Oleh Muhammad Natsir
Tahar
Rudy menatap burung besi raksasa milik
maskapai Koninklijke Luchtvaart Maatschappij yang sebentar lagi akan
menerbangkannya melintasi benua. Tidak ada yang lepas dari sapuan mata bulat sang
jenius muda ini, mulai dari setiap detail pesawat mewah bekas pengangkut
serdadu itu, awan – awan, dan kemudian lekuk siku kota yang ia singgahi.
Penumpang lain, ras Kaukasia tinggi besar itu, sudah berkali – kali terlelap,
tapi pribumi coklat ini terus saja menyalakan matanya. Ia merayakan penerbangan
perdananya.
Penerbangan yang amat panjang ketika itu
untuk menuju Jerman dari Jakarta, lima hari lima malam, transit di lima kota,
dan salah satunya adalah Amsterdam, Belanda. Beberapa orang sepanjang
perjalanan melihat Rudy sambil mengerutkan dahi. Pikir mereka, di dunia ini ada
juga anak saudagar sapi dari dunia ketiga, yang naik pesawat semewah ini.
Anak saudagar sapi? Tidak tahu mereka, Rudy
itu dimuliakan setengah mati oleh wanita besi, ibunya. Untuk membeli tiket
pesawat kelas pertama itu, susahnya sama dengan menegakkan rumah. Tidak tahu
mereka, Rudy akan mencipta pesawat yang lebih dari ini, bahkan mengerem
tingginya angka kecelakaan udara di dunia.
Amsterdam, April 1955, Rudy tiba di sini
dengan mata bulat yang terus bergerak. Kota ini berbeda dari yang ia baca,
mulai dari Bandar Udara Shiphol dan sepanjang perjalanan menuju Hotel Amstel. Gedung
- gedung klasik ala Tudor dan Victoria jauh lebih mewah dari bangunan serupa
yang dibangun Belanda di Jakarta dan Bandung. Jalan – jalan aspal melebar, dan
fasilitas publik serba tercukupi, demikian modern pada zamannya.
Tahulah Rudy bahwa itu tiada lain dari
hasil menjajah Indonesia. Seluruh sumber daya alam Indonesia telah diangkut
dalam beribu – ribu kapal dan ia menjadi Amsterdam. Ini semua dibangun dari sumber daya Indonesia, pikir Rudy. Cerita
ini diadaptasi dari kelumit buku
berjudul Rudy: Kisah Masa Muda Sang
Visioner yang ditulis Gina S Noer. Buku tentang masa muda BJ Habibie.
****
Mestinya Belanda menggunakan cara halal
saja untuk mendapatkan kekayaan. Bukankah orang kita sangat ramah tamah dan
mudah diajak berunding. Tapi perundingan – perundingan itu dilanggar sepihak.
Inilah yang terjadi di Kepulauan Riau tempo
dulu. Kedatangan utusan Belanda disambut dengan muka manis oleh Sultan Mahmud
Syah dan Raja Haji di istana Penyengat tahun 1780. Perundingan dihadiri juga
oleh pembesar kerajaan lainnya, seperti menyambut tamu agung.
Penandatanganan perjanjian antara Jacob
Pieter van Braam dengan Raja Haji yang diadakan di atas kapal Malaka's Welvaren
(1780) memuat butir persahabatan dan keamanan bersama yang terdiri dari 12
pasal. Salah satu dari pasalnya berbunyi sebagai berikut: Segala musuh Kompeni Belanda dianggap menjadi musuh bagi Raja Riau.
Jika terjadi penahanan-penahanan baik
berupa tawanan musuh ataupun barang-barang sitaan, maka seluruh tahanan dan
barang sitaan tersebut akan dibagi dua antara Kompeni Belanda dan Sultan Riau
Lingga. Kedua pihak berjanji akan melaksanakan perjanjian tersebut. Akan tetapi
tak pernah menjadi kenyataan. Pihak Belandalah yang semula mengingkari
perjanjian yang telah dibuatnya.
