Oleh Muhammad Natsir Tahar
Buta
terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tak sadar bahwa biaya
hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung pada
keputusan politik. Mereka membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada
dengan kalimat ‘aku benci politik!’.
Sungguh
bodoh mereka, yang tak mengetahui bahwa karena mereka tak mau tahu politik,
akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan dan yang terburuk,
(adanya) korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri.
Demikian kata Bertolt Brecht, penyair dan dramawan Jerman - via Ramon Damora
#Group WA Negeri Katakata.
Brecht
adalah penyair dan penulis naskah drama kelahiran Augsburg, Kekaisaran Jerman
pada 10 Februari 1898. Pada saat Nazi berkuasa, Brecht melakukan
perlawanan dalam hal pemikiran untuk menentang ideologi Nazi. Akan tetapi
karena dia diawasi Gestapo, ia kemudian lari ke Amerika Serikat. Setelah Perang
Dunia II berakhir, Brecht kembali ke Jerman hingga menutup mata.
Ia
seorang lulusan Universitas Munich dengan studi filsafat dan obat – obatan.
Pada Perang Dunia I, Brecht ditugaskan sebagai dokter. Pengalaman merawat yang
mati maupun yang menderita luka tembak, ranjau dan ledakan granit memuncakkan
kebencian patologisnya pada perang. Dalam riwayatnya, Brecht menganjurkan jalan
damai dan penyelamatan penindasan terhadap umat manusia karena sistem yang
dibangun oleh politik kotor.
Di
paragraf awal tulisan ini, Brecht menandaskan sebuah persoalan penting yang
kemudian adalah fakta di negeri ini. Ketika ada bagian dari kelompok masyarakat
yang alergi pada politik baik praktis maupun teoritis. Akibatnya ada banyak
ruang kosong yang kemudian diisi oleh pengulangan – pengulangan, elitis,
dinasti, pengendalian jarak jauh dan transaksi.
Politik
yang dikehendaki Brecht adalah kerja – kerja mulia bagi menyelamatkan umat,
bukan serangkaian kegiatan untuk mengambil alih kekuasaan. Maka ia ingin
mengajak kepada jiwa – jiwa yang mantap untuk menghuni rumah – rumah politik
demi menegah jalannya aksi pembiaran akan peningkatan harkat martabat bahkan
penindasan jelata.
Politisi
yang berjiwa mulia tentunya pasti ada, tapi jika faktanya bahwa hasil dari
kerja – kerja politik tidak mendorong perbaikan, maka penyebabnya adalah soal
statistik, takaran politisi humanis lebih sedikit jumlahnya. Untuk itu sikap
ingin membuta pada politik, apatis dan alergi akan sangat kontraproduktif pada
nasib bangsa ini ke depan.
Politik
berperan untuk menciptakan kemakmuran dan kepandaian, tapi paradoks tercipta
ketika banyak orang bila sudah menemukan kemakmuran dan kepandaiannya sendiri,
mereka menjauh dari domain politik. Politik bagi mereka hanyalah festival atau
lebih buruk dari itu hanyalah efek samping dari sistem demokrasi yang salah
asuh.
Potensi
besar dari orang – orang makmur yang cendikia terkubur bersama aktivitas harian
mereka selaku economics animal. Ini semacam prilaku yang
didominasi oleh kepentingan diri sendiri, kompetisi perburuhan di tingkat
puncak bahkan mengambil keuntungan kompetitif yang kejam dari sistem
kapitalisme. Mereka berpaling dari belas kasihan pada yang tampak di
depan mata: kemiskinan, keletihan dan membiarkan negeri ini dikendalikan oleh
kepemimpinan yang tidak efektif.
Langkah
sederhana yang perlu dilakukan adalah dengan tidak menitipkan hak memilih
kepada figur yang salah atau bahkan tidak memilih sama sekali sehingga
kekosongan itu dimanfaatkan oleh para avonturir politik
belaka. Sudah saatnya segenap anak bangsa peduli pada masa depan negeri ini
dengan mematut kepada sistem politik agar hanya berpihak kepada kemanusiaan.
Kudengar
bahwa di Newyork sana. Di Broadway di pojokan Jalan 26. Seorang pria berdiri
tiap malam di musim dingin. Mendapatkan kasur – kasur untuk kaum gelandangan.
Dengan cara meminta – minta kepada orang yang lewat di jalan. Hal itu tak akan
mengubah dunia. Tak akan meningkatkan hubungan antar manusia. Tak akan
memendekkan zaman penindasan. Namun beberapa orang akan punya kasur untuk
semalam.
Untuk
semalam mereka tidak akan kena angin jalanan. Salju yang seharusnya menghujani
mereka akan jatuh di jalan. Jangan tutup bukunya karena kau membaca hal ini.
Beberapa orang dapat kasur untuk semalam. Untuk semalam mereka tidak akan kena
angin jalanan. Salju yang seharusnya menghujani mereka akan jatuh di jalan.
Namun hal itu tak akan mengubah dunia. Tak akan meningkatkan hubungan antar
manusia. Tak akan memendekkan zaman penindasan. (Kasur di Malam Hari, Bertolt Brecht). ~MNT
Comments