Oleh Muhammad Natsir Tahar
(Kata Pengantar Buku Mahmud Sang Pembangkang – Rida K Liamsi)
Sultan
Mahmud Muzaffarsyah ibarat spektrum, ia teramati sebagai sekumpulan warna,
cahaya dan gelombang. Zaman ketika ia hidup seumpama kaca prisma dalam
percobaan optika Isaac Newton, yakni objek tunggal yang dilewati oleh semua
pecahan warna. Jika segala dimensi yang terkandung di dalam khazanah sejarah
Melayu, seluruh literatur usang, kronika, sobekan – sobekan tersisa, jejak –
jejak epik Melayu, aksioma hingga mitologi itu diperas menjadi tiga kata, maka
ia adalah: Mahmud Sang Pembangkang.
Salam
takzim dan angkat topi tinggi – tinggi untuk Datok Seri Lela Budaya Rida K
Liamsi – selanjutnya disingkat RDK - yang telah berpenat – penat menulis buku
ini. Hampir segala anasir yang pernah ada dalam gulungan besar sejarah Melayu sudah
termaktub di dalamnya. Sebagian terpapar secara eksplisit, kemudian implisit
dan sebagian lagi dalam bentuk clue. Adalah
tugas kita dan generasi mendatang untuk memecahkan teka – teki itu.
Jika
sejarah ditulis oleh seorang historian,
yang kita dapat adalah literatur akademik an
sich. Tapi bila dibiarkan seorang budayawan melakukan hal yang sama, ia
akan coba mencerap semua dimensi sebagai satu kesatuan dan berusaha memadatkan
rentang waktu yang demikian panjang, seperti Agustinus dalam De Civitate Dei telah menggambarkan bahwa
sejarah sebagai pembeberan dari kemauan Tuhan mulai hari penciptaan alam sampai
hari kiamat. Sejarah oleh Budayawan RDK adalah senyawa holistik antara teks,
konteks, energi dan filosofi. Buku ini tak cukup disebut semi sejarah, tepatnya
Sejarah Plus.
Kronika
klasik memiliki dua belahan besar dalam imperium Melayu yakni era legitimasi
mitos Zuriat Sang Sapurba dan era politik Dinasti Sultan Abdul Jalil Riayat
Syah. Peristiwa pembunuhan politik – demikian RDK - terhadap Sultan Mahmud Syah
II (dari pihak Sang Sapurba) yang membonceng amarah Laksamana Megat Sri Rama adalah
drama akbar yang memuncakkan fakta – fakta melodramatik berabad - abad dari
empat kutub: Melayu, Bugis, Belanda dan Inggris.
Bagaimana
pula ini akan menjadi kebetulan, hampir 100 tahun setelahnya, di bagian dunia
lain, Perancis mengobarkan revolusi yang berujung sama: runtuhnya legitimasi mitos.
Semangat dari Revolusi Perancis adalah membuat perubahan radikal atas sistem
pemerintahan usang. Ketidakpuasan tiada ampun terhadap sistem Ancien Regime yang beku kaku dan
menindas.
Raja
Louis XVI bersama ribuan pengikutnya dieksekusi mati pada 1793 setelah sebuah
negara Republik Perancis berdiri setahun sebelumnya. Lepas dari mulut harimau,
Perancis meregang di mulut buaya. Liberte,
egalite, fraternite di masa – masa awal tampak seperti dusta besar guna menyalakan
semangat rakyat Perancis untuk jadi pion – pion revolusi.
Lalu
pemerintahan teror pun terjadi di bawah Diktator Maximilien Roberspkierre, 40
ribu rakyat Perancis meregang nyawa. Roberspierre pun dimatikan dengan cara
tidak hormat, pada 1799 ia diganti oleh Napoleon Bonaparte, seorang mantan
perwira altileri yang menonjol.
