Dengan
kepadatan populasi melampaui satu juta jiwa, Batam tercantum sebagai Kota
Megapolitan. Infrastruktur dasarnya sudah purna, pertumbuhannya demikian cepat,
berwajah avant-garde,
tapi terimpit di antara kerisauan prismatik dalam kultur kota dan kampung.
Banyak yang ingin dibincangkan tentang kota ini, baiknya dimulai dari yang
pokok - pokok saja.
Dari tinjauan City Development
Index (CDI) Batam tidak berada pada level sebagaimana seharusnya.
Sejak awal kota ini tidak dipersiapkan untuk menampung desakan penduduk. Tapi
lucunya hampir tidak ada – atau dicegah - desain preventif ketika di masa depan
pulau ini tiba – tiba menjadi penuh.
CDI sebagai formula untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan kota dengan acuan kemakmuran rata – rata dan aksesibilitas individu pada fasilitas perkotaan akan menjauh dari kata ideal ketika dihadapkan pada fenomena ini.
CDI sebagai formula untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan kota dengan acuan kemakmuran rata – rata dan aksesibilitas individu pada fasilitas perkotaan akan menjauh dari kata ideal ketika dihadapkan pada fenomena ini.
Beberapa
sub indeks dari CDI seperti layanan air bersih, jaringan listrik, sanitasi,
telepon, pengelolaan limbah dan sampah hingga sarana pendidikan dan kesehatan
bertumbuh dengan deret hitung, sementara pertambahan populasi penduduk berlari
bagai deret ukur.
Paradoks – dua hal yang sama – sama memiliki nilai kebenaran - tidak bisa dihindari ketika kita mempertanyakan apa sesungguhnya cita – cita filosofis sebuah kota.
Paradoks – dua hal yang sama – sama memiliki nilai kebenaran - tidak bisa dihindari ketika kita mempertanyakan apa sesungguhnya cita – cita filosofis sebuah kota.
Filosofi
kota meniscayakan Batam sebagai tempat berhimpun segenap lapisan secara humanis
dan setara. Tapi dalam praktiknya, titik – titik strategis kota akan tetap
memihak kepada kekuatan modal. Tangan – tangan tersembunyi seperti yang pernah
disitir dari John Stuart Mill akan bergerak untuk menepikan jelata dari tanah,
ruang dan pelayanan publik.
Secara
historis, Otorita Batam telah meletakkan kerangka makro pembangunan kota ini
secara hebat, dengan infrastruktur terbaik se-Indonesia. Tapi itu hanya
ditujukan untuk helat membentangkan karpet merah kepada kekuatan modal, tanpa
diimbangi dengan antisipasi ekses sosio-ekonomi yang ada di belakangnya.
Tumpukan persoalan kemasyarakatan kemudian ditaruh dalam keranjang sampah.
Maka
ketika Pemerintah Kota Batam terbentuk, keranjang sampah tersebutlah yang
menjadi tugas pokok lembaga ini. Sejak lahir hingga sekarang, Pemko Batam tidak
memiliki ruang gerak yang cukup untuk mengemas isu – isu desentralisasi,
sehingga otonomi lokal yang disandangnya tidak optimal untuk memaksimalkan
pelayanan publik. Hal ini diperburuk oleh kencederungan politik anggaran yang
diciptakan oligarki lokal, senantiasa menekan anggaran pembangunan daerah.
****
Pemko
Batam terjepit di antara kepentingan Badan Pengusahaan (BP) Batam dengan
Pemprov Kepri, setelah sebelumnya terjadi psywar selama
belasan tahun antara Otorita - BP dan Pemko Batam. Salah satu contoh paling
kini adalah soal penerapan tarif listrik.
Di situ ada kepentingan BP Batam sebagai Dewan Komisaris Bright PLN dan Pemprov Kepri yang melangkahi kewenangan Pemko Batam dalam menetapkan tarif listrik.
