Oleh Muhammad Natsir Tahar
Globalisasi
bukan perkara kemarin sore milik warga post modernitas. Jauh sebelum Theodore
Levitt melentingkan istilah ini lewat Globalization of Markets (1983), umat manusia sudah mengglobal di titik nol
lini masa Adam dan Hawa. Paul James menyebut, perpindahan manusia adalah bentuk
dominan globalisasi paling tua. Adam dan Hawa telah berpindah dari ujung ke
ujung dunia, sedangkan perpindahan yang masif dan terorganisasitelah terekam
dalam jejak globalisasi bahtera Nuh.
Bahwa kita yang hidup di abad ini merasa paling modern karena
telah berendam sejak lahir dalam kancah globalisasi. Bahkan dengan tergesa -
gesa kita dianggap sudah masuk ke era post modernisme, setingkat di atas
modern. Dalam perspektif sosiologis, skala post modernitas umat manusia ditunjukkan
pada situasi dan tata sosial, produk teknologi informasi, globalisasi,
fragmentasi gaya hidup, konsumerisme hedonis, deregulasi pasar uang dan sarana
publikserta semakin usangnya konsep bernegara.
Secara simbol dan fakta, benar kita sudah berada di atas modern,
tapi dari konsep berpikir dalam perspektif post modernisme, sebagian besar
manusia di bumi justru sangat kampungan. Post modernisme dengan post modernitas
bukanlah hal yang sama.
Post modernisme tidak bisa dipaksakan. Ia adalah penantang keras
kisi – kisi modernisme yang dianggap gagal, tapi kemudian ia sendiri
kebingungan mencari tempat. Teori – teori yang diciptakan pada era modern yang
bertebaran bagai gemintang, dalam tatanan ini,telah coba untuk dipahami sebagai
indikasi atas kedewasaan spesiesmanusia.
Maka Derrida, Foucault dan Baudrillard sebagai bentuk radikal dari
kemodernan akhirnya bunuh diri karena merasa gagal menyeragamkan teori – teori.
Post modernisme - istilah yang pertama sekali muncul pada 1930 pada bidang seni
oleh Federico de Onis - biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang
sangat terbatas, bahkan sama sekali tidak ada penjelasan.
Post modernisme adalah tatanan yang utopia, mengangkasa demikian
tinggi dan lebih cocok untuk didiktekan kepada malaikat penjaga pintu langit.
Perdebatanpanjang atas kesombongan teori – teori parsial adalah gejala
kegagalan postmodernisme, karena setiap teori menyediakan dirinya untuk ditolak
oleh teori yang lainmeski selalu punya peluang untuk menjadi paling benar. Maka
debat – debat paling agung sekalipun oleh para kandidat penunggu Gedung Putih,
sebenarnya sangat terbelakang dari kacamata post modernisme.
****
Donald Trump adalah sebentuk makhluk ciptaan Tuhan yang paling
menggemaskan akhir – akhir ini. Di mata Islam dan Hispanik Amerika Serikat, ia
bahkan dianggap sebagai teror masa depan. Trump si mania narsis sekaligus rasis
ini akan dipertemukan dengan wanita penyandang stigma:si pembohong kelas satu
dan the most reckless woman, Hillary Clinton. Dua pilihan
sulit ini akan membuat payah publik Amerika Serikat (AS)dalam general
election 8 November 2016 nanti dan media menyebutnyasebagai the
choice between two evils.
ASnyaris tidak punya pilihan ketiga, kecuali si kuda hitam betina
dari Green Party. Ia adalah Jill Stein, seorang dokter, aktivis dan politikus.
Secara rekam jejak, Stein dianggap lebih bersih, sayangnya ia bernaung di
partai alas sepatu yang didukung para minoritas termasuk LGBT. Rakyat AS
sebenarnya sedang menuju fase gagal dalam menemukan pemimpin ideal secara
demokratis, meski negara ini dianggap sebagai induk semang demokrasidunia.
Trump adalah sosok anomalis yang tak terdefenisikan. Ia hampir
sepangkat dengan suku Yamomani, pribumi hutan Amazon yang mudah bertikai dengan
kaum pendatang. Profesor William Liddle, pengamat politik AS – Indonesia bahkan
mengaku gagal menemukan sisi baik Trump. Jika kemudian Trump melenggang ke Gedung
Putih, kata Liddle, rakyat AS benar-benar sedang dalam masa sulit, sesulit
hubungan Indonesia – AS nantinya.