Abdul
Jalil Riayatsyah adalah “Napoleon Bonaparte Melayu” untuk seratus tahun
sebelumnya. Napoleon sebagai pengganti monarki absolut atas raja – raja
Perancis yang legitimasinya diselimuti mitos – mitos (1799), sedangkan Abdul
Jalil adalah pengganti daulat atas anak keturunan Sang Sapurba yang juga amat
kental mitos – mitosnya (1699), keduanya melancarkan politik dinasti keturunan.
Roberspierre mau tidak mau adalah “Megat Sri Rama”, terlihat sebatas instrumen
politik Napoleon.
Apa
yang terjadi di Jepang dengan Restorasi Meiji (1868) – empat tahun setelah
Sultan Mahmud Muzzafarsyah mangkat – adalah kebalikannya. Restorasi Meiji justru
mengembalikan kedigdayaan kaisar setelah negeri Matahari Terbit ini dicengkeram
oleh diktator militer Keshogunan Tokugawa. Restorasi Meiji adalah pembalikan
dari silogis bahwa penindasan selalu dianggap sebagai sisi gelap feodalisme.
Pada
intinya, peristiwa Sultan Mahmud Mangkat
Dijulang, Revolusi Perancis dan Restorasi Meiji sama – sama sebagai dua
belahan besar sejarah sekaligus membawa perubahan radikal kepada zaman
selanjutnya. Namun begitu, apa yang terjadi di bumi Melayu menjadi unik karena
tidak dilakukan atas sebuah sistem gerakan rakyat semesta, tapi lebih condong one man show dan bersifat pribadi (baca
juga riwayat Sang Rajuna Tapa dan Hang Jebat).
Mahmud
dalam buku ini – juga seorang one man
show - yang hidup antara tahun 1823 dan 1864 berada dalam spektrum sejarah
di mana hampir semua peristiwa besar dalam kemaharajaan Melayu telah terjadi
dan dia adalah bagian yang menanggung semua konsekuensi logisnya. Runtuhnya
Dinasti Sang Sapurba dan dimulainya Dinasti Abdul Jalil Riayatsyah membawa efek
domino yakni bergabungnya bangsawan Bugis dalam sistem pemerintahan kerajaan atas
balas jasa karena bersedia membantu menggagalkan serangan balasan dari Raja
Kecik (Sultan Abdul Jalil Syah dari Siak Sri Inderapura yang dibesarkan di
Pagaruyung) sebagai zuriat Sultan Mahmudsyah II
yang ditikam Megat Sri Rama.
Peristiwa
penting lainnya adalah Perang Riau (1782
– 1784), bangkrutnya VOC 31 Desember 1799 dan dimulainya kolonialisasi penuh
Belanda, kemudian Traktat London (1824) yang membelah Kesultanan Melayu – di
satu sisi tidak menguntungkan bagi Riau Lingga karena “didikan” Inggris yang cenderung
kapitalisme (membangun) atas wilayah Singapura dan Tanah Semenanjung jauh lebih
progresif ketimbang di bawah jajahan Belanda yang condong merkantilisme
(menghisap negara jajahan).
Selebihnya adalah tentang dinamika patrimonial yang kental, perkawinan politik, perang dingin Melayu – Bugis, keterlibatan Pujangga Raja Ali Haji dalam politik, infiltrasi budaya Eropa Belanda - modernisasi abad 19 termasuk ideologi Freemasonry, loyalitas kawanan Bajak Laut, posisi Kerajaan Riau Lingga yang sedang menuju tepi jurang kehancuran, rangkaian kelicikan menjemukan khas Belanda dan sedikit kebingungan karena begitu banyaknya raja Melayu yang bernama Mahmud.
Selebihnya adalah tentang dinamika patrimonial yang kental, perkawinan politik, perang dingin Melayu – Bugis, keterlibatan Pujangga Raja Ali Haji dalam politik, infiltrasi budaya Eropa Belanda - modernisasi abad 19 termasuk ideologi Freemasonry, loyalitas kawanan Bajak Laut, posisi Kerajaan Riau Lingga yang sedang menuju tepi jurang kehancuran, rangkaian kelicikan menjemukan khas Belanda dan sedikit kebingungan karena begitu banyaknya raja Melayu yang bernama Mahmud.
