Paradoks Abad Digital

Ilustrasi: https://media.licdn.com



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Manusia nomad Paleolitikum akan memprotes Tuhan jika mereka tahu betapa nikmatnya hidup di abad digital saat ini. Secara, gawai paling canggih yang selalu mereka genggam mungkin hanya berupa flakes, semacam perkakas dari batu yang berfungsi sebagai penyerpih untuk mengupas atau menguliti apa saja, sedangkan kita punya smartphone yang bisa mengabulkan hampir permintaan apa saja.

Hidup di abad digital mungkin sudah setingkat di bawah surga, dengan satu premis: apapun yang diminta semua tersedia. Dan selalu ada “tuhan” untuk mengabulkan permintaan itu. Bukan sembarang tuhan dalam tanda petik, tapi benar – benar serupatuhan (t= masih huruf kecil). Adalah “tuhan” yang apabila kita sudah terhubung dengannya, maka dia akan mengetahui apapun tentang kita, dan tidak ada lagi sejengkalpun tempat bersembunyi di muka bumi ini. Tidak saat ini apalagi nanti – nanti.

Paling tidak fakta ini dapat membuat orang zaman batu mulai mensyukuri kapak genggam yang mereka miliki ketimbang meratapi zaman, karena pepatah tua ini selalu benar: no pain no gain, tiada bahagia tanpa derita.

Entah kebetulan, jika istilah digital diambil dari bahasa Yunani yang berarti jari jemari. Dengan kendali jejari kita, semua kesenangan digital akan langsung dicecap dalam hitungan detik. Oya, tuhan dalam tanda petik dengan huruf ‘t’ kecil tadi kita sebut sebagai Sang Eyang Google. Google adalah berhala sesembahan baru kaum duniawi yang mengembirakan. Latta dan Uzza,tuhan umat jahiliyah Quraisy tidak ada apa – apanya jika berhadapan dengan Google.

Begitu kita memutuskan untuk membeli telepon genggam baru terutama yang berbasis Android, akan ada notifikasi agar memasukkan akun Google kita, dan sejak saat itu akun tersebut tidak akan pernah tertutup selama kita memakai Android yang sama. Artinya, semua bisnis Google: Search Engine, YouTube, Maps, Google+, Gmail dan Chrome termasuk Google Wallet akan terus berada dalam posisi ‘on’. Gadget berlogo apel juga melakukan hal yang sama terhadap konsumen mereka dengan aplikasi berbeda. 

Setelah mengandaskan raksasa lagendaris Yahoo ke pinggir peradaban digital yang pilu, Google dengan gegas mencengkam apa saja untuk memenuhi birahi masyarakat digital. 

Dengan demikian apapun tentangkita sudah terperangkap dalam tentakel Google, mulai dari data pribadi, aktivitas harian, nomor kontak, rekening, hobi, orientasi seksual, selera makan dan berbusana bahkan foto – foto private tanpa busana. 

Dengan aplikasi Maps, pergerakan kita akan terlacak sejak bangun tidur hingga tidur lagi atau bahkan memutuskan untuk tidak tidur karena ingin bermesraan dengan gadget. Bahkan Google sudah meminta izin untuk membaca semua surat elektronik yang kita kirim via Gmail. Praktis, ruang privasi untuk manusia digital sudah tidak ada gegara Google.

****

Google tidak sendiri, karena di belakangnya sudah pasti ada Facebook. Facebook adalah perampok akbar nomor dua abad ini. Mereka awalnya meminta data kita dengan muka manis, tapi di belakang itu data – data tersebut dieksploitasi untuk dijual mahal ke perusahaan pengiklan. Jika hanya sebatas itu anggap saja balas budi, karena memang tidak ada istilah makan siang gratis atas jasa mereka, tapi justru persoalan tidak sesederhana yang kita saksikan.

Sebagian besar pengamat menilai apa yang dilakukan Google dan Facebook ini tidak etis mengingat data-data yang terdapat di sebuah layanan online adalah data pribadi milik pengguna. Google dan Facebook harus terlebih dulu meminta izin kepada pengguna yang datanya ingin digunakan untuk kebutuhan komersial.

