Oleh Muhammad Natsir Tahar
Begitu
Walikota Chicago menyatakan perang terbuka kepada para mafia dan gengster, Al
Capone, pesohor Cosa Nastra paling lagenda Amerika bisa terduduk dibuatnya. Di
titik genting, 1923, Capone melompat dari Chicago, namun seluruh bumi Amerika
tak sudi menerimanya, kecuali Cicero, Illinois.
Di era
koboi hingga Capone, tiap jengkal tanah Amerika sudah ada penjahatnya. Bukan
rakyat Amerika yang menolak Capone, tapi para gengster lebih dahulu menarik
pelatuk senjatanya, saat kawanan Capone masih terengah – engah. Cicero sendiri
bukan tanah damai, kepala suku gengster sana, Myles O’Donnel dan William
O’Donnel mungkin saja sedang lengah.
Di
Chicago sebelum itu, Capone - pria kecil nakal dan tangkas berkelahi - masuk
dalam radar bos mafia Chicago Outfit, Johny Torrio. Ia kemudian dididik menjadi
penjahat kelas satu. Kolaborasi keduanya membuat mereka sangat kuat untuk
membeli semua-mua, kecuali walikota William Emmett Dever, yang kemudian memburu
mereka.
Walikota
sebelumnya William Hale Thomson berikut polisi, jaksa, dan hakim sudah masuk
dalam daftar gaji mereka, guna mendiamkan setiap bisnis hitam Capone - Torrio.
Para penentang akan ditidurkan dengan gepokan dolar, minuman keras, dan
rintihan kupu – kupu Chicago. Menolak, berarti sedang memilih cara mati, apakah
kecelakaan, ditembak, atau disiksa terlebih dahulu.
Perhatian
media massa pun terhijab oleh karisma dan uangnya. Di depan wartawan yang
mencegatnya, Capone selalu merendah, “Aku hanya seorang pebisnis biasa, dan
yang aku lakukan hanyalah memuaskan permintaan publik.”
Setahun
di Cicero, Capone sudah membuat keributan. Ini gegara kebiasaannya menangkar
pemimpin akan segera juga dilakukan di sana, sempena Pilkada Cicero. Hal ini
dicatat sebagai pilkada paling kelam di Amerika. Saat itu di tiap TPS, para
preman utusan Capone dan genk O’Donnel saling baku hantam dan tembak.
Capone
praktis mengambil alih mafia Cicera pada 1924 setelah keributan yang menewaskan
200 orang. Sejurus itu, Capone dan walikota bonekanya secara berani menguasai
Balai Kota. Mereka seperti ingin memberikan pernyataan yang kuat bahwa
kekuasaan mereka merupakan kemenangan besar bagi aliansi Capone dan Chicago
Outfit.
Pilkada
ala Capone adalah potret suksesi pemimpin yang disaluti permainan kotor. Mereka
sanggup mensponsori pilkada sampai terpilih jika perlu dengan cara sangat
keras, asal ada jaminan keamanan bagi bisnisnya. Ini akan menjadi kegelisahan
nurani sepanjang sejarah pilkada.
Kegelisahan
lain adalah, ketika para calon pemimpin tak punya pilihan, ia dikelilingi
para mafia dari segala penjuru dengan maksud sama. Belum lagi setiap langkah
mereka dikuntit oleh petualang – petualang politik dari kawanan yang tak
berniat untuk membuat negeri ini maju. Yang terkenang dalam pikiran mereka
hanyalah menduduki tampuk kekuasaan dan berpesta kelak dengan mengerkah APBD.
Kegelisahan
lain adalah, ketika publik menganggap ritual jual beli suara sebagai biasa.
Adat istiadat pilkada begitu rupakah yang akan kita wariskan? Tanpa ada tanda –
tanda ini akan berakhir. Dan perlu diingat, suara tidak selalu dibeli dengan
uang, tapi bisa juga dengan mufakat – mufakat, janji – janji, pencitraan,
kamuflase, dan romantika. Paternalisme, primordialisme, nepotisme pula adalah
tiga pilar sebagai cara ekonomis yang bisa membuat pemilih memilih tanpa syarat,
tanpa substansi.
Kita
sangat butuh walikota macam William Emmett Dever, tak goyang oleh hasutan uang
dan tekanan Capone, tapi membuat serangan balik dengan membersihkan seluruh
mafia di kotanya.
Walikota
juga harus tahu, mafia tidak hanya ada di luar pagar. Lihat pula mafia – mafia
berseragam pamong yang kerjanya memotong anggaran, menyulap belanja, dan
membuat pungutan liar. Mereka wajib dibasmi baik dari golongan laki – laki atau
perempuan, yang tua atau belia. Komplotan ini membuat negara bangkrut dan tak
maju – maju, lalu anggaran rutin yang bengkak akan selalu dilaporkan cekak.
Kita juga
butuh penegak hukum yang jujur dan takut hanya pada Tuhan seperti Elliot Ness.
Dengan jeli ia melihat celah hukum untuk menjerat Capone dan mengirimnya ke penjara.
Ness adalah pimpinan Badan Penyelidik Kejahatan Pajak, yang kemudian mengendus
nama Capone di salah satu buku yang disita polisi.
Capone
adalah belut dari dunia hitam yang tersiram oli, terlalu licin untuk ditangkap.
Tapi di tangan Ness, ia mati kutu. Sayangnya Ness hanya sebatang kara, di sel
Atlanta – seperti biasa – Capone membeli martabat sipir penjara, untuk
memastikan dirinya memperoleh kenyamanan, berikut buku-buku, karpet dan mesin
ketik serta semua hal yang dilarang di penjara.
Kegelisahan lain adalah: semua tentang Capone ada di Indonesia dan jumlah mereka bukan sedikit. Mereka bahkan lebih mutakhir, karena tidak perlu membunuh orang, cukup membeli nurani. ~MNT
Kegelisahan lain adalah: semua tentang Capone ada di Indonesia dan jumlah mereka bukan sedikit. Mereka bahkan lebih mutakhir, karena tidak perlu membunuh orang, cukup membeli nurani. ~MNT
Comments