Sekitar 1782 datang ke perairan Riau dan
berlabuh di muka pulau Bayan sebuah kapal dagang bernama Bestsy memuat candu 1.154
peti. Peristiwa ini dilaporkan oleh Raja Haji kepada Residen Gerrit Pangal di
Tanjungpinang Riau. Residen Gerrit Pangal melaporkan kepada Gubernur Belanda di
Melaka. Kompeni Belanda langsung membawa sebuah kapal Perancis dengan
nakhodanya Mathurin Baerbaron untuk merampas kapal Kompeni Inggris Betsy tanpa
mengikut sertakan Raja Haji dalam perampasan itu.
Kelakuan Belanda yang menginjak-nginjak itu
sangat menyinggung parasaan Sultan dan Raja Haji. Apalagi tawanan dan
barang-barang sitaan yang dirampas Belanda di pulau Bayan sedikitpun tidak
diserahkan kepada Sultan. Setelah lama menunggu kabar dari Melaka tentang
pelaksanaan perjanjian tersebut, maka Raja Haji menentukan sikap untuk membuat
perhitungan dengan Belanda. Ia memeranginya hingga wafat di medan tempur.
Jika Belanda tidak mencurangi perjanjian
ini, maka Raja Haji mungkin hanyalah bangsawan biasa yang tiada menyandang
gelar Fisabilillah di belakang namanya, apalagi termaktub sebagai Pahlawan
Nasional. Itu poinnya. Atau Raja Ali Haji, yang sangat khas pribumi, ramah
tamah dan tidak sombong. Ia bersedia membagi ilmunya kepada Belanda, membuat kamus
tata Bahasa Melayu dan bersahabat pena dengan Von de Wall, seorang kelahiran Jerman
yang bekerja untuk Belanda.
Indonesia ini sebenarnya tidak perlu
dikerasi, semuanya akan kau dapatkan kalau pandai mengambil hatinya. Datang
saja baik – baik, berdaganglah dengan cara paling kapitalis yang kalian bisa,
atau buatlah seperti hubungan bilateral yang suci seperti sekarang – sekarang
ini.
Transfer ilmu, transfer budaya, celana panjang, sepatu, karpet, cerutu, bahasa, BH, sepeda, meja kursi dan bedil ditukar saja dengan segala rempah, timah, minyak, kopi, tebu, sebut saja. Bedil bukan untuk ditembakkan ke dada, tapi bisa dipakai berburu pelanduk bersama pribumi, indah bukan? Tapi kau mengibarkan gold, glory, gospel.
Transfer ilmu, transfer budaya, celana panjang, sepatu, karpet, cerutu, bahasa, BH, sepeda, meja kursi dan bedil ditukar saja dengan segala rempah, timah, minyak, kopi, tebu, sebut saja. Bedil bukan untuk ditembakkan ke dada, tapi bisa dipakai berburu pelanduk bersama pribumi, indah bukan? Tapi kau mengibarkan gold, glory, gospel.
Membangun jalan – jalan, jembatan dan rumah
– rumah Victoria dan mendirikan sekolah – sekolah, mengajari orang kampung
membaca huruf latin tentang kehebatanmu. Dan Tanjungpinang dibangun menjadi
kota pinggir laut dengan landskap sehebat Amsterdam, paling tidak seperti
Singapura yang ditata Raffles.
Serugi apakah kau jika ini yang dilakukan?.
Siapa pula kau yang telah merusak hubungan ini, kelicikanmu bahkan melahirkan
pahlawan – pahlawan yang kami tangisi tiap tahun. Kau pula yang mewariskan Civil Code yang setia menginspirasi
ruang - ruang pengadilan kami. Dan kau juga menciptakan pewaris mental inlander, mental terjajah pada bangsa
kami. Puas kah kau? ~MNT
Comments