Oleh Muhammad Natsir Tahar
Resolusi
tahun baru selalu dibuat dengan cara yang hebat karena tidak ada satu pun yang
ingin menemukan dirinya dalam keadaan kacau setelah tahun berganti. Orang -
orang ingin hidup sentosa penuh kebaikan, dan momen tahun baru selalu dijadikan
batu pijakan untuk itu.
Berbagai suku bangsa dan agama memiliki tahun baru mereka sendiri
- sendiri, namun Kalender Gregorius yang kini sudah terhitung 2017 tahun adalah
yang paling berlaku secara antara bangsa.
Dr Aloysius Lilius dari Napoli, Italia yang merumuskan metode kalender
Masehi yang kita gunakan sekarang mestinya dicatat sebagai salah satu manusia
yang paling berpengaruh di dunia. Atas restu Paus Gregorius XIII, pada
tanggal 24 Februari 1582, sejak metode ini digunakan, maka tepat pukul nol nol tanggal 1
Januari setiap tahunnya, separuh penghuni planet bumi tenggelam dalam histeria.
Tidak ada yang berbeda ketika tahun berganti, kecuali menyaksikan
bumi semakin tua dan penuh sesak. Planet ini sudah berumur 4,54 miliar tahun
dan entah berapa lama lagi ia mampu bertahan. Sehingga dari fakta ini,
ekstravaganza paling spektakuler pada momen pergantian tahun tidak menemukan
landasan logika, kecuali terlihat semacam memodifikasi ritual zaman Dewa Janus.
Sisi positifnya adalah, kenduri akbar tahun baru selalu
berkelindan dengan resolusi seperti seseorang yang percaya mitos bintang jatuh,
kamudian memanjatkan doa terbaik. Meski dalam prediksi ekonomotrik maupun
sosiografis, meski diramalkan tahun berikutnya sebagai tahun penuh kegelisahan, setiap orang
akan selalu berharap menemukan oase di terik gurun.
Jika sisi positif tadi dijadikan batu pijakan, maka sepertinya
semua akan baik – baik saja. Bila kita tidak mampu mengubah dunia dan
mendiktekan kebaikan, mungkin sebaiknya kita fokus untuk memperbaiki diri
sendiri. Betapa indahnya dunia ini ketika semua orang sibuk memperbaiki diri
masing - masing.
Betapa banyak orang yang memasang muka ketat saban waktu seolah
langit runtuh sebentar lagi, hanya karena saling mempertahankan sesuatu yang
cenderung superfisial alias sepele. Betapa banyak energi terbuang untuk saling
memaki di sosial media dalam rangka membahas sepotong hoax.
Kabar hoax hanyalah hembusan nafas para penganut
sekte sesat lalu dipercaya dan disebarkan lebih luas
oleh orang dungu. Untuk selanjutnya keadaan menjadi kacau balau. Apakah hal
seperti itu yang kita biarkan berkeliaran untuk menyita perhatian dan menguras
energi kita.
Laman sosial media yang menjadi jendela dunia di era milenial
sekarang ini sudah menjadi tong sampah raksasa, tempat orang menimbun kata –
kata kotor, informasi palsu, menghina dan menghasut. Bagaimana efeknya kalimat
– kalimat negatif itu terhadap kita?
Pengaruh kata – kata telah dijelaskan secara ilmiah oleh Masaru
Imoto dalam bukunya The True Power Of Water. Dijelaskan, molekul
air akan menyusun dirinya menjadi kristal yang cantik jika kepadanya diucapkan
kata – kata positif dan sebaiknya akan hancur dan tak beraturan jika
dilontarkan kata – kata yang buruk.
Oase selalu berkaitan dengan air, maka mari kita temukan oase itu
ke dalam diri masing – masing. Hampir 70 persen unsur tubuh kita terdiri dari
air. Seperti kata Motivator Tung Desem Waringin, ketika cairan dalam tubuh
membentuk kristal positif setelah disuntikkan oleh kata – kata positif, maka
energi listrikmengalir dengan baik, dan segala sesuatu akan menjadi bagus,
sehingga mendadak kita jauh lebih sehat, lebih dahsyat, lebih makmur, dan lebih
segalanya.
Namun sebaliknya, jika kita diterpa kata – kata dan bacaan –
bacaan negatif, maka struktur kristal dalam cairan tubuh kita akan memburuk,
dan berdampak tidak baik dalam segala hal. Mari sama – sama kita temukan oase
itu dengan sibuk memperbaiki diri yang dimulai dengan tidak berkata, menulis,
mendengar dan membaca satu kata pun kecuali hal – hal yang positif. Ingatlah,
kata – kata yang buruk adalah teror verbal yang mematikan. ~MNT
Comments