Di situ ada kepentingan BP Batam sebagai Dewan Komisaris Bright PLN dan Pemprov Kepri yang melangkahi kewenangan Pemko Batam dalam menetapkan tarif listrik.
Selain
itu, berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Pemko Batam sejak 2017 harus menyerahkan sejumlah kewenangan kepada Pemprov
Kepri di antaranya pengelolaan kelautan, sumber daya mineral,
kehutanan, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), pengawas tenaga kerja,
dan pengelolaan SMA dan SMK Negeri.
Pemprov
Kepri juga memiliki kewenangan dalam mengelola laut dari titik nol hingga 12
mil. Sejak 1 April 2017, Dompak resmi mengambil alih pendapatan dari sektor
labuh jangkar dari BP Batam. Di perairan Kepri terdapat 18 titik
labuh jangkar dan tujuh di antaranya berada di Batam dengan potensi Rp 6
triliun per tahun.
****
Dari
semua ini, maka yang terlihat adalah Walikota Batam mau tidak mau bekerja
secara piece
meal approach (menyelesaikan persoalan-persoalan kecil), antara lain
membangun proyek-proyek yang bersifat kosmetik dan parsial seperti pembenahan badan
jalan dan trotoar, semenisasi, pembangunan taman dan lampu hias serta menggusur
kios liar. Hal – hal tersebut mendampingi aktivitas rutinnya dalam memenuhi
undangan seremonial sebagai artikulasi politik untuk menyapa publik.
Kembali
ke soal filosofi kota, saat ini diperlukan pergeseran kaudran. Untuk dapat
mengakses kota dan hidup secara setara, warga kota harus mendorong dirinya agar
mampu menjadi kaum urban yang hidup layak dengan cara – cara memperbaiki
kondisi ekonomi dan pendidikan.
Sikap hidup fatalistik atau pasrah tidak akan menjadi bagian dari skema ini. Sementara Pemko Batam dengan segala keterbatasan ruang geraknya tidak akan mampu untuk terus menerus memproduksi pelayanan publik. Lembaga ini akan melakukan peran pragmatif sebagai fasilitator.
Sikap hidup fatalistik atau pasrah tidak akan menjadi bagian dari skema ini. Sementara Pemko Batam dengan segala keterbatasan ruang geraknya tidak akan mampu untuk terus menerus memproduksi pelayanan publik. Lembaga ini akan melakukan peran pragmatif sebagai fasilitator.
Yang
diperlukan kemudian adalah pemikiran jauh ke depan antara Pemko Batam, BP dan
Pemprov Kepri, apa sinergi yang dilakukan menghadapi fenomena ledakan penduduk
dari hari ke hari, sehingga sampai kepada satu titik ketika pulau ini sudah
tidak bisa lagi menampung. Jika pertumbuhan penduduk terus melejit seperti
sekarang maka kondisinya hanya dapat bertahan hingga tahun 2030 atau 13 tahun
dari sekarang.
Berdasarkan
data Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam, pada tahun 2030
itu terdapat tiga skenerio. Pertama, berdasarkan ketercukupan lahan - dengan
asumsi lahan untuk pemukiman sudah stag – maka
Batam hanya bisa menampung 3,3 juta orang.
Kedua, jika melihat daya dukung air, Batam hanya bisa memenuhi kebutuhan untuk 1,7 juta jiwa. Ketiga, jika memperhitungkan climate change, oksigen, karbon dioksida, kualitas udara, maka daya tampung Batam hanya mencapai 1,4 juta jiwa. Saat ini jumlah penduduk Batam sudah mendekati 1,3 juta jiwa. Silakan menghitung mundur. ~MNT
Kedua, jika melihat daya dukung air, Batam hanya bisa memenuhi kebutuhan untuk 1,7 juta jiwa. Ketiga, jika memperhitungkan climate change, oksigen, karbon dioksida, kualitas udara, maka daya tampung Batam hanya mencapai 1,4 juta jiwa. Saat ini jumlah penduduk Batam sudah mendekati 1,3 juta jiwa. Silakan menghitung mundur. ~MNT
Comments