Oleh Muhammad Natsir Tahar
Cita –
cita bernegara belum tercapai. Kita sedang merangkak menuju tatanan idealis
yang didamba semua orang. Apakah negara idealis itu nyaris belum pernah ada di
dunia sehingga Sir Thomas More mengajak kita berkhayal tentang sebuah pulau
utopis di Samudera Atlantik?
Utopia
merupakan suatu komunitas atau masyarakat imaji dengan kualitas-kualitas yang
sangat didambakan ataupun nyaris sempurna.Cita-cita utopis seringkali
memberikan penekanan pada prinsip-prinsip egaliter, kesetaraan dalam bidang
ekonomi, pemerintahan, dan keadilan.
Untuk
mencapai utopia hampir seluruh belahan bumi bergolak sejak dulu. Mereka butuh
pemimpin ideal untuk mencapai tatanan sempurna. Maka ide – ide lama yang
berkait dengan tradisi, hierarki monarki, aristokrat serta dominasi agama
tertentu digulingkan secara tiba – tiba lalu diganti dengan liberte, egalite,
fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan) dalam Revolusi Prancis.
Revolusi
Perancis adalah suatu periode radikal dan pergolakan politik yang berdampak
abadi terhadap sejarah Perancis bahkan Eropa semuanya. Monarki absolut yang
telah memerintah Perancis selama berabad – abad runtuh dalam proses sengit tiga
tahun. Rakyat Perancis mengalami transformasi sosial politik yang epik.
Feodalisme, aristokrasi dan monarki dilumpuhkan oleh politik radikal sayap
kiri, oleh massa di jalan – jalan dan oleh masyarakat penanam sayur di
pedesaan.
Semangat
dari Revolusi Perancis adalah membuat perubahan radikal atas sistem
pemerintahan usang. Ketidakpuasan tiada ampun terhadap sistem Ancien Regime
yang beku kaku dan menindas. Louis XVI bersama ribuan pengikutnya dieksekusi
mati pada 1793 setelah sebuah negara Republik Perancis berdiri setahun
sebelumnya. Lepas dari mulut harimau, Perancis meronta di mulut buaya. Liberte,
egalite, fraternitedi masa – masa awal tampak seperti dusta besar guna
menggelegakkan darah rakyat untuk jadi pion – pion revolusi.
Lalu
pemerintahan sadis pun terjadi di bawah Diktator Maximilien Roberspkierre, 40
ribu rakyat Perancis meregang nyawa. Roberspierre pun dimatikan dengan cara
tidak hormat, pada 1799 ia diganti oleh Napoleon Bonaparte, seorang mantan
perwira altileri yang menonjol. Setelah itu apakah rakyat Perancis akan baik –
baik saja? Tidak! Kekuasaan hanya bersalinmuka, dari monarki absolut yang memuakkan
menjadi republik demokratik sekuler radikal yang lebih otoriter dan
termiliteristik.
Jika
Prancis terlalu berdarah, maka di Jepang perubahan besar terhadap sistem
pemerintah berlangsung lebihsmooth. Bahkan yang terjadi adalah kebalikan dari
Revolusi Prancis yang dikenal sebagai Restorasi Meiji.
Restorasi
Meiji (Meiji Ishin) adalah serangkaian kejadian yang berpuncak pada
pengembalian kekuasaan kepada Kaisar pada tahun 1868 dari diktator militer
Keshogunan Tokugawa. Restorasi ini menyebabkan perubahan besar-besaran pada
struktur politik dan sosial Jepang, dan berlanjut hingga zaman Edo dan awal
zaman Meiji.
Kedua
peristiwa bersejarah di Prancis dan Jepang berangkat dari cita – cita utopis
yang dijanjikan kepada orang banyak oleh para politisi. Bahkan di Jepang
terjadi intervensi asing oleh Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat.
