Oleh Muhammad Natsir Tahar
Setiap
satu rupiah uang rakyat yang ditarik sebagai pajak atau pungutan apapun, harus
dapat dijelaskan untuk apa dan bagaimana ia diperlakukan. Siapa saja yang
bersentuhan dengan proses tersebut punya tanggungjawab penuh kepada Tuhan,
negara dan rakyat selaku owner negeri ini.
Demikian
pula dengan deposit kekayaan negara yang menjadi milik segenap rakyat
Indonesia, sejauh mana ia telah dikelola, dijual atau digadaikan demi
kemakmuran rakyat. Setiap dolar utang yang diciptakan harus dapat dirinci,
kepentingan dan pelayanan publik mana sajakah yang sudah tertolong olehnya,
selain secara humanis memikirkan dengan cara apa anak cucu bangsa Indonesia
akan mampu memikul beban berat ini di pundak mereka nanti.
Ketika
satu rupiah disimpangkan, Tuhan tidak melihat apakah itu satu rupiah atau satu
triliun, karena yang dihisab pada hari pembalasan kelak adalah dosa
pengingkaran atas hukum-Nya. Sehingga dalam hal ini pengelolaan amanah rakyat
tidak bisa dipandang sebelah mata.
Publik pun sebagai owner sah negeri ini sekaligus saban waktu menyumbang titik peluhnya dalam bentuk pajak, retribusi dan pungutan lain – lain yang diciptakan dan dipaksakan oleh negara, harus keluar dari cara berpikir apatis serta menganggap pembayaran pajak dan retribusi sebagai gugur kewajiban semata kemudian abai terhadap siklus perputaran uang tersebut, menyamakannya dengan angin lalu, taken for granted.
Publik pun sebagai owner sah negeri ini sekaligus saban waktu menyumbang titik peluhnya dalam bentuk pajak, retribusi dan pungutan lain – lain yang diciptakan dan dipaksakan oleh negara, harus keluar dari cara berpikir apatis serta menganggap pembayaran pajak dan retribusi sebagai gugur kewajiban semata kemudian abai terhadap siklus perputaran uang tersebut, menyamakannya dengan angin lalu, taken for granted.
Atau hak
– hak rakyat yang telah selama ini disalurkan melalui subsidi lalu ditarik tiba
– tiba, untuk apa ia dihapus serta telah dialihkan kemana subsidi tersebut,
tidak elok menyikapinya dengan hanya mengurut dada. Jika demikian adanya, maka
sudah terjadi pembiaran atas kejahatan jika kemudian terjadi kebocoran dan
penyimpangan.
Kita
menuju ke daerah. Bila dilihat dari konsep dan praktiknya yang ideal, proses
penyusunan APBD harus berlandaskan semata pada sistem penggunaan sumber daya
atau dana yang ada untuk pemenuhan kebutuhan publik (money follows
function). Anggaran disusun sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan
pelayanan publik yang telah direncanakan sejak awal tahun sebelumnya melalui
penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) serta diserap melalui
Musrenbang.
Namun
fakta menunjukkan bahwa alokasi belanja pemerintah dalam APBD selalu lebih banyak
untuk menggerakkan mesin birokrasi daripada untuk kepentingan publik.
Pemerintah daerah selalu lena ke dalam pekerjaan-pekerjaan administratif dan
seremonial ketimbang melakukan pengorganisasian masyarakat. Belanja rutin tidak
selalu segaris dengan prinsip efektif, efisien dan skala prioritas. Ini
menunjukkan politik anggaran belum berada dalam arah yang benar.
Kita
tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana, namun dengan mudah kita bisa
merasakan bahwa sumber daya anggaran telah terbagi habis di bidang-bidang yang
tidak berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat.
Ketika Politik anggaran tidak berjalan diametral dengan kesejahteraan rakyat, yang terjadi bukan hanya karena elit politik yang korup, tetapi juga perwakilan politik yang buruk (poor political representation). Mental korup tidak semata diartikan dengan mencuri, tapi perumusan anggaran melalui mufakat jahat antara eksekutif dan legislatif untuk tujuan kemewahan, jalan - jalan dan seremonial, dengan berselindung di balik regulasi adalah sama bahayanya, karena yang dihisap tetap uang rakyat.
Ketika Politik anggaran tidak berjalan diametral dengan kesejahteraan rakyat, yang terjadi bukan hanya karena elit politik yang korup, tetapi juga perwakilan politik yang buruk (poor political representation). Mental korup tidak semata diartikan dengan mencuri, tapi perumusan anggaran melalui mufakat jahat antara eksekutif dan legislatif untuk tujuan kemewahan, jalan - jalan dan seremonial, dengan berselindung di balik regulasi adalah sama bahayanya, karena yang dihisap tetap uang rakyat.
Politik
anggaran merupakan proses pengalokasian anggaran berdasarkan kemauan dan proses
politik, baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Dan secara nyata
diketahui bahwa penggunaan dana publik selalu ditentukan oleh kepentingan
politik.
Irene S. Rubin dalam The Politics of Public Budgeting (2000) mengatakan, dalam penentuan besaran maupun alokasi dana untuk rakyat senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh pejabat. Bahwa alokasi anggaran acap juga mencerminkan kepentingan perumus kebijakan terkait dengan konstituennya.
Irene S. Rubin dalam The Politics of Public Budgeting (2000) mengatakan, dalam penentuan besaran maupun alokasi dana untuk rakyat senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh pejabat. Bahwa alokasi anggaran acap juga mencerminkan kepentingan perumus kebijakan terkait dengan konstituennya.
Beberapa
pejabat dan anggota parlemen selalu bangga menyebut tentang upaya – upaya
peningkatan PAD. Namun tidak ada penjelasan lanjutan, untuk apa PAD itu ditarik
dan demi siapa. Apa saja yang sudah dirasakan publik dari besar dan beragamnya
sumber PAD. Ada kala nantinya isu – isu superfisial macam ini akan jadi bahan
cemoohan publik yang sudah semakin pintar.
Demikian
pula kepada BP Batam, sudah sejauh mana terjadi transparansi anggaran dan
akuntabilitas publik untuk lembaga plat merah ini? BP adalah milik negara
artinya milik publik, secara filosofis uang rakyat ada di sana. Mereka
mengelola uang rakyat melalui penarikan sewa tanah, pengelolaan pelabuhan dan
bandara dan aset rakyat lainnya.
Sudah berapa ribu triliun yang masuk ke kas lembaga ini sejak berdiri sebagai Otorita Batam. Apa sajakah yang sudah dikembalikan kepada publik yang dapat menyentuh peningkatan kesejahteraan selain infrastruktur. Tetap harus dipertanyakan meski lembaga ini berorientasi untuk menyerap kapitalisme global.
Sudah berapa ribu triliun yang masuk ke kas lembaga ini sejak berdiri sebagai Otorita Batam. Apa sajakah yang sudah dikembalikan kepada publik yang dapat menyentuh peningkatan kesejahteraan selain infrastruktur. Tetap harus dipertanyakan meski lembaga ini berorientasi untuk menyerap kapitalisme global.
Dalam
pengelolaan uang rakyat, bila sudah tidak bisa berharap terlalu banyak kepada
terjaminnya prinsip-prinsip good governance maupun good
corporate governance, termasuk dari sisi clarity of authority,
role and responsibility, seperation of power dan check and
balance, maka tunggu saja hari pembalasan. ~MNT
Comments