Oleh Muhammad Natsir Tahar
Pada
zaman dahulu kita memiliki musuh bersama atau musuh publik (public
enemies) bernama kolonialisasi. Kini musuh itu sudah bertukar dan
seakan – akan lenyap karena ia telah menjadi acak dan abstrak. Musuh bersama
akan selalu ada, tinggal kita peka atau tidak. Seketika kita hidup dalam
atmosfer yang manawarkan kenyamanan, musuh bersama dianggap fatamorgana,
sebagian lagi membuat pilihan subyektif parsial berdasarkan agenda – agenda.
Seseorang
atau sekumpulan dapat dianggap sebagai musuh bersama karena dia tak termaafkan,
atau terbentuk karena kepentingan – kepentingan yang bergesekan. Musuh bersama
menjadi tidak terdefinisikan atau terkelompokkan secara absolut, sehingga
seseorang dapat diciptakan menjadi musuh bersama oleh musuh bersama yang
sebenarnya. Atau sesama musuh bersama, saling berlomba untuk membuka topeng
lawannya.
Sangat
mudah sebenarnya untuk memuat musuh bersama dalam kelompok besar. Mereka bisa
disaturumahkan dengan teroris-radikalis yang kasat mata. Karena siapapun yang
merusak atau menggagalkan Indonesia, mereka adalah musuh bersama. Mereka –
meraka yang menyebabkan Indonesia gagal sejahtera, gagal menjadi bangsa maju
dan cerdas itulah musuh bersama.
Apa yang dilakukan Belanda dan Jepang di masa lalu sudah serupa dengan itu. Sayangnya musuh bersama pandai mengecoh, tubuh kotornya terbungkus jubah kebesaran dengan memasang wajah seteduh malaikat. Mereka kemudian bertemali dalam simbiosis patron-klien, hidup di bawah langit yang sama tanpa takut terusik. Langkah – langkah mereka tampak berwibawa, sepanjang Tuhan menutup aibnya.
Apa yang dilakukan Belanda dan Jepang di masa lalu sudah serupa dengan itu. Sayangnya musuh bersama pandai mengecoh, tubuh kotornya terbungkus jubah kebesaran dengan memasang wajah seteduh malaikat. Mereka kemudian bertemali dalam simbiosis patron-klien, hidup di bawah langit yang sama tanpa takut terusik. Langkah – langkah mereka tampak berwibawa, sepanjang Tuhan menutup aibnya.
Apa yang
menyebabkan musuh publik gagal dikandangkan, adalah sikap politik dan
meninggikan kepentingan kerdil di atas kepentingan raksasa. Kepentingan raksasa
itu sejatinya menuju Indonesia sejahtera aman dan damai, segaris dengan tren
dunia kekinian untuk membangun masyarakat kosmopolitan. Sebagai pengingat,
Kosmopolitanisme adalah ideologi yang menyatakan bahwa semua suku bangsa
manusia merupakan satu komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama.
Mereka
memiliki standar moral yang serupa yang bersumber dari nilai – nilai universal,
tidak ada keburukan di sana, kecuali sikap positif yang tinggi untuk cerdas dan
maju bersama. Manusia kosmopolit bahkan menyebut, ketegangan militer dan
permusuhan antarbangsa sebagai: manusia kuno dengan senjata tempur kuno yang
berhasil menembus lorong waktu.
Kosmopolit menganggap, para pencuri uang rakyat sebagai barbar yang berhasil mengganti kulit hewan yang melekat pada tubuhnya menjadi baju – baju mengkilap.
Kosmopolit menganggap, para pencuri uang rakyat sebagai barbar yang berhasil mengganti kulit hewan yang melekat pada tubuhnya menjadi baju – baju mengkilap.
Kepentingan
– kepentingan kerdil yang ditinggikan itu di antaranya adalah manuver politik
memuakkan yang dilancarkan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Para
musuh bersama dan mereka yang terlibat dalam politik kotor tidak sungkan untuk
saling membahu atau bahkan saling menyandera.
Pada
akhirnya musuh bersama terlingkupi oleh dimensi abstrak. Ditambah dengan cara
pandang masyarakat berbudaya dikotomis patron-klien, tuan dan hamba, bos dan
anak buah, ketua dan anggota, komandan dan prajurit - serta segala kekakuan
paternalistik lainnya - membuat bangsa ini tidak berani bertindak bahkan mengelompokkan
seseorang itu sebagai musuh bersama tak kasat mata.
Jika kita
memberikan batasan bahwa musuh bersama itu adalah seseorang yang berpotensi
menggagalkan Indonesia untuk aman dan sentosa, maka kita segera dapat merinci
siapa saja mereka. Musuh bersama yang mudah dideteksi adalah terorisme, dan
aneka bentuk kekerasan sosial berbasis fundamentalisme, tribalisme, premanisme,
pungutan liar, dan sentimen kelas sosial.
Sedangkan
musuh bersama yang terabaikan adalah para jongos neoliberalisme yang memuluskan
praktik – praktik kapitalisme predatoris, dan pembuat kebijakan yang menekan
hajat hidup orang ramai. Kemudian adalah tabiat otokrasi-koruptif yang mengoyak
peri kemanusiaan yang adil dan beradab serta peri keadilan sosial.
Para koruptor adalah musuh bersama yang sangat terabaikan sekaligus sangat berbahaya. Jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit, hampir ada di seluruh lini birokrasi. Yang berhasil ditangkap dan dipenjara hanyalah yang bernasib sial.
Para koruptor adalah musuh bersama yang sangat terabaikan sekaligus sangat berbahaya. Jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit, hampir ada di seluruh lini birokrasi. Yang berhasil ditangkap dan dipenjara hanyalah yang bernasib sial.
Musuh
negara hadir dalam proses berlarut – larutnya sikap politik anggaran yang
sangat mementingkan pemenuhan urusan ritual, fasilitas dan kemewahan
penyelenggara negara ketimbang mengoptimalkan biaya publik. Mereka yang minta
naik gaji dan tunjangan di tengah kondisi ekonomi rakyat yang terus menuju titik
nadir misalnya, adalah contoh musuh bersama yang tak perlu diperdebatkan.
Korupsi dan kebijakan – masih layakkah disebut kebijakan? – yang terus menerus mementingkan kemewahan sesama mereka, boros dan tidak efektif adalah usaha bersama untuk merampok uang rakyat yang sedianya dijadikan modal untuk membangun Indonesia maju sejahtera.
Korupsi dan kebijakan – masih layakkah disebut kebijakan? – yang terus menerus mementingkan kemewahan sesama mereka, boros dan tidak efektif adalah usaha bersama untuk merampok uang rakyat yang sedianya dijadikan modal untuk membangun Indonesia maju sejahtera.
Ketika
kondisi negara sedang pailit, alih – alih mengetatkan ikat pinggang, para musuh
bersama dalam sistem birokrasi Indonesia tetap mempertahankan nuansa kemewahannya,
dengan cara menarik lebih banyak pungutan pajak dan membocorkannya, menghapus
subsidi dan seperti biasa menumpuk utang, sebagai warisan pasti kepada anak
cucu seluruh rakyat Indonesia. Public enemies: never ending stories. ~MNT
Comments