Oleh Muhammad Natsir Tahar
Apa yang
dilihat pada entitas Melayu abad ini adalah sebuah common
sense. Bermula dari dialektika, lalu muncul konsensus – konklusi yang
melahirkan definisi: Melayu. Dalam perspektif kosmologi, ia akan mengambil
tinjauan sangat panjang. Maka Melayu – sengaja atau tidak – memakai teori
pragmatisme dari keelokan sejarah yang tiada lain hanyalah sekeping kecil
mozaik dari keseluruhan bangunan Melayu.
Keelokan
sejarah dalam lintasan kosmos – hampir semua etnik melakukan ini – mungkin saja
hanya sebatas uji petik random, untuk tidak mengatakan inilah zaman
keemasan yang terbaik. Teori Pragmatisme (The Pragmatic Theory of
Truth) dalam Filsafat Ilmu menganggap suatu pernyataan, teori atau
dalil memiliki kebenaran bila ia mengandung utilitas atau fungsi, dapat
dikerjakan (workability) dan akibat yang memuaskan (satisfactory
consequence).
Memaknai
Melayu dalam tinjauan ilmu tentunya melelahkan, sehingga kita sebagai awam akan
memilih shortcut. Melayu didefinisikan sebagai apa yang
terlihat dari tutur dialek, rentak tari, busana adat, remah – remah manuskrip,
artefak dan mitologi serta tentunya teritorial. Inilah common
sense, pengetahuan permukaan yang sebenarnya kontraproduktif secara
filsafat.
Kosmos
adalah keteraturan dalam sebuah sistem semesta, bermula dari titik nol hingga
kembali menjadi nol. Ia adalah struktur berskala besar, sehingga Melayu harus
dipahami secara holistik dan serentak bukan parsial dan uji petik. Agar
generasi Melayu ke depan dapat menjadi Ratu Adil bagi sejarahnya sendiri.
Melayu
bukan hanya kilau emas, tahta ratna mutamanikam trah Sang Sapurba. Melayu bukan
sebatas lipatan – lipatan tanjak yang memanjakan mata, bukan tenun kebaya
Labuh, bukan songket berpernik, keris Taming Sari, bukan Zapin menghentak,
bukan cuma Makyong dramatik atau Gurindam 12 yang sakral bagai kitab suci.
Tapi
Melayu juga adalah tentang segala primitif dan aboriginal-nya orang Indo-Aryans yang berkayuh melintasi samudra, sampai ke Kepulauan Melayu, menabur benih dan
melahirkan kita sekarang. Melayu adalah juga tentang Proto dan Deutro gilir
bergilir, memancangkan hidupnya di tanah ini. Mereka datuk moyang kita. Jika
keris dan Jembia adalah Melayu maka Kapak Batu dan Flakes juga
Melayu.
Melayu
bukan sebatas keanggunan Lingua Franca yang diangkat menjadi
bahasa pengantar untuk menyeberangi Nusantara, tapi ia adalah sebuah konstalasi
dari rumpun bahasa Austronesia yang mencakup Formosa, Mikronesia, Melanesia,
Polinesia hingga Madagaskar. Melayu bukan pula tentang Lancang Kuning
Berlayar Malam tapi juga tentang kolek kuno sezaman bahtera Nuh.
Membincangkan
tentang kearifan lokal Melayu yang – mestinya - diwariskan dari ketinggian budi
masa silam, tidaklah dengan hanya menyerap lalu melokalisasi nilai – nilai
universal dan dogma yang seolah hanya etnik Melayu sebagai pemilik tunggal.
Perlu penggalian lebih dalam apa yang mencirikan Melayu itu yang berbeda dari
nilai – nilai semesta yang berlaku umum.
Melayu
kekinian abad milenial adalah jahitan peradaban yang diekspor oleh Silicon
Valley, Italia, Swiss atau Cibaduyut. Ia memakai blazer, berdasi,
berambut wet look tanpa tanjak. Di pinggangnya sudah pasti
bukan keris, tapi telepon pintar.
Alas kakinya tak lagi capal tapi sneakers atau pantofel. Kenapa tak pakai tanjak dan berbaju kurung Cekak Musang? Coba tanyakan kepada Sultan Abdurrahman Muazam Syah, atau Raja Ali Kelana yang berdandan seperti Turki campur Eropa, atau Raja Ali Haji yang bersurban bagai Timur Tengah.
Alas kakinya tak lagi capal tapi sneakers atau pantofel. Kenapa tak pakai tanjak dan berbaju kurung Cekak Musang? Coba tanyakan kepada Sultan Abdurrahman Muazam Syah, atau Raja Ali Kelana yang berdandan seperti Turki campur Eropa, atau Raja Ali Haji yang bersurban bagai Timur Tengah.
Melayu
tidak mungkin bisa lepas dari akulturasi dan asimilasi budaya lain. Ia akan
membentuk sebuah anyaman baru dari berbagai – bagai kultur. Tulisan ini dibuat
untuk menghindari cara berpikir pars pro toto: sebagian objek
atau unsur untuk mewakili semua. Melayu seakbar ini tak cukup untuk diwakilkan
kepada tanjak yang sangat Sriwijaya, misalnya.
Next, bagaimana dengan Melayu masa depan? Kalau umur bumi ini
panjang, seribu tahun lagi apa yang dilakukan untuk menandai bahwa mereka
adalah Melayu. Kita bisa menjadi salah satu faktor penentu nasib Melayu di ujung
lintasan kosmos itu.
Melayu?
Jangan – jangan mereka mencatat kita sebagai: manusia kuno yang diturunkan dari
Yunan, rumpun Austronesia zaman teramat silam, berdiam di selatan Semenanjung
Malaya. Pada tahun 2016 Masehi rumpun bangsa ini – sebagaimana bangsa lainnya -
juga memasuki zaman milenial, sebuah fase di mana orang – orang kuno menatap
hampir sehari penuh sebuah benda purbakala menyedihkan yang mereka sebut Smartphone
4 G. ~MNT
Comments