Oleh Muhammad Natsir Tahar
Ada
tradisi di dunia yang disebut Adda. Tentang sekumpulan pria
yang membuat pertemuan rutin untuk bercakap – cakap. Tanpa inti percakapan itu
sendiri. Mereka mengatur pertemuan untuk berbual berjam – jam, dan tidak
membawa pulang hasil apapun.
Mereka menyebut itu ritus para penikmat hidup, bahwa kepulan asap rokok, sesapan kopi – atau minuman khas apapun - dan kata – kata yang berselang – seling di antaranya adalah proses yang menakjubkan. Jika kemudian percakapan itu menghasilkan kesimpulan maka itu bukan Adda.
Mereka menyebut itu ritus para penikmat hidup, bahwa kepulan asap rokok, sesapan kopi – atau minuman khas apapun - dan kata – kata yang berselang – seling di antaranya adalah proses yang menakjubkan. Jika kemudian percakapan itu menghasilkan kesimpulan maka itu bukan Adda.
“Tidak
ada agenda dalam Adda, atau agenda akan membunuh Adda,” tulis
Eric Weiner, seorang filsuf pengembara yang sempat menyinggahi Kolkata, India
tempat berdiam bangsa Bengali. Mereka menyisakan Adda, sebagai
tradisi moyang yang sayang untuk dilewatkan.
Kolkata, sebuah kota yang tak mengenal pengumuman untuk hal – hal yang mencemaskan. Sebuah kota yang keras kepala seperti melihat lampu merah hanyalah saran belaka dan melawan arah tidak memiliki hubungan yang serius dengan pemilik Surat Izin Mengemudi. Di tengah orang – orang yang membelakangi prosedur, di situ Adda masih ada.
Kolkata, sebuah kota yang tak mengenal pengumuman untuk hal – hal yang mencemaskan. Sebuah kota yang keras kepala seperti melihat lampu merah hanyalah saran belaka dan melawan arah tidak memiliki hubungan yang serius dengan pemilik Surat Izin Mengemudi. Di tengah orang – orang yang membelakangi prosedur, di situ Adda masih ada.
Adda kata Weiner mirip simposium Yunani namun tanpa anggur encer
dan gadis penari. Dari kejauhan terlihat penting, cobalah mendekat, kita akan
mendengar pembicaraan tanpa pokok. Sebab itu komedian profesional dan dermawan
kompulsif, termasuk yang akan dijauhkan dari Adda, karena
mereka berpotensi mengacaukan prosesnya. Proses dalam menikmati kata – kata
dengan melepaskan fungsi kata itu sendiri dari alat komunikasi.
Adda adalah sebuah forum bergengsi untuk melontarkan banyak
pertanyaan. Tapi sebagaimana Adda, ia tidak berfungsi untuk
menjawab pertanyaan. Pengalihan topik pun dilakukan tanpa pendahuluan. Helat
akan berakhir ketika bahan pertanyaan habis atau percakapan sudah tak berliku –
liku seperti semula. Atau ketika semua terhenyak kepenatan.
Kolkata
sebenarnya tak bisa dianggap remeh karena Adda itu. Bahkan
mereka menjadi model kebangkitan Asia di masa silam. Kolkata adalah rahim bagi
Rabindranath Tagore, pemenang Nobel serba bisa pertama kepunyaan Asia.
Ia bahkan setanding dengan Albert Einstein. Dua gergasi intelektual ini beberapa kali bertemu, di Berlin pada 1926 dan di New York di lain waktu. Mereka berjumpa bukan untuk menyepakati satu hal, tapi mempertentangkannya. Benar saja, jika otak cemerlang berpemikiran serupa, maka peradaban tak kan berkembang.
Ia bahkan setanding dengan Albert Einstein. Dua gergasi intelektual ini beberapa kali bertemu, di Berlin pada 1926 dan di New York di lain waktu. Mereka berjumpa bukan untuk menyepakati satu hal, tapi mempertentangkannya. Benar saja, jika otak cemerlang berpemikiran serupa, maka peradaban tak kan berkembang.
Percakapan
antara Tagore dengan Einstein bukan Adda, karena mereka ada
pokoknya dan sangat berisi. Dalam diskusi tentang sifat dasar kenyataan, Tagore
mengungkapkan keyakinannya dalam “dunia relatif”, dunia yang tidak ada tanpa
kesadaran penuh manusia tentangnya. Tapi Einstein menentang itu, katanya,
justru manusia yang membuat dunia ini “ada”. Dunia ini adalah dunia manusia,
sebut Einstein. Tagore kemudian menyergah Einstein. “Kebenaran itu diwujudkan
melalui manusia,” timpanya.
Setelah
jeda panjang, Einstein – ilmuan yang tak kenal kompromi itu – berkata dalam
bisikan yang nyaris tak terdengar. “Aku tidak bisa membuktikan konsepsiku, tapi
itulah agamaku,” dikutip dari Weiner. Ada pokoknya dan berisi, tapi pembicaraan
mereka mendekati Adda, karena masing – masing tidak membawa
pulang kesimpulan.
Meski tak
terdefinisikan seperti orang Bengali, namun sebenarnya kita sangat sering
melakukan Adda. Saban waktu di antara kita berbual kosong, dan
bersenda bersama serta jauh dari kata produktif. Kedai – kedai kopi, café –
café hang out dipenuhi para penutur Adda. Adda –
dalam tanda petik - selalu membayangi setiap percakapan tanpa inti berjam – jam
lamanya, tanpa kerucut dan menjadi pembunuh waktu yang sempurna bagi para
kaum multitasking.
Kolkata
sedang berada di ujung kekacauan histori yang hebat, menjadi sebuah kota yang
tak berminat untuk menjanjikan kenyamanan untuk alasan manapun. Mereka menyebut
bahwa selama 150 tahun tidak ada yang menandingi Kolkata dari Tokyo sampai
Kairo.
Di lain waktu disebutkan pula, pada penghujung enam puluhan, semua kejayaan itu berakhir dan mereka butuh waktu puluhan tahun pula untuk menyadarinya. Silakan menaruh purbasangka pada Adda. Jangan – jangan kemudian yang terjadi adalah: karena kebanyakan Adda, kita akan seperti antara Adda dan tiada. ~MNT
Di lain waktu disebutkan pula, pada penghujung enam puluhan, semua kejayaan itu berakhir dan mereka butuh waktu puluhan tahun pula untuk menyadarinya. Silakan menaruh purbasangka pada Adda. Jangan – jangan kemudian yang terjadi adalah: karena kebanyakan Adda, kita akan seperti antara Adda dan tiada. ~MNT
Comments