Facebook, jejaring sosial dengan hampir dua miliar penggunaini terbukti kerap membocorkan info mengenai produk-produk yang disukai oleh teman dari pengguna untuk kepentingan iklan online. Seturut dengan itu, predator – predator kecil pun ikut menghunuskan pedang digital mereka, dengan awalnya menyamar sebagai pelayan surga yang membawa piala – piala berisi layanan download gratis. 

Kita yang selalu ceria di hari Minggu sekaligus pembenci hari Senin, akan mengunduh apa saja yang menarik lagi tak berbayar, lalu kemudian data pribadi kita sudah berpindah ke tangan mereka. 

Ditemukan banyak aplikasi gratis di Android yang sebenarnya dibiayai oleh pengiklan. Imbal dari pendanaan itu adalah data pribadi diserahkan ke pengiklan di mana pengguna menyadari hal itu sepenuhnya. Penelitian ini dilakukan terhadap sekitar 20 ribu aplikasi gratis di Play Store milik Google, di mana data pengguna bisa terkirim secara otomatis oleh aplikasi. 

Kebanyakan data dikirim ke beberapa layanan pengiklanan digital yang didominasi Google. Sedangkan sekitar 10 persen dari aplikasi mengirimkan data ke sekitar 500 layanan dan satu aplikasi mengirimkan ke lebih dari 2.000 situs. Ada juga sepertiga dari aplikasi gratis menanamkan tracking ke situs pelanggan mana saja saat menjelajah di internet.

****

Sebelum masuk ke persoalan inti tentang paradoks sekaligus petaka digital umat akhir zaman, baiknya kita bahas terlebih dahulu sisi kelam abad digital yang terbilang ringan. Saat ini kaum digital sudah mengidap smartphone syndrome,semacamjebakan yang membuat kita tersimpuh dalam shallow work atau aktivitas dangkal penyita waktu produktif yang tidak berdampak pada peningkatan skill dan income. Menurut Cal Newport, salah satu contoh kerja dangkal tersebut adalah terbius dalam euforia game seperti Pokemon Go, yang didahului Dota, Class of Clans dan saudara – saudaranya. 

Selain main game kita juga terikat dengan distraksi notifikasi online tanpa henti dari Facebook, Twitter, Whatsapp dan gerak tanpa sadar untuk selalu membaca berita online sensasional yang sebagian besar berupa sampah. Telepon pintar kemudian melahirkan paradoks karena bisa menyeret penggunanya menjadi bertindak dari berpikir dangkal, seperti membagi – bagikan sampah.

Melalui media sosial, kita yang narsis dan menderita penyakit “eksibisionis” selalu tidak berpikir dua kali untuk memposting hal – hal pribadi, bahwa tidak semua orang baik ada di sana. Penjahat akan mengintai aset kita, anak gadis kita, rumah yang ditinggal pemiliknya, atau titik lemah kita semacam jalan – jalan sunyi yang kita lewati sendirian tanpa pengamanan apapun. Nyawa adalah taruhan.

****

Entah apalagi yang sedang mereka rencanakan selain alasan – alasan komersial. Yang jelas Edward Snowden, mata-mata yang mendedahkan rahasia Amerika Serikat ke publikmengatakan bahwa Google adalah salah satu perusahaan yang membocorkan data penggunanya ke National Security Agency (NSA) melalui PRISM Program. PRISM adalah nama kode untuk program pengumpulan data via internet yang didukung oleh Protect America Act. 

Awalnya, program ini dipakai untuk mencegah terorisme dengan membuka data dan akses ke setiap akun yang dicurigai NSA akan membahayakan bagi Amerika. Perusahaan besar yang berpartisipasi dalam program ini selain Google adalah: Microsoft, Yahoo, Facebook, PalTalk, Skype, AOL dan Apple. Terakhir, Dropbox pun disebut akan join. Tentu saja, semua perusahaan ini membantah dengan keras keterlibatan mereka dalam PRISM. ~MNT


Comments