Tulfat al Nafis mencatatnya
dengan nada minor. Mahmud II seorang psiko alias pengidap mental
disorder. Tak banyak catatan atau mungkin tiada kisah epos tentang
Mahmud II, kecuali di bawah kekuasaannya, Megat Sri Rama berhasil mengusir
kawanan bajak laut dari teritorial Johor.
Mahmud II
juga dinarasikan sebagai raja bengis dan membunuh sesuka hati seolah menjadi
reinkarnasi ‘moyangnya’ Alexander Agung dari Macedonia. Pada 1695, Alexander Hemilton
seorang kapten kapal Skotlandia dibuat pucat pasi, lantaran pistol yang ia
hadiahkan kepada penguasa Johor itu, diuji oleh Mahmud II dengan menembakkannya
ke bahu pengawalnya sendiri. Alexander dalam bukunya A New Account of The East Indies'- Edinburgh
1727 juga
menuding Mahmud II sebagai Pedofilia sesama jenis.
Mahmud II
berakhir di tangan Megat Sri Rama yang membalas dendam sekaligus berada dalam
bayang – bayang Abdul Jalil Riayat Syah yang kemudian didaulat menjadi
sultan. Mahmud Mangkat di Julang adalah eposide terakhir
Dinasti Sang Nila Utama di Tanah Semenanjung. Berkat Megat, darah merah berubah
jadi biru.
Dinasti
kedua dari imperium Melayu melahirkan Sultan Mahmud Riayat Syah (Mahmud III)
dan Sultan Mahmud Muzafar Syah (Mahmud IV). Dua Mahmud terakhir ini sama – sama
protagonis. Namun Mahmud II dan Mahmud III – dua kubu berbeda - memiliki
keserupaan: sama – sama didaulat sebagai sultan pada usia sangat belia.
Hal ini
boleh terjadi karena pada zaman feodal, hukum yang dipakai sebagaimana
digambarkan filsuf Thomas Aquinas adalah Principia Secundaria sebagai
turunan dari Lex Naturalis (Hukum Alam), yakni
hukum relatif yang dipakai pada zaman feodal tanpa diskursus apalagi penolakan.
Putera Mahkota diangkat sebagai raja tanpa memandang berapapun usianya (Mahmud
II 10 tahun dan Mahmud III dua tahun). Lepas dari prinsip logika dan demokrasi
abad kini.
Mahmud
III meriwayatkan kisah kepahlawanan Melayu terbaik dari semua Mahmud. Paling
tidak sebagaimana dibuktikan dengan anugerah gelar Pahlawan Nasional tahun
2017. Di bawah daulatnya Belanda mengalami kekalahan telak dengan tenggelamnya
kapal Malakas Welfaren yang menewaskan lebih kurang 800 tentara Belanda.
Belanda mengundurkan diri dari perairan Riau, selanjutnya Mahmud III bersama
Raja Haji merencanakan menyerang pusat VOC di Melaka.
Kisah
kepahlawanan Mahmud III tidak hanya peperangan fisik namun juga melalui perang
strategi dan jalur diplomasi. Di bawah kendalinya Kerajaan Riau Lingga berada
pada puncak peradaban serta mencatat surplus dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.
Terakhir,
Mahmud IV kisahnya termaktub demikian purna dalam buku Mahmud Sang
Pembangkang karya Datok Seri Lela Budaya Rida K Liamsi. Mahmud IV
berada dalam spektrum sejarah di mana hampir semua peristiwa besar dalam
kemaharajaan Melayu telah terjadi dan dia adalah bagian yang menanggung semua
konsekuensi logisnya.
Terlalu
banyak alasan yang membuatnya menjadi pembangkang yang protagonis. Setelah VOC
bangkrut, dan mulai berkuasanya kolonial Belanda Januari 1800, Sultan Melayu
semakin terdesak, daulatnya yang menyempit dan terbelah – belah, secara
teritorial terbelah oleh Traktat London, dan secara kewenangan harus berbagi
dengan Yang Dipertuan Muda Riau, kemudian secara de facto menjadi
pegawai Belanda dengan status kerajaan pinjaman atas perjanjian Belanda dengan
Raja Jaafar (1818).
Mahmud IV
adalah Raja Melayu yang paling Eropa dalam keluasan pikiran dan penampilannya.
Ia membangun istana bergaya Victoria di kaki Gunung Sepincan dengan perabotan
impor yang berkelas. Akumulasi pembangkangan Mahmud IV berujung kepada
pemakzulannya sebagai Sultan Riau Lingga oleh Belanda.
Dia meresponnya dengan ekspresi datar, tapi selepas itu ia menyusun strategi politik untuk merebut tahta dengan memanfaatkan hubungan diplomatiknya serta melancarkan serangan militer dengan mengerahkan para Bajak Laut. Belanda tak pernah sanggup menghentikan agresi mematikan ini kecuali – seperti biasa - menggunakan cara – cara licik.
Dia meresponnya dengan ekspresi datar, tapi selepas itu ia menyusun strategi politik untuk merebut tahta dengan memanfaatkan hubungan diplomatiknya serta melancarkan serangan militer dengan mengerahkan para Bajak Laut. Belanda tak pernah sanggup menghentikan agresi mematikan ini kecuali – seperti biasa - menggunakan cara – cara licik.
Dari
Epilog Empat Mahmud ini, tiga Mahmud menjadi layak sebagai Pahlawan Nasional
dan yang satunya - Mahmud Mangkat di Julang - adalah sebatas
noktah hitam zaman feodal yang tak punya tempat untuk diulang. ~MNT
Comments