Oleh Muhammad Natsir Tahar
Negara
kita memiliki modal sosial yang melimpah. Ia terpolarisasi menjadi positif dan
negatif. Keduanya saling tarik menarik hingga mendekati chaos. Yang
ditakutkan kemudian adalah, modal sosial negatif menjadi pemenangnya, lalu
naik, mempengaruhi atau bertahan di atas tahta untuk melahap negeri ini.
Modal
sosial negatif itu adalah korupsi, elitis-otoritarian dan separatisme regional.
Dari semuanya yang paling mendominasi adalah korupsi sebagai kultur kronis yang
melembaga dan menjembatani ruang publik.
Modal sosial negatif dapat menimbulkan akibat buruk bagi demokrasi. Dengan sebutan lain, mereka terdiri dari tiga rangkaian yakni eksklusivitas, korupsi dan penindasan. Nilai sosial positif adalah sebaliknya termasuk nilai – nilai penyelesaian konflik secara damai dan terjalinnya kohesi sosial yang terus menerus positif.
Modal sosial negatif dapat menimbulkan akibat buruk bagi demokrasi. Dengan sebutan lain, mereka terdiri dari tiga rangkaian yakni eksklusivitas, korupsi dan penindasan. Nilai sosial positif adalah sebaliknya termasuk nilai – nilai penyelesaian konflik secara damai dan terjalinnya kohesi sosial yang terus menerus positif.
Modal
sosial merupakan gerigi penting bagi berputarnya roda demokrasi. Ilmuan politik
Robert Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai sekumpulan nilai, jaringan,
struktur otoritas, dan kondisi batas yang mempersatukan orang dalam sebuah
komunitas.
Perkumpulan
– perkumpulan eksklusif yang di dalamnya terdapat jaringan pribadi untuk
membungkus praktik – praktik buruk para elitis dan unsur – unsur yang terikat
karenanya, membangun kultus individu hingga mematikan otonomi personal untuk
berpikir dan berbuat positif, adalah modal sosial negatif yang senantiasa
menjadi ancaman bagi negeri ini.
Ancaman
juga muncul dari berlarut – larutnya sikap politik anggaran yang sangat
mementingkan pemenuhan urusan ritual, fasilitas dan kemewahan penyelenggara
negara ketimbang mengoptimalkan biaya publik. Mereka yang membahas kenaikan
gaji dan tunjangan di tengah kondisi ekonomi rakyat yang terus menuju titik
nadir misalnya, adalah contoh modal sosial negatif yang terlembaga.
Korupsi dan kebijakan – masih layakkah disebut kebijakan? – yang terus menerus mementingkan kemewahan sesama elit, boros dan tidak efektif adalah usaha bersama untuk merampok uang rakyat yang sedianya dijadikan modal untuk membangun Indonesia maju sejahtera.
Korupsi dan kebijakan – masih layakkah disebut kebijakan? – yang terus menerus mementingkan kemewahan sesama elit, boros dan tidak efektif adalah usaha bersama untuk merampok uang rakyat yang sedianya dijadikan modal untuk membangun Indonesia maju sejahtera.
Modal
sosial negatif ini terus dipertahankan untuk usaha – usaha memungut rente
ekonomi dan memperkaya diri sendiri atau kelompok sedemikian rupa serta sebagai
modal politik. Manuver politik menjemukan yang dilancarkan untuk merebut atau
mempertahankan kekuasaan tampak seperti pengulangan drama zaman kegelapan.
Dengan
demikian masyarakat harus memiliki kesadaran kolektif untuk kembali kepada
tujuan murni dan holistik dalam bernegara, dengan melepaskan
ketergantungan absurd kepada satu atau beberapa kelompok yang
tidak segaris dengan kebaikan untuk semua.
Bahkan
jika memungkinkan, modal sosial itu diluaskan kepada perspektif
Kosmopolitanisme. Cara pandang ini menyatakan bahwa semua suku bangsa manusia
merupakan satu komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Hal ini
menjadi jalan keluar untuk menghilangkan sekat – sekat primordialis dan politik
aliran untuk menuju nilai positif kemanusiaan seutuhnya.
Masyarakat
Kosmo punya standar moral serupa yang bersumber dari nilai – nilai universal,
tidak ada keburukan di sana, kecuali sikap positif yang tinggi untuk cerdas dan
maju bersama. Masyarakat Kosmo bahkan menyebut, ketegangan militer dan
permusuhan antarbangsa sebagai: manusia kuno dengan senjata tempur kuno yang
berhasil menembus lorong waktu.
Kosmopolit menganggap, para pencuri uang rakyat sebagai barbar yang berhasil mengganti kulit hewan yang melekat pada tubuhnya menjadi jubah – jubah mengkilap. Kata kuncinya, hal – hal positif adalah modernitas, dan yang buruk – buruk adalah primitif.
Kosmopolit menganggap, para pencuri uang rakyat sebagai barbar yang berhasil mengganti kulit hewan yang melekat pada tubuhnya menjadi jubah – jubah mengkilap. Kata kuncinya, hal – hal positif adalah modernitas, dan yang buruk – buruk adalah primitif.
Masyarakat
Kosmo atau warga global telah banyak dibicarakan oleh ilmuan – ilmuan
terdahulu. Dicetuskan pertama sekali oleh Diogenes, kemudian dibahas oleh
Immanuel Kant, Emmanuel Levinas dan Jacques Derrida.
Mereka menyebut tentang masyarakat yang terlindungi dalam standar etika dan keramahan universal. Awalnya ditekankan kepada penindasan perang, namun di era modern ini mengarah kepada penindasan elit kekuasaan di suatu negara yang korup dan otoriter.
Mereka menyebut tentang masyarakat yang terlindungi dalam standar etika dan keramahan universal. Awalnya ditekankan kepada penindasan perang, namun di era modern ini mengarah kepada penindasan elit kekuasaan di suatu negara yang korup dan otoriter.
Modal
sosial positif juga akan ditemukan di dalam ajaran agama, namun perlu
disepahamkan dengan nilai – nilai universal agar tidak terjadi benturan
penafsiran dengan agama yang berbeda. Jika nilai universal mengajarkan
kebaikan, pastinya semua agama telah mengajarkan hal yang serupa. Intinya modal
sosial positif harus keluar sebagai pemenang, agar negeri ini sampai kepada
cita – cita bersama. ~MNT
Comments