Oleh Muhammad Natsir Tahar
Mungkin saja bukan Habibie, orang Indonesia yang paling
pintar bikin pesawat, siapa tahu Atan Kobel yang tengah mengayuh sampan di tepi
bakau dan tinggal dekat - dekat sini juga bisa. Barangkali Teori Relativitas
Albert Enstein sempat terlintas di benak seorang penyapu jalan atau pemanjat
pohon kelapa.
Siapa tahu bukan hanya Ibnu Sina (Avicenna) yang layak
dijuluki sebagai raja obat dunia, karena bisa saja tukang urut buta tak
berijazah juga dikaruniai kecanggihan otak yang sama.
Apakah Anda yakin hanya Pythagoras yang mampu mencetuskan
postulat – postulat geometri? Dan siapa bilang cuma orang semacam Martin Luther King yang paling pandai bercakap –
cakap di atas podium.
Kita tidak tahu, bisa saja seorang
pengangguran yang kerjanya tiap hari main domino di pangkalan ojek punya IQ 180
seperti Leonardo da Vinci. Seorang pembual kelas kedai kopi mungkin saja punya
ide akbar yang mampu mengubah masa depan Indonesia, tapi karena lawan bicaranya
punya benak buntu, maka ide – ide brilian si pembual menguap ke udara bersama
kepulan asap rokok.
Kita bicara tentang kemampuan olah otak,
tentang karunia Ilahi, tentang keajaiban makhluk bernama manusia. Jangan itu
diukur dengan angka rapor, dengan jenjang pendidikan atau panjang pendeknya
gelar. Sekolah kita lebih banyak menyanjung tinggi para penghapal bukan
pemikir. Ukuran otak diletakkan pada kemampuan fotografis bukan analitis. Talen
– talen diseragamkan dan diciutkan pada satu perspektif sempit yang disebut
kurikulum.
Bahwa bisa saja di sudut – sudut tak
penting, kumuh dan hina itu lahir seorang pemikir hebat. Tapi karena cita –
cita mereka hanya setinggi atap rumah, maka jadilah ia seorang penoreh
getah. Mau menyumpah kepada siapa kita, jika ternyata seorang emak –
emak pengupas bawang di pasar pagi punya kemampuan menulis yang sama dengan J K Rowling, seorang ibu rumah tangga yang
“meledak” usai menulis Harry Potter.
Sekolah, kemiskinan, lingkungan dan cita
– cita yang hanya setinggi tiang jemuran lah yang membuat orang – orang hebat
ini “menyamar” menjadi jelata biasa yang kelihatannya tak tahu apa – apa.
Padahal jika mereka segigih Alfa Edison, mereka juga mampu menciptakan bola
lampu.
Lalu bagaimana cara kita dapat menemukan
manusia – manusia ajaib ini dan membongkar “penyamaran” mereka? Tulisan ini
memang bermajas hiperbola, menggadang – gadangkan sesuatu yang diambil dari
kotak imaji. Tapi percayalah, siapa yang berani menutup kemungkinan itu.
Mengenang – ngenang tentang fenomena ini
saya teringat tentang Speakers Corner yang sudah sangat melagenda di kota
London. Jika kita membaca tentang London di sana kita akan menemukan Hyde Park.
Hyde Park adalah taman yang sangat luas di tengah kota
London di dalamnya terdapat sebuah fasilitas publik yang disebut Speakers’
Corner.
Hyde Park Speakers’ Corner ini sudah ada sejak abad 19 yang
disediakan pemerintah Inggris untuk mendukung kebebasan berbicara (the
right to speak). Speakers’ Corner jika diterjemahkan bebas dapat
diartikan sebagai Sudut Pidato.
Keberadaan Hyde Park di London mempunyai riwayat panjang.
Sejak berabad-abad lalu taman ini sudah jadi tempat orang berkumpul-kumpul dan
berpidato tentang apa saja.
Meskipun Hyde Park sudah lazim jadi tempat berkumpul pada
masa itu, sesungguhnya secara hukum belum ada tempat permanen bagi publik
London untuk mengekspresikan diri secara bebas. Maka seiring dengan makin
maraknya unjuk rasa dan kerusuhan, publik makin getol meminta adanya
perlindungan hukum untuk mengeluarkan pendapat di Hyde Park.
Itu sebabnya pada tahun 1872 Kerajaan Inggris memberi hak
kepada otoritas taman itu untuk mengatur penggunaan Hyde Park sebagai sarana
mengeluarkan pendapat asal jangan menghujat istana. Dari sana lah kemudian
menjadi cikal bakal lahirnya Speakers’ Corner di Hyde Park.