Otak reptil Trump yang mengatur perasaan teritorial sebagai
insting primitif ternyata sangat dominan, sehingga ia secara eksplisit
menghendaki hanya orang Kulit Putih yang berhak atas Amerika Serikat. Jika
kemudian Trump benar-benar terpilih, inilah yang disebut dengan kegagalan post
modernisme bahkan dalam level modernisme sekalipun. Trump, manusia yang hidup
di abad post modernitas seakan menolak globalisasi. Diperkuat dengan wacananya
untuk mendongkel pasar bebas, maka Trump sangat mundur atau malah sangat maju.
Inikah gejala Neo Globalisasi? Entah.
****
Keniscayaan globalisasi di era post modernitas ini adalah
informasi di atas kecepatan cahayayang terkoneksi ke telepon genggam kita.
Dalam perkembangan teknologi informasi kita menjadi penikmat sekaligus korban.
Emosi dan pikiran kita banyak terporsir untuk peristiwa dan wacanafenomenal
atau bahkan remeh temeh, selain secara rutin menggunakan sosial media untuk
berbicara kepada Tuhan, orang serumah, hewan peliharaan, tumbuhan, bayi - bayi
bahkan kepada diri sendiri.
Tentang kudeta kilat yang menimpa Erdogan misalnya, kita
bersicepat mem-browsing, mengambil kesimpulan instan dan petikan berita
berupa temuan mentah kepada masyarakat sosial media. Insiden ini sama bisingnya
dengan fenomena Pokemon Go dan isu mobilisasi 10 ribu buruh kasar dari Negeri
Tirai Bambu.
Turki adalah pusat imperium lintas benua di masa Kesultanan
Ottoman yang menjadi simbol kejayaan Islam di masa silam. Kepada RC Erdogen
sebagai Presiden Turki, umat Islam dunia terutama sebagian besar Indonesia
menaruh ekspekstasi tinggi kepadanya untuk membersihkan kultur Turki yang
hampir seabadbergelimang dosa sekulerisme dan kembali pada cahaya Islam.
Erdogen adalah seorang politisi yang tak lepas dari pro kontra.
Kudeta gagal yang dilancarkan militer belum lama ini terkesan ganjil dan
misterius, mestinya sudah terbaca di awal – awal. Erdogan bisa benar dan bisa
salah, tapi kita yang selalu dahaga akan sosok ideal lekas – lekas menyulap
fragmen dari sekeping atau beberapa keping puzzle informasi dunia maya menjadi
cerita final.
Trump, Erdogan, fenomena buruh China, Britain Exit (Brexit), Greek
Exit (Grexit) adalah beberapa contoh era Neo Globalisasi yakni globalisasi
bentuk baru: manusia ultra modern sekaligus paling primitif. Globalisasi punya
misi suci untuk memadatkan dunia dan menyatukan spesies manusia, meski proses
ke arah ini dimanfaatkan oleh agen neoliberalisme untuk mencengkeram dunia.
Trump menolak globalisasi klasik, pemuja Erdogan berfantasi ke
masa kejayaan Utsmaniyah yang sempat menguasai zona Trans Konstantinopel,
sementara Brexit dan Grexit adalah keluarnya Inggris dan Yunani dari Uni Eropa
menuju ke keterasingan kolosal. Uni Eropa, Masyarakat Ekonomi Asia (MEE), Liga
Arab, AFTA dan NAFTA adalah bentuk kecil dari pemadatan dunia dalam agenda
globalisasi.
Dengan sangat berat harus dikatakan bahwa menentang mobilisasi
buruh China apakah ini fiksi atau fakta, adalah gejala melawan globalisasi
karena di sini perasaan teritorial sebagai insting primitif menjadi sangat
dominan. Dalam kacamata post modernisme, selalu ada celah atas setiap keburukan
yang kita definisikan.
Misalnya, kedatangan buruh China sebanyak itu – jika benar –
mereka bukanlah agresi nomaden yang akan mengadu nasib. Mereka datang karena
ditunggu oleh lapangan pekerjaan yang sudah tersedia. Dengan upah yang didapat,
tentunya mereka akan membelanjakannya di Indonesia untuk sejumlah keperluan
hidup. Alih – alih membebankan, justru kita akan menangguk multiflier
effect yang sangat dahsyat.
Seperti dikatakan sebelumnya, post modernisme adalah tatanan yang
utopia, mengangkasa demikian tinggi dan lebih cocok untuk didiktekan kepada
malaikat penjaga pintu langit. Sedangkan terminologi Neo Globalisasi untuk
fenomena ini adalah frasa yang saya karang – karang untuk sekadar menghibur. Neo Globalisasi adalah sebuah majas eufemisme
untuk menyebut diri kita sebagai manusia ultra modern sekaligus kampungan. Neo
Globalisasi bisa saja dijelaskan dalam cara lain oleh pakarnya. ~MNT
Comments