Oleh Muhammad Natsir Tahar
Banyak konflik di dunia ini disebabkan kelekatan penuh pada identitas yang asal, lalu membuat penegasan sebagai entitas yang memiliki kebenaran tertinggi. Tidak ada yang bisa dihukum semata – mata karena ia terlahir sebagai Gypsi, Negro, Aborigin, Arab, Melayu atau Cina.
Bahkan untuk memilih agama, kita umumnya menumpang pada warisan genetika, bukan pada kegelisahan dan pengembaraan spritualitas pencarian Tuhan. Tidak ada yang bisa memilih untuk terlahir dari rahim seorang ibu penyembah api.
Bahkan untuk memilih agama, kita umumnya menumpang pada warisan genetika, bukan pada kegelisahan dan pengembaraan spritualitas pencarian Tuhan. Tidak ada yang bisa memilih untuk terlahir dari rahim seorang ibu penyembah api.
Kita sudah lama terperangkap dalam pola pikir yang tidak sederhana. Setiap perbedaan diterjemahkan secara rumit. Kesalahan berpikir ini telah mengantarkan manusia pada sengketa agama dan klan, pembersihan etnis sampai dengan genosida. Ratusan juta orang terkapar sepanjang sejarah, akibat kesalahan berpikir semacam ini.
Agama – agama tidak akan pernah bisa disatukan karena platform dan doktrin yang mengiringinya tidak dibuat untuk saling mengisi tapi justru untuk saling menihilkan. Demikian juga dengan norma, ideologi dan sistem nilai parsial. Yang dapat menyatukan semuanya adalah nilai – nilai universal. Yaitu bahan baku kebaikan yang dapat diterima oleh nurani manusia dan dapat dibenarkan oleh ajaran agama manapun.
Ada suatu keyakinan bahwa sekumpulan nilai universal dirumuskan untuk komunitas global. Manusia bukan apa-apa, baik dari perilaku maupun moralnya jika dia menutup diri atau terisolasi. Nilai ini berada dalam hubungan antara manusia satu dengan manusia lain. Nilai ini berlaku dalam komunikasi dan komunikasi tidak mungkin terjadi jika banyak nilai yang secara umum berbeda membelit masing-masing individu.
Tanpa bercermin pada nilai – nilai universal maka keturunan Adam di planet biru ini sukar untuk didamaikan. Sebagian manusia sejak lama diwarisi oleh histeria kolosal zaman perunggu, yang berbicara berdasarkan warna kulit dan menyapa perbedaan dengan senjata.
Kebanyakan masalah di dunia ini dapat dikatakan merupakan hasil dari perbedaan interpretasi tentang perdamaian, kasih sayang, dan keadilan. Interpretasi orang lain selalu dianggap salah. Sedangkan doktrin – doktrin kolosal yang diterjemahkan secara sempit telah gagal membuat manusia menjadi beradab.
Alternatif untuk perdamaian adalah terciptanya tatanan global yang memakai nilai universal sebagai pedoman. Tatanan semacam ini akan melahirkan masyarakat kosmopolis yang beradab, rukun, damai dan tentu saja dekat kepada Tuhan sebagai sumber kebaikan. Masyarakat kosmo sangat mengasihani para penghasut yang seluruh sisa hidupnya dihabiskan untuk menggagalkan proses ke arah perdamaian itu.
Menurut Reza A.A Wattimena, manusia kosmopolis adalah manusia yang melihat dirinya sendiri sebagai warga negara dunia. Ia tidak melekat pada identitas sosial tertentu, melainkan melihat dirinya sebagai salah satu mahluk hidup di alam semesta ini.
Ia hidup dengan nilai-nilai universal yang menghormati tidak hanya manusia lain, tetapi juga semua mahluk hidup. Bisa juga dibilang, bahwa manusia kosmopolis adalah mahluk semesta.
Sejatinya, kita semua adalah mahluk semesta. Sedari lahir, kita tidak melihat diri kita sebagai manusia, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta, dan segala isinya.
Di dalam perjalanan hidup, kesadaran semesta ini lenyap, dan digantikan dengan kesadaran sempit sebagai bagian dari kelompok sosial tertentu. Kesadaran sempit inilah yang nanti bisa berbuah menjadi tindak diskriminatif dan penindasan pada kelompok lain.
Kemarin saya pintar, jadi saya ingin mengubah dunia. Hari ini saya bijaksana, jadi saya mengubah diri saya sendiri. (Jalaluddin Rumi – Mistikus Muslim, Penyair Sufi). ~MNT
Comments