Oleh Muhammad Natsir Tahar
Pengorbanan
Ibrahim dan Ismail tak mampu ditembus oleh logika. Jika filsafat dan ilmu
bermain di sini, ia akan mempertanyakan hingga meragukan apakah itu perintah
Tuhan atau mimpi dari iblis. Logika berkata: Tuhan tak mungkin menyuruh kepada
keburukan, menyembelih dan mengalirkan darah anak kandung sendiri yang suci
bersih tanpa dosa.
Jan
Hendrik Rapar dalam Pengantar Logika, Asas-asas Penalaran
Sistematis mengurai, bahwa konsep bentuk logis adalah inti dari
logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan atau validitas sebuah argumen
ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika
menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan
bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis).
Memakai
logika silogistik tradisional cara Aristoteles, jika semua api akan
menghanguskan, maka api yang membakar Ibrahim oleh perintah Namrud juga
demikian adanya. Namun itu tidak terjadi karena Tuhan telah memerintahkan
kepada api supaya dingin. Peristiwa ketika Tuhan mendinginkan api, tak akan
mampu ditembus oleh logika.
Dalam
peristiwa penyembelihan Ismail, logika Ibrahim telah mati. Firman Allah baginya
adalah hakiki, pengabdian tertinggi sebagai hamba. Ibrahim tak akan mendebat
Tuhannya mengapa menyuruh kepada hal yang sebegitu tidak logis. Seperti
dilakukan Iblis, yang membantah Tuhan dengan logika: tidak pantas makhluk api
yang tinggi kastanya sekaligus pembawa bekal ibadah ribuan tahun bersujud
kepada Adam sebagai makhluk tanah yang baru saja ditiupkan roh kepadanya.
Dalam
peristiwa pembakaran Ibrahim yang terjadi justru sebaliknya. Ibrahim sudah
mematahkan logika Namrud tentang keniscayaan api, namun sebelum itu ia telah
menisbikan logika kaum Pagan. Alkisah Ibrahim menghancurkan semua berhala
dengan kapak lalu menyisakan satu berhala terbesar dan mengalungkan kapak di
lehernya. Kepada kaum Pagan, ia berkata: coba tanyakan kepadanya siapa yang
telah menghancurkan berhala – berhala kalian.
Lagika
Ibrahim pun mati saat Tuhan memerintahkan kepadanya untuk membawa dan meninggal
Ismail kecil dan istrinya Hajar di lembah Mekah yang tandus. Dalam logika,
gurun tandus dan tanpa sumber air apapun tidak akan memberikan tanda – tanda
kehidupan. Tapi kuasa Tuhan berada di atas jangkauan akal, tiba – tiba Zamzam
memancar di kaki Ismail. Apakah sebelumnya Tuhan sudah membocorkan rasia Zamzam
kepada Ibrahim? Tidak, modal Ibrahim hanya kepasrahan total kepada Rabb-nya.
Perjumpaan
antara Musa dengan Khidir di antara laut Romawi dan Persia (dalam riwayat lain
antara Romawi dan Atlantik) telah membuktikan bahwa tingkat kebenaran fakta
atau logika yang banyak kita anut tidak bekerja untuk membuktikan dogma.
Musa
adalah Rasul Allah dan nabi pilihan yang mampu membungkam tirani Fir’aun.
Sedangkan Khidir atau Al-Khiḍr adalah nabi abadi. Keterangan mengenai beliau
terdapat dalam Surah Al-Kahfi ayat 65-82 dan beberapa hadis. Mystical Dimensions
of Islam yang ditulis Annemarie Schimmel, juga mengakui bahwa Khidir
adalah salah satu nabi dari empat nabi dalam kisah Islam yang dikenal sebagai sosok
yang masih hidup atau abadi.
Musa
kemudian memutuskan untuk berguru kepada Khidir. Musa mendapati suatu
pemandangan yang bertentangan dengan logikanya. Tapi ia telah diperingatkan
oleh Khidir agar tidak bertanya apalagi protes. Setiap tindakan Khidir dianggap
aneh dan membuat Musa terperanjat.
Ketika
itu Musa hanya menghidupkan logika. Ia melihat fakta, Khidir telah
menghancurkan perahu yang mereka tumpangi, membunuh seorang anak kecil dan
meminta Musa memperbaiki tembok milik salah satu klan yang sudah memusuhi dan
mengusir mereka.
Bahwa di
balik pengandalan logika Musa ada kebenaran lainnya yang tertutupi oleh fakta.
Perahu yang dirusak Khidir adalah milik orang – orang papa, bila mereka
meneruskan pelayaran, maka di depan mereka akan ada raja zalim yang merampas
tiap – tiap perahu.
Kemudian anak kecil yang dibunuh tersebut di masa depannya berpotensi untuk mendorong kedua orang tuanya menuju kesesatan dan kekafiran. Adapun dinding rumah yang diperbaiki itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim, di bawahnya ada harta benda simpanan warisan orang tua mereka yang saleh. Khidir telah di-drive oleh Tuhannya untuk melakukan perbuatan yang secara logika tidak mungkin dilakukan oleh seorang Rasul.
Kemudian anak kecil yang dibunuh tersebut di masa depannya berpotensi untuk mendorong kedua orang tuanya menuju kesesatan dan kekafiran. Adapun dinding rumah yang diperbaiki itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim, di bawahnya ada harta benda simpanan warisan orang tua mereka yang saleh. Khidir telah di-drive oleh Tuhannya untuk melakukan perbuatan yang secara logika tidak mungkin dilakukan oleh seorang Rasul.
Dari hal
– hal demikian di atas, kita dapat menarik silogis bahwa firman Tuhan adalah
hal yang tak terbantahkan kebenarannya, memiliki hikmah dan tujuan kebaikan
meskipun pada mulanya dianggap buruk oleh logika. Logika tak mungkin bisa
menjangkau firman, sehingga tidak pantas untuk menyelisihinya.
Tuhan
sudah berkata bahwa kurban itu untuk masing – masing hamba-Nya dengan takaran
dan syarat – syarat fikih yang mutlak. Tidak bisa kita berlogika – misalnya
untuk tujuan sosial dan syiar – lalu ibadah kurban diposting dalam APBD atau
sumber yang bukan dari individu.
Perintah agama itu rigid, maka tak patut dijadikan spekulatif bahkan gimmick. Dalam soal agama, Ibrahim sudahpun mematikan logikanya, kenapa kita tidak. Tuhan tidak bercanda. “Tuhan tidak sedang bermain dadu,” kata Einstein. ~MNT
Perintah agama itu rigid, maka tak patut dijadikan spekulatif bahkan gimmick. Dalam soal agama, Ibrahim sudahpun mematikan logikanya, kenapa kita tidak. Tuhan tidak bercanda. “Tuhan tidak sedang bermain dadu,” kata Einstein. ~MNT
Comments