Oleh Muhammad Natsir Tahar
Tiba –
tiba UWTO menjadi isu terbaru abad modern di Batam. Terperanjat, benci dan
marah berkumpul di satu tempat, dalam viral, kerumunan massa dan spanduk –
spanduk. Seolah sebuah rahasia besar telah terbongkar. Jadi kemana saja kita
selama ini hingga tiba – tiba terperanjat bahwa tanah ini adalah tanah sewa.
Lalu uang sewa itu minta dihapus, dengan cara apa? Satu lagi, tidak ditemukan
korelasi apapun dengan aksi teatrikal menjahit mulut seperti yang kemarin itu.
Batam
adalah sebuah negeri yang telah “dikutuk”. Tanah pulau ini diklaim oleh negara,
hampir keseluruhannya, sedikit sisa untuk pesisir kampung lama agar tidak
kualat pada leluhur dan tetua adat. Menyewa tanah yang ‘diklaim’ sepihak memang
terkesan berbau Kolonial. Dan negara pun menjadi antagonis.
Jauh sebelum Batam, sewa tanah sudah
diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh
Gubernur Jenderal Stamford Raffles.Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan
istilah Land Rente.
Peter Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa:
Kita perlu membedakan antara Land Rente sebagai suatu pajak
bumi atau lebih tepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan
masih terus dipungut pada akhir periode kolonial, dan Land Rente sebagai
suatu sistem - bandingkan antara UWTO dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang
dikait - kaitkan sekarang.
Belanda kemudian melanjutkan sistem sewa tanah
ini dengan memakai istilah Land Rente Stelses), yang berlaku antara
tahun 1813 sampai 1830. Dengan hasil itu, Daendels membangun jalan – jalan dan
jembatan. Pada tahun 1973, Otorita Batam (OB) datang memerintah dan menggunakan
istilah Land Lease yang kemudian kita kenal sebagai Uang Wajib
Tahunan Otorita Batam (UWTO).
Batam sejak awal dibangun sebagai kawasan
industri, perdagangan, pariwisata dan alih kapal. Batam dipersembahkan kepada
investor dengan memakai karakter khas Neo Klasik, Sistem Pasar Bebas, salah
satu ayatnya adalah market has no mercy (pasar dikenal tak
berbelas kasihan). Maka dalam perspektif ini manusia – manusia yang menghuni
Batam hanyalah faktor produksi yang terampil (skilled). Di luar
dari itu dianggap sebagai beban yang berpotensi menimbulkan kekacauan
sosial (social disorder).
Pasar bebas juga mengimani dalil market
has no memory (pasar tak memiliki kenangan). Bagian ini tampak ‘kejam’
jika kemudian Otorita Batam dulunya ingin menihilkan kampung – kampung tua,
romantika sejarah Pulau Batam dan kearifan lokal yang tak ada hubungannya
dengan sistem pasar bebas. Maka orang – orang asli Batam perlu berteriak
nyaring agar tanah ulayatnya tidak di-bulldozer.
Sudah begitu, dalam rentang waktu yang
panjang, Batam jadi salah asuh. Inggris dan Belanda sebagai penjajah ternyata
lebih baik. Mereka melakukan pengelolaan tanah secara sistematis dan konsisten
di bawah asuhan ‘nabi’ Adam Smith meski sebenarnya berideologi Merkantilis
(memperkaya negara dengan memiskinkan negara lain).
Batam pula, membuat kekacauan sejarah dengan
membiarkan lahan negara diperjualbelikan antarsesama penduduk. Orang – orang
kaya baru pun bermunculan secara dramatik akibat keganjilan ini. Prilaku
koruptif, manipulatif, spekulatif, politis dan aksi injak kaki oleh yang
berpangkat menjadi kerikil tajam pada sistem pengalokasian tanah di Batam sejak
dulu.
UWTO yang menjadi ‘pesakitan’ hari ini adalah
ujung kuku dari nominal opportunities costyang mesti dibayar
untuk setiap meter lahan. Meski demikian jumlah yang sedikit itu mampu
membangun banyak infrastruktur dasar investasi termasuk di antaranya jalan
Trans Barelang dengan enam jembatan megah itu. Lalu apakah bijak jika kita
memusuhi UWTO?
Bayangkanjika semua komponen harga yang kita
bayar untuk tanah, masuk ke kas negara, maka Singapura baru sudah lama
tercipta. Tapi sudah terlambat, sebagian besar bumi Batam sudah berpindah ke
pihak ketiga dengan cara – cara akrobatik, dengan demikian mereka akan
menjualnya dengan harga sekehendak hati.
Pusat tiba – tiba menyadari besarnya kebocoran
dari potensi lahan di Batam. Seperti Tuan Takur yang kebakaran uban, mereka
mengirim orang – orang baru ke wilayah ini untuk melakukan reformasi total
terhadap personel lahan yang sudah rusak dan mengumumkan kenaikan tarif UWTO
dengan angka yang fantastis.
Dari pada putih tulang, BP Batam sekarang
ingin memastikan bahwa tidak ada lagi biaya siluman untuk lahan yang masih
tersisa, kecuali menjadi pungutan resmi yang masuk ke kas negara. Ya itu tadi,
dengan menaikkan tarif UWTO. Pilih yang mana, UWTO baru dengan tarif murni atau
UWTO lama dengan sejumlah biaya siluman?
Mengenai ide untuk menghapus UWTO untuk sektor
perumahan, sebagai bagian dari tim penulis buku tentang Sejarah Otorita Batam (Directory
Batam 2003 dan 35 Tahun Otorita Batam,Bercermin Sejarah
Menyongsong Masa Depan) saya tidak menemukan bahwa sektor perumahan
menjadi bagian dari Master Plan awal dan rencana kerja
Otorita Batam, kecuali dalam bentuk dormitori untuk karyawan.
Meski sudah tiga kali dilibatkan dalam penulisan
buku Batam Real Estate Directorydari REI Khusus Batam, saya
ingin mengatakan bahwa sektor properti hanyalah efek samping dari peningkatan
jumlah penduduk yang tidak terkendali. Sektor ini bahkan memakan lebih banyak
porsi untuk Batam daripada empat bidang utama tadi (perdagangan, perindustrian,
pariwisata dan alih kapal).
Janganlah kita menutup mata, bahwa setiap
rumah atau ruko yang kita beli, setiap tahun harganya terus meningkat
berdasarkan hukum supplay and demand, karena ia telah diatur
oleh tangan – tangan tak kentara (invisible hand) dalam hukum
ekonomi pasar. Nilai UWTO yang akan dan telah kita bayar dalam hal ini masih
berada jauh dibanding nilai ekonomis yang akan naik berkali lipat di tahun –
tahun mendatang. Toh, hasil dari membayar UWTO sudah pun kita
miliki dengan infrastruktur Batam yang terbaik di antara
kota – kota besar lainnya di Indonesia.
Dengan demikian usulan menghapus UWTO untuk sektor perumahan
harus dibicarakan pada tingkat lanjut, agar rakyat tak terzalimi, agar tanah
Batam tetap bermartabat. Kita menunggu yang arif dan bijaksana menemukan jalan
tengah. Berpikir adil itu sulit, tapi kita harus memulai. Satu lagi, cobalah
untuk tidak: sedikit – sedikit terperanjat. ~MNT
Comments