Oleh Muhammad Natsir Tahar
Orang
yang paling tidak diinginkan dalam kancah diplomasi internasional, meminjam
bahasa Latin disebut Persona
Non Grata. Orang demikian akan berada dalam posisi sulit karena
dicegah untuk hadir pada suatu tempat atau negara. Jika kedapatan sudah pasti
diusir.
Paling
tidak persona non grata agak lega sedikit ketimbang berada
pada posisi yang paling diinginkan oleh Interpol. Mereka adalah most
wanted, kriminal yang paling diincar. Persona non grata lebih
kental dimensi politisnya, selain sebagai upaya preventif demi pencegahan atas
dasar spionase, konspirasi, ancaman keamanan, penyalahgunaan hak-hak istimewa
dan lain-lain. Dalam praktiknya justru lebih banyak atas motif balas
dendam.
Beberapa
kasus persona non grata adalah, pada Februari
1977, Norwegia mengusir enam Diplomat Uni Soviet dan sebagai balasannya Uni
Soviet mengusir seorang diplomat dan menolak masuknya kembali seorang Diplomat
Norwegia yang lain ke posnya di Moskow.
Pada
tanggal 18 Desember 1979, Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat (AS)
mengumumkan pengusiran 183 anggota Staf Diplomatik Iran dalam waktu lima hari.
Tindakan tersebut diambil sebagai balasan dari pendudukan Kedutaan Besar AS di
Taheran dan penyanderaan para diplomatnya.
Pelaksanaan tindakan pengusiran tersebut tidak seluruhnya terjadi karena hanya 51 orang yang betul-betul berangkatkan, 77 orang tidak diketahui ke mana rimbanya, 40 orang mendapatkan status baru dan diizinkan tinggal di AS sementara 15 lainnya dalam pertimbangan sambil menunggu status final.
Pelaksanaan tindakan pengusiran tersebut tidak seluruhnya terjadi karena hanya 51 orang yang betul-betul berangkatkan, 77 orang tidak diketahui ke mana rimbanya, 40 orang mendapatkan status baru dan diizinkan tinggal di AS sementara 15 lainnya dalam pertimbangan sambil menunggu status final.
Pada
tanggal 4 Mei 1980, Kementerian Luar Negeri AS mengumumkan pengusiran empat
Diplomat Libya untuk meninggalkan AS dalam waktu 72 jam karena melakukan
tindakan intimidasi terhadap para pembangkang Libya di AS. Pada tanggal 22
Maret 2001, AS mengusir 51 orang diplomat Rusia dengan alasan spionase dan tindakan
tersebut langsung dibalas oleh Rusia dengan mengusir 50 Diplomat AS.
Pada
Maret 2003, dua orang Diplomat Senior Iraq di PBB, Nazih Abdul Latif Rahman dan
Yehia Nacem Sauood diusir dari PBB karena dituduh melakukan kegiatan spionase.
Sehubungan dengan itu, AS mendekati tidak kurang dari 60 negara untuk mengusir
diplomat - diplomat Iraq dari negara mereka.
Pada
Maret 2004, Pangeran Said Faisal, Menlu Saudi Arabia, mengusir Duta Besar Libya
di Riyadh dan menarik Duta Besar Saudi Arabia di Tripoli. Alasan pengusiran
ialah Arab Saudi menuduh Muammar Qaddafi, pemimpin Libya, merencanakan
pembunuhan Pangeran Mahkota Abdullah. Namun Kedubes Saudi Arabia di Tripoli dan
Kedubes Libya di Riyadh tetap dibuka. Yang terakhir ini adalah kemelut antara
Malaysia dengan Korea Utara akibat terbunuhnya saudara tiri Kim Jong-un, Kim Jong-nam yang berekor kepada saling mengusir
duta besar.
Di
Indonesia, kasus pengusiran ini juga pernah terjadi. Pada tanggal 8 februari
1982 Asisten Atase Militer di Kedutaan Besar Uni Soviet Kolonel Sergei Egarov
tertangkap basah karena melakukan jual beli dokumen-dokumen rahasia terutama
mengenai kemaritiman. Ia ditangkap di Jalan Pemuda dan melibatkan seorang
perwira ABRI Letkol Soesdaryanto. Sehubungan dengan itu Kepala Perwakilan
Aeroflot di Jakarta ditahan oleh Kopkamtib.
Dalam
prakteknya, tindakan persona non grata sering disalah gunakan
oleh banyak negara, karena Negara Penerima dengan semudah itu mem-persona non
grata-kan Wakil Diplomatik Negara Pengirim sepanjang wakil tersebut tidak
disukainya tanpa alasan yang jelas. Sebaliknya bagi Negara Pengirim dengan
berlindung kepada atribut kekebalan dan keistimewaan yang diberikan oleh
Konvensi Wina 1961, telah pula melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan
dengan fungsi dan tugasnya sebagai seorang diplomat.
Minimnya
kasus persona non grata di Indonesia memiliki sedikitnya dua
indikasi. Pertama, karena situasi hubungan diplomatik yang sedang kondusif.
Kedua bisa karena kita terlalu lunak atau kurang hati – hati terhadap ancaman
negara luar. Semoga tidak. ~MNT
Comments