Kolonial
Belanda yang identik dengan devide et
impera mengambil kesempatan untuk menciptakan dan atau memanfaatkan celah
konflik atas fenomena Sumpah Setia Melayu Bugis. Trah bangsawan Bugis yang
mendapat label Yang Dipertuan Muda Riau (YDMR) tidak selalu memiliki hubungan mesra
dengan Yang Dipertuan Besar Sultan Melayu.
Kecuali
Raja Haji Fisabilillah (YDMR IV) sebagai mertua Sultan Mahmud Riayatsyah yang
menikah dengan Raja Hamidah dan Raja Djaafar (YDMR VI) atas alasan dukungannya
terhadap penobatan Tengku Abdurrahman dan sengketa pribadi dengan Tengku Husin
yang berada di pihak Raja Hamidah (dalam kronik Melayu, urusan – urusan asmara
juga ikut menjadi faktor penentu), kemudian hubungan harmonis antara Sultan
Mahmud Muzzafarsyah dengan Raja Ali (YDMR VIII), selebihnya Melayu adalah
Melayu dan Bugis memiliki suasana kebatinan yang kuat kepada klannya.
Sedangkan
Raja Idris memiliki catatan tersendiri. RDK meriwayatkan, ia adalah menantu Raja Tua, tokoh Bugis yang tidak disukai pihak Bugis
karena mendukung politik pihak Melayu. Maka Raja Idris ditolak berkali – kali
sebagai YDMR dan disingkirkan ke Palembang.
Terlalu
banyak alasan yang membuat Mahmud menjadi pembangkang dan di dalam konteks buku
ini ia didudukkan sebagai protagonis. Setelah VOC bangkrut, dan mulai
berkuasanya kolonial Belanda Januari 1800, Sultan Melayu semakin terdesak, daulatnya
yang menyempit dan terbelah – belah, secara teritorial terbelah oleh Traktat
London, dan secara kewenangan harus berbagi dengan YDMR kemudian secara de facto menjadi pegawai Belanda dengan
status kerajaan pinjaman atas perjanjian Belanda dengan Raja Jaafar (1818).
Raja
Jaafar seperti ditulis RDK berada dalam ancaman Perjanjian 1874 - keturunan Bugis dilarang menjadi YDMR - sebagai
konsekuensi kalah dalam Perang Riau yang menggugurkan Raja Haji Fisabilillah. Raja
Jaafar menjalankan fait accompli karena
baginya lebih penting menjadi YDMR dalam daulat pinjaman daripada berputih
mata. Kalau Melayu dan Bugis bisa lebih kompak, mereka dapat bersinergi melakukan
diplomasi internasional karena Belanda telah kalah dalam Perang Eropa yang
otomatis membatalkan Perjanjian 1874.
Kecuali dia (Mahmud) bisa merampas kembali negerinya
itu dari Belanda. Tidak melalui perang, tetapi dengan politik, diplomasi, dan
gugatan hukum internasional, terhadap perjanjian yang dinilainya cacat, dan
penuh tipu muslihat. Itulah yang selalu dia diskusikan dengan sahabatnya Temenggung
Ibrahim, Tun Mutahir, Wan Ahmad Pahang, Sultan Terengganu, dan juga Cursetjee,
sahabat Parsinya yang banyak pengetahuan, teman, dan relasi itu. (Mahmud Sang
Pembangkang, hal. 196)
YDMR
juga memainkan politik dinasti yang berakibat mundurnya semangat patriotisme
dan terkesan inferior di hadapan Belanda. Ketika Mahmud berkuasa konflik yang
terjadi semakin tajam, di matanya YDMR yang berpusat di Penyengat terlihat kian
membungkuk pada Belanda, dan dia merasa semakin terkucil, beristana di halaman
belakang kejayaan Selat Malaka - Lingga - dan hanya mengurus soal rakyat.
