Oleh Muhammad Natsir Tahar
Sang Nila Utama muncul dari kabut asap historia. Postulat sejarah mendapuknya sebagai raja purba dan pemunca babat alas Singapura. Menerima daulat turun temurun hingga rimba raya Singapura maju jaya sebagai pusat imperium Melayu pada zamannya. Dan Singapura terus berevolusi menjadi sesuatu yang asing.
Singapura
kini seperti negeri jauh, asing lagi angkuh yang kebetulan bergesekan pada
garis kontinental tanah Melayu. Tanya kenapa? Jawabnya karena sejarah hanya
berpihak kepada tangan – tangan yang berani merengkuh: siapa cepat dia dapat.
Pada
zamannya pula, Thomas Stamford Raffles menghabiskan gilirannya untuk
merengkuh Singapura. Misi Dagang Hindia Timur Britania (East
Indian Company, EIC) mengutusnya untuk menemukan rencana pelabuhan
paling menguntungkan di mulut Selat Malaka, bagi menandingi dominasi Belanda,
yang saat itu sedang kusut seiring bertubi-tubinya pergantian kekuasaan sejak
bangkrutnya VOC, pendudukan Perancis hingga berdirinya Kerajaan Belanda.
Raffles
memasuki perkampungan Melayu dan mengucap salam takzim pada Temenggung Abdur
Rahman. Ia mendapat tahu tentang sengketa perebutan kuasa antara Sultan Abdul
Rahman dengan abang tirinya, Tengku Hussein Syah.
Mendapat
durian runtuh, baik sebagai pos dagang strategis untuk kawasan Asia Tenggara,
maupun kesempatan untuk memperoleh dukungan dari penguasa setempat, Raffles
membujuk Temenggung Abdur Rahman untuk menyelundupkan Tengku Hussein ke
Singapura, untuk ‘membantunya’ merebut hak atas tahta Kesultanan Riau Lingga
dan Johor.
Setelah
bertemu Tengku Hussein, Raffles pun membuat kesepakatan bahwa Inggris, dalam
hal ini EIC, bersedia mengawal Tengku Hussein mengambil kuasa dan memberikan
tunjangan tahunan dengan imbalan diberikan hak khusus untuk membangun pos
dagang dan pelabuhan di bagian selatan pulau Temasek di sisi timur Sungai
Singapura sekarang.
Kesepakatan
tersebut ditandatangani pada tanggal 6 Februari 1819. Setelah penadatanganan
kesepakatan ini, Raffles pun mengumumkan nama baru untuk bandar yang akan ia
dirikan: Singapura.
Satu
setengah abad berlalu, Singapura yang sempat berkembang di bawah pendudukan
Inggris, di awal kemerdekaannya pada tahun 1965, justru terancam kolaps. Tak
seorang pun yakin bahwa Singapura yang sangat kecil dan nyaris tak punya sumber
daya alam itu akan bisa survive sebagai sebuah negara. Bahkan
mereka tak punya sumber air sama sekali sehingga harus membeli dari Malaysia.
Tidak
hanya bertahan, tapi negeri kecil ini membuat lompatan perkasa. Ia seketika
menjadi negara termaju, tersukses dan paling makmur di dunia. Negeri ini memang
nihil sumber daya alamnya, tapi mampu mengekspor keunggulan strategi manajemen
pengelolaan kotanya ke sejumlah negara maju.
Singapura
secara resmi memperoleh kedaulatan pada 9 Agustus 1965. Yusof bin Ishak
disumpah sebagai presiden, dan Lee Kuan Yew menjadi perdana menteri pertama
Republik Singapura. Lee ibarat mesin penyintas, di bawah komandonya, Singapura
yang loyo kemudian memiliki kekuatan ekonomi pasar yang sangat maju, yang
secara historis berputar di sekitar perdagangan entrepot. Bersama
Hongkong, Korea Selatan dan Taiwan, Singapura adalah satu dari Empat Macan Asia.
Apakabar
Melayu di tanah Nila Utama? Ia tersingkir dan menepi pada arus besar
globalisasi dari jantung Singapura. Ia dipunggungi oleh sejarah. Kita bisa
menyalahkan siapa saja dari kekalahan ini terutama dari banyak fakta adanya
politik rasis Dinasti Lee. Serta begitu mudahnya Melayu dihasut Raffles. Untuk
itu mari kita ambil ikhtibar agar ia tak terulang.
Tidak
salah jika kita melihat sisi lain. Bagaimana sebuah negara yang tak punya apa –
apa itu justru mampu menyeruak di sisi negara kaya raya sumber daya alamnya
sekaligus masih terjebak pada kemelaratan kronis? Jawabnya mungkin karena kita
kurang punya daya juang, inferior dan manja.
Sedangkan
Singapura adalah perpaduan antara pemimpin yang memiliki visi kuat, cerdas dan
efektif dengan rakyat yang disiplin, pembelajar dan berkemauan keras untuk
menjadi bangsa terdepan di dunia. Apakah benar seutuhnya bahwa Singapura telah
menyingkirkan Melayu? Jangan – jangan mereka hanya menapis.
Singapura
memiliki sebuah program strategis bernama Contact Singapore yang
telah dijalankan secara sistematis sejak 1998. Tujuan besarnya adalah menarik
sebanyak – banyaknya – lebih tepatnya memburu – manusia berkualitas tinggi dari
luar, terutama dari negara – negara tetangganya untuk datang, belajar, bekerja
dan bahkan tinggal menjadi warga negara Singapura. Pastikan posisi kita, apakah
kita bagian dari orang yang akan diburu atau justru ditepis oleh Negeri Singa
ini. ~MNT
Comments