Oleh Muhammad Natsir Tahar
Tanggal
17 Agustus 1945 adalah titik nol kilometer Negara Indonesia. Apa itu Negara
Indonesia? Perlukah kita terus mempertanyakannya atau berhenti kepada satu
titik: bahwa Indonesia adalah Indonesia, lembaga terbesar yang menaungi kita
yang berdiam dari Aceh Sampai Papua dan berhentilah bertanya kenapa.
Tulisan
ini bermaksud untuk sedikit saja mempertanyakannya. Jika tidak, kita segera
akan sampai kepada paragraf terakhir dari sebuah tulisan yang berisi pengumuman
– pengumuman belaka. Negara? Apa itu negara? Ia bahkan ditempatkan
seperti dogma, sesuatu yang suci setingkat firman Tuhan.
Sudah berapa banyak darah tersimbah ke muka bumi untuk menegakkan atau mempertahankan negara? Berarti eksistensi negara bagi suatu bangsa dianggap teramat penting, sepenting oksigen. Negara menjadi sesuatu yang suci, di saat bersamaan, batas – batas kedaulatannya dikelilingi malaikat pencabut nyawa.
Sudah berapa banyak darah tersimbah ke muka bumi untuk menegakkan atau mempertahankan negara? Berarti eksistensi negara bagi suatu bangsa dianggap teramat penting, sepenting oksigen. Negara menjadi sesuatu yang suci, di saat bersamaan, batas – batas kedaulatannya dikelilingi malaikat pencabut nyawa.
Sejak
proklamasi dikumandangkan, kita adalah Indonesia, tidak lagi Hindia Belanda
atau Indonesia lain yang dijanjikan secara brutal oleh Jepang. Tidak ada lagi
orang – orang asing bersenjata karena teks Proklamasi sudah diteken Sukarno –
Hatta.
Indonesia menyatakan kemerdekaannya serta hal – hal yang menyangkut pemindahan kekuasaan dan lain – lain. Sampai batas itu, negeri ini sudah bebas dari penjajahan teritorial, meski beberapa lama setelahnya, Belanda tak berhenti mengusik.
Indonesia menyatakan kemerdekaannya serta hal – hal yang menyangkut pemindahan kekuasaan dan lain – lain. Sampai batas itu, negeri ini sudah bebas dari penjajahan teritorial, meski beberapa lama setelahnya, Belanda tak berhenti mengusik.
Dalam
Pembukaan UUD 1945 dibunyikan, bahwa pergerakan perjuangan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur.
Maklumat
ini juga memuat tujuan kebangsaan kita yakni untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ada empat
kata kunci dari risalah tersebut yakni bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Sudahkah kita bersatu? Tidak seperti kelihatannya. Sepanjang Indonesia ini
berdiri kita sebagai sesama anak bangsa terus bertengkar. Selalu ada friksi di
tengah keindonesiaan kita untuk diributkan.
Kadang – kadang bukan pula hal – hal penting dan substantif, asal ada saja yang diributkan maka keributan terjadi. Beberapa orang bahkan mengambil keuntungan dari keributan tersebut. Keributan besar pula selalu berpunca dari perbuatan – perbuatan politik, penindasan oleh kekuasaan, terkikisnya rasa senasib sepenanggungan, pertentangan ideologi dan ketidakpuasan atas pengendalian negara ini.
Kadang – kadang bukan pula hal – hal penting dan substantif, asal ada saja yang diributkan maka keributan terjadi. Beberapa orang bahkan mengambil keuntungan dari keributan tersebut. Keributan besar pula selalu berpunca dari perbuatan – perbuatan politik, penindasan oleh kekuasaan, terkikisnya rasa senasib sepenanggungan, pertentangan ideologi dan ketidakpuasan atas pengendalian negara ini.
Berdaulat?
Bahwa kita sudah berdaulat secara konstitusional dan teritorial, namun belum
bisa berharap banyak untuk hal – hal lainnya. Aspek ekonomi, politik, sosial
budaya masih hegemonik. Deposit kekayaan alam kita sudah tereksploitasi sangat
banyak, bercokolnya kepentingan asing bahkan mereka mengintervensi keputusan –
keputusan yang berkaitan dengan kepentingan bangsa.
Adil dan
makmur? 72 tahun menjadi waktu yang amat panjang untuk terus mempertanyakan
perkara ini. Adil dan makmur sepanjang Indonesia merdeka adalah fatamorgana. Kecuali
ada terjemahan – terjemahan lain dari kata adil dan makmur, fakta untuk
Indonesia atau jamak untuk berbagai negara yang tak ideal, dua kata ini adalah
nyanyian surga.
Keadilan sejatinya dapat mendorong kepada kemakmuran. Jika hanya sebagian kecil saja yang makmur tapi sebagian lagi tidak, maka keadilan akan dipertanyakan. Bahkan dengan kemakmuran yang dimilikinya, seseorang dibiarkan untuk menindas keadilan.
Keadilan sejatinya dapat mendorong kepada kemakmuran. Jika hanya sebagian kecil saja yang makmur tapi sebagian lagi tidak, maka keadilan akan dipertanyakan. Bahkan dengan kemakmuran yang dimilikinya, seseorang dibiarkan untuk menindas keadilan.
Apakah
penyelenggara negara di tingkat lokal dan nasional sudah adil kepada rakyat?
Bila kepentingan – kepentingan aparatus terus ditingkatkan, dan pada saat
bersamaan rakyat terimpit oleh meningkatnya pungutan dan subsidi yang hilang.
Telah terjadi persekongkolan terus menerus dalam pengelolaan uang rakyat, anggaran dihabiskan untuk sebatas ritual administratif, kunjungan kerja, pidato – pidato, peresmian, aneka seremonial dan tentunya peningkatan gaji dan tunjangan berlipat – lipat sepanjang tahun. Dengan demikian retorika pemenuhan hajat hidup orang banyak akan terus terabaikan karena anggaran sudah sangat tipis untuk itu.
Telah terjadi persekongkolan terus menerus dalam pengelolaan uang rakyat, anggaran dihabiskan untuk sebatas ritual administratif, kunjungan kerja, pidato – pidato, peresmian, aneka seremonial dan tentunya peningkatan gaji dan tunjangan berlipat – lipat sepanjang tahun. Dengan demikian retorika pemenuhan hajat hidup orang banyak akan terus terabaikan karena anggaran sudah sangat tipis untuk itu.
Rentetan ketidakadilan itu akan semakin panjang
beribu – ribu bait jika kita ingin mempertanyakannya. Mestikah kita berhenti
bertanya dan membuat mufakat baru, bahwa kemerdekaan penuh yang dicitakan oleh
para pendiri negara ini ternyata hanya akan terwujud di ruang hampa udara.
Sebuah ruang semesta yang tak memiliki tanda – tanda kehidupan, hampa dari partikel – partikel kosmik yang dimetaforakan sebagai komponen perusak bagi empat kata kunci kemerdekaan bagi bangsa ini: bersatu, berdaulat, adil dan makmur. ~MNT
Sebuah ruang semesta yang tak memiliki tanda – tanda kehidupan, hampa dari partikel – partikel kosmik yang dimetaforakan sebagai komponen perusak bagi empat kata kunci kemerdekaan bagi bangsa ini: bersatu, berdaulat, adil dan makmur. ~MNT
Comments