Hingga kini ternyata Speakers' Corner ini tidak terlalu
menarik bagi orang-orang dari aliran utama (mainstream). Mereka sangat
jarang memanfaatkannya. Speakers’ Corner tampaknya hanya jadi favorit bagi
orang-orang yang ingin merombak kemapanan. Tercatat hanya tokoh-tokoh
lagendaris seperti Karl Marx, Vladimir Lennin dan George Orwell yang
selalu singgah di Sudut Pidato ini di masa hidup mereka.
Meski sempat dituding sebagai tempat serapah dan ujaran
miring, kehadiran Speakers’ Corner tetap dipandang positif. Buktinya, Speakers’
Corner juga mulai dibuat di beberapa belahan dunia lainnya, semisal di Spanyol
dan Kanada termasuk di Singapura.
Kendati orang-orang sering meragukan adanya demokrasi di
Singapura, di negeri pulau ini ternyata dibolehkan berpidato berapi-api ala
aktivis di Hyde Park. Negara itu menyediakan Speakers’ Corner yang terletak di
Hong Lim Park, sebuah taman yang kecil, bila dibandingkan dengan kantor polisi
yang sangat besar tak jauh dari taman itu.
Sayangnya Speakers’ Corner ini kesepian. Didirikan pada 1
September 2000, fasilitas umum ini buka mulai pukul 7 pagi hingga pukul 7 sore,
sepanjang minggu. Hanya penduduk Singapura yang boleh menggunakannya. Materi
orasi tidak boleh menyinggung SARA dan harus disampaikan dalam bahasa resmi
Singapura. Dulunya, orang yang ingin berorasi, harus terlebih dahulu
mendaftarkan diri ke kantor polisi. Namun belakangan Pemerintah setempat kemudian
mengeluarkan regulasi yang menghapus keharusan tersebut.
Tapi rakyat Singapura rupanya sudah cukup puas dengan
semata menjadi economic animal. Mereka terlalu sibuk
sepanjang tahun dengan urusan pekerjaan, bisnis dan keluarga sehingga Speakers’
Corner berubah fungsi menjadi Sneakers’ Corner. Orang pergi ke sana bukan lagi
untuk mendengar khotbah para orator-orator amatir, melainkan bermain bola atau
bersenda gurau dengan teman-teman.
Bagaimana dengan Indonesia, Batam misalnya? Mengandaikan, katakanlah di Dataran Engku Puteri, Batam Center terdapat fasilitas Sudut Pidato namun dengan model yang sama sekali berbeda dengan asal usulnya.
Siapapun boleh berkoar di Sudut Pidato ini, dibatasi untuk
tidak menghujat atau memprovokasi. Orang - orang boleh berbicara hanya sebatas
melempar ide – ide spektakuler bahkan belum pernah terpikirkan oleh siapapun.
Di Sudut Pidato ini siapa saja boleh berkhotbah tentang ide
apa saja. Sangat menarik jika fasilitas ini mampu membongkar “penyamaran” para
jenius bernasib malang yang kebetulan lewat. Jika selama ini mereka berbicara
kepada tembok (baca: orang – orang yang otaknya tidak nyampai), mungkin saja di
Sudut Pidato ini akan bertemu buku dengan ruas.
Kalimat – kalimat jenius mereka didengarkan oleh jenius – jenius lainnya: yang arif, yang punya akses kepada politik dan kekuasaan. Dari sini terjadi sinkronisasi, dilanjutkan dengan kritalisasi lalu aplikasi.
Kalimat – kalimat jenius mereka didengarkan oleh jenius – jenius lainnya: yang arif, yang punya akses kepada politik dan kekuasaan. Dari sini terjadi sinkronisasi, dilanjutkan dengan kritalisasi lalu aplikasi.
Sudut Pidato juga bisa diselenggarakan secara tematik.
Pengunjung Sudut Pidato diminta untuk menjadi pemecah masalah. Secara satu
persatu problema krusial dilempar untuk menjadi tema pidato. Fasilitas ini juga
dapat dimanfaatkan untuk menggurui. Misalnya mengajarkan tentang bagaimana
menjadi birokrat yang benar, legislator yang aspiratif atau pemimpin yang bijaksana.
Di sekeliling kita terlalu banyak tembok – tembok dan sekat
– sekat sehingga banyak orang – orang super yang mati kutu. Mereka tidak
menemukan saluran – saluran untuk menempatkan mereka secara seharusnya. Apakah
Sudut Pidato ini mampu memancing mereka untuk keluar dari persembunyian? Kenapa
tidak. Jika Sudut Pidato ini benar – benar terwujud nantinya, maka berteriaklah
di sana hai orang – orang super. ~MNT
Comments