Sedangkan YDMR mendapat otoritas strategis, mengatur keuangan dan hubungan internasional serta tentunya lebih sering bertransaksi dengan Belanda. Sedangkan Mahmud yang de jure adalah penguasa daerah hanya sebatas simbol yang gerak geriknya dibatasi seperti tahanan kota.
Sedangkan YDMR mendapat otoritas strategis, mengatur keuangan dan hubungan internasional serta tentunya lebih sering bertransaksi dengan Belanda. Sedangkan Mahmud yang de jure adalah penguasa daerah hanya sebatas simbol yang gerak geriknya dibatasi seperti tahanan kota.
Frekwensi
kunjungan Mahmud ke Singapura dan Semenanjung yang makin meningkat, tidak hanya
dianggap sudah melanggar protokol Belanda dan Inggris, tapi lebih dari itu
adalah salah satu ujud pembangkangannya terhadap kolonial sambil tentunya
menghirup aroma kota Singapura yang kian hedonistik.
Di samping artikulasi politiknya yang frontal, Mahmud juga tak memandang Belanda dan Inggris sebagai patut ditakuti dan dengan kepala tegak akan melaksanakan apa yang dia ingin lakukan.
Di samping artikulasi politiknya yang frontal, Mahmud juga tak memandang Belanda dan Inggris sebagai patut ditakuti dan dengan kepala tegak akan melaksanakan apa yang dia ingin lakukan.
Dan
ketika pihak YDMR semakin rajin melaporkan tindakan Mahmud kepada Residen
Belanda bahkan pernah mengarahkan moncong meriam dari kapal perang pinjaman
Belanda kepadanya, Mahmud yang cerdas melancarkan strategi mundur selangkah
untuk maju dua langkah.
Ia
bahkan menahan mandat transisi YDMR berbulan – bulan yang berimplikasi kepada status quo sebagai bentuk protes atas
penunjukan figur YDMR baru yang bertolak belakang dengan keinginannya. Ia juga
pernah melecehkan Residen Niewmenhuizen serta meminta Gubernur Jenderal Pahud di Batavia agar Niewmenhuizen dipecat.
Dalam
teori kepribadian Hipocrates-Galenus, Mahmud adalah seorang bertipe Koleris
yang memenuhi standar untuk menjadi raja. Ia adalah seorang yang berani
mengambil keputusan, dinamis, memerlukan perubahan, moderat, berkemauan keras,
mencari pemecahan praktis, bebas, kurang butuh nasehat orang lain, visioner dan
unggul dalam keadaan darurat.
Mahmud
adalah Raja Melayu yang paling Eropa dalam keluasan pikiran dan penampilannya.
Ia membangun istana bergaya Victoria di kaki Gunung Sepincan dengan perabotan
impor yang berkelas.
Ia berteman rapat dengan pebisnis bernama Cursetjee, seorang Persia penganut Zoroastrian yang disebut – sebut mempengaruhi Mahmud masuk dalam satu organisasi Yahudi kuno, Freemasonry.
Ia berteman rapat dengan pebisnis bernama Cursetjee, seorang Persia penganut Zoroastrian yang disebut – sebut mempengaruhi Mahmud masuk dalam satu organisasi Yahudi kuno, Freemasonry.
Akumulasi pembangkangan Mahmud
berujung kepada pemakzulannya sebagai Sultan Riau Lingga oleh Belanda, dia meresponnya
dengan ekspresi datar. Tapi selepas itu Mahmud menyusun strategi politik untuk
merebut tahta dengan memanfaatkan hubungan diplomatiknya serta melancarkan
serangan militer dengan mengerahkan para Bajak Laut. Belanda tak pernah sanggup
menghentikan agresi mematikan ini kecuali – seperti biasa - menggunakan cara –
cara licik. ~MNT
Comments