Melihat
kronik Melayu, paling tidak terjadi dua insiden besar yang berhasil meruntuhkan
kedaulatan sultan. Meski semangatnya sama, keunikan dari pemberontakan di tanah
Melayu adalah pergerakan dilakukan dengan senyap dan lebih berdasarkan motif
pribadi. Seabad sebelum Revolusi Prancis, tepat 100 tahun, di Kota Tinggi
Johor,Sultan Mahmud Syah II mendapatkan ajalnya dengan cara ditikam pada tahun
1699 oleh Megat Sri Rama.
Oleh hal sepele Sultan Mahmud membelah perut Wan Anom isteri Megat sehingga pembalasan pun dilancarkan. Ia merupakan raja Melayu terakhir yang memerintah tanah Semenanjung dari trah Sang Sapurba. Sang Sapurba sendiri adalah seorang kelana yang diuntungkan oleh mitos keagungan Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great).
Oleh hal sepele Sultan Mahmud membelah perut Wan Anom isteri Megat sehingga pembalasan pun dilancarkan. Ia merupakan raja Melayu terakhir yang memerintah tanah Semenanjung dari trah Sang Sapurba. Sang Sapurba sendiri adalah seorang kelana yang diuntungkan oleh mitos keagungan Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great).
Sang
Sapurba dan anak keturunannya mengenggam legitimasi berabad – abad bagi
imperium Melayu atas dasar perspektif imajiner dan peta konstalasi kosmos yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sama saja, raja – raja Eropa pula, membuat
rekaan – rekaan imajiner sebagai keturunan langit, titisan dewa – dewi. Lalu
rakyat pun percaya kemudian menyerahkan daulat.
Sebuah mitologi tidak lengkap tanpa alasan pembenaran yang dramatik. Sebelum mendapat legitimasi atas mitos – mitos yang ditegakkan, calon raja harus membuktikan diri sebagai sakti mandraguna melebihi jelata.
Sebuah mitologi tidak lengkap tanpa alasan pembenaran yang dramatik. Sebelum mendapat legitimasi atas mitos – mitos yang ditegakkan, calon raja harus membuktikan diri sebagai sakti mandraguna melebihi jelata.
Megat Sri
Rama mematahkan mitos tentang doktrin penghambaan dan penyerahan diri yang
sempurna kepada sang raja, laksana Hang Tuah. Megat adalah Hang Jebat yang lain
di masa yang berbeda. Sebelumnya, Sang Rajuna Tapa juga pernah menuntut balas
atas kekejaman Raja Singapura, Parameswara.
Raja
terakhir Kerajaan Singapura ini memenggal kepala puteri Sang Rajuna Tapa,
istrinya sendiri, lalu ditancapkan di tiang dekat ujung pasar atas tuduhan main
serong dengan lelaki lain.Pembalasan dilakukan dengan mengundang bala tentara
Majapahit hingga Parameswara meninggalkan istana, bersamaan dengan runtuhnya
Kerajaan Melayu Singapura.
Revolusi
Prancis dan pemberontakan di tanah Melayu memiliki kesamaan yakni meruntuhkan
monarki. Namun Restorasi Meiji justru untuk menegakkan kembali kekuasaan
kaisar. Meski demikian spiritnya adalah sama yakni menginginkan tatanan utopis.
Dalam
sejarah Indonesia modern, pergantian rezim Soekarno ke Soeharto berlangsung
dalam pergolakan besar. Demikian pula ketika kedigdayaan Orde Baru diruntuhkan.
Di era reformasi, bangsa ini mengenal alam demokrasi yang sesungguhnya. Namun
tatanan utopis itu tak kunjung tercapai bahkan mengalami stagnasi. Demokrasi
bukannya bertugas untuk menemukan pemimpin ideal, justru memberi ruang terlalu
lapang untuk orang - orang meributkan semua hal.
Menjelang
ritual Pemilu, para politisi tak jemu menjanjikan sebuah tatanan utopis jika
kelak ia duduk di singgasana. Bagaimana ini bisa terjadi dalam negara yang
hanya pintar menarik pajak, menggadai kekayaan negara dan menihilkan subsidi?
Solusinya: banyak – banyaklah berdoa. ~MNT
Comments