Oleh Muhammad Natsir Tahar
Beberapa orang telah mengasingkan diri dari adat dunia. Menempuh jalurlengang sendirian untuk kemudian disebut aneh. Apalagi jika dikaitkan dengan sepak bola, ketika 3,4 miliar pasang mata melotot, “orang aneh” justru mendengkur. Mereka benar–benar tak pandai menikmati hidup yang bisa didapatkan dengan serta merta pada histeria bola.Sepak bola adalah magnet terdahsyat yang pernah ada, kata “orang normal”.
Beberapa penggila bola berjuang untuk menjadi komentator nomor
satu. Tidak ada kecap nomor dua, demikian pula komentator bola. Mulai dari yang
bersarung dan berkopiahmiring di kaki gunung Indonesia, sampai tuan besar
berdasi wangidi gedung pencakar langit Manhattan, Amerika, bercakap pasal bola.
Tak hebat kalau tak mendebat bola bahkan melampaui kewenangan
intelektual untuk memburuk-burukkan para pemain kelas dunia, terutama pada
musim Liga Eropa dan Copa Amerika sekarang ini. Jika tak pandai beranalisa atau
menduplikasi opini komentator nomor satu, bersoraklah sebagai jamaah suporter
cuma – cuma, dengan kutub - kutub Jersey aneka warna.
Jersey bukan semata soal jenis bahan tekstil kaos bola, yang utama
adalah marwah yang dititipkan para fanatik bola pada klub idola masing –
masing. Jersey tidak sebataskostum syarat wajib klub sepak bola, tapi kepadanya
dilekatkan filosofi dan harga mati. Misal AC Milan dengan filosofii
Rossoneri (Merah-Hitam). Merah seperti setan dan hitam dalam menebar
ketakutan. Tentu saja AC Milan bukan klub satanicatau conjuring,
namun pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa mereka bukan lawan tanding
sembarangan. Mereka adalah setan lapangan yang menakutkan, kata mereka.
Harga mati Jersey menempel kuat pada minda para pemain bola hingga
menyentuh sukma terdalam. Pada jersey yang paling imitasi sekalipun, mereka
akan haru biru. Pagi itu, 26 Desember 2004, Martunis kecil dan kawan – kawan
berniat main bola. Martunis memakai kostum nasional Portugal bajakan yang
dibeli di Banda Aceh. Tapi tsunami dahsyat yang menghantam Aceh tak memberi
kesempatan kepada Martunis. Ia tersapu gelombang dan terdampar selama 21 hari.
Pada 15 Januari 2005, Martunis ditemukan di rawa-rawa,
sebatang kara dan masih terbungkus kaos bola lusuh.
Lewat televisi Inggris, Martunis yang kurus hitam dengan jersey
palsu Portugal itu segera menyebar ke Eropa. Ia sontak menimba simpati dari
bintang top Eropa macam Cristiano Ronaldo, Luis Figo, Scolari sampai Gilbarto
Madail, Ketua Federasi Sepak Bola Portugal. Martinus pun diundang ke Lisboa,
mendapat hibah 500 juta rupiah dan disulap jadi pemain bola dengan capAtleta
Suporting.
Sejarah berulang ketika sebuah foto tersebar secara viral di Eropa
tentang bocah korban perang yang memakai baju dari kantong plastik bermerek
Messi 10. Sekilas kantong plastik putih bergaris biru itu serupa dengan
jersey Argentina milik Lionel Messi. Bocah yang berasal dari kota hancur Dohuk,
Irak ini pun diburu Messi untuk diselamatkan.
****
Jazirah Eropa telah melahirkan para pemilik kaki – kaki malaikat
sekaligus setan-setan rumput hijau yang menggairahkan. Keindahan manuver dan
ketajaman tendangan di gawang lawan oleh para pemain Eropa selalu memukau dan
dikenang lama-lama. Padahal Eropa bukanlah tanah kelahiran olahraga dari masa
lampau ini. Tuhan menurunkan ilham kejar mengejar bola pertama sekali kepada
umat Dinasti Han di daratan Cina sekitar tahun 206 SM. Orang – orang kuno itu
menjahit kulit hewan untuk dijadikan menggelinding dan digiring beramai-ramai
ke gawang lawan.
Meski demikian sepak bola modern diakui memang bermuasal dari
Inggris, ketika pada 1857 sebuah klub sepak bola bernama Sheffield Football
Club didirikan. Eropa resmi menjadi pusat peradaban sepak bola pada abad ke-19.
Selain melahirkan pesohor–pesohor bola, Eropa juga menjadi lokus
para penulis sastra kelas dunia. Sastra di Eropa telah dimulai sejak 880 SM,
kemudian berlanjut dengan Sastra Latin, sastra abad pertengahan, sastra Renaisans serta
dimulainya sastra modern pada tahun 1800 Masehi.
Pemuncak sastra klasik dalam bidang drama misalnya, diwakili oleh
Sophocles lewat Oedipus Rex and Antigone. Sastra Latin
mempersembahkan The Aeneid oleh goresan emas Virgil, lalu
Wiliam Shakespeare menyeruak pada awal abad pertengahan melalui keagungan Hamlet. Sastra Renaisans merayakan
zaman keemasan mereka dalam kegurihan Dr. Fraus oleh Marlowe,
sedangkan pengabdi sastra modern berdecak kagum pada Pygmalion garapan
Bernard Shaw.
Dalam idealisme, pemain bola dan penyair sama saja. Mereka menaruh
jiwanya ke dalam karya dan gerak. Mereka melangkah lurus pada jalan takdir yang
bahkan bertabur onak duri. Kepada mereka orang – orang akan mengangkat topi,
atau kepada mereka orang – orang akan mencibir.
Pemain bola sejati memakai jersey asli seperti bendera pusaka.
Demikian pula penyair sejati, pantang bagi mereka memapar kalimat palsu atau
tiruan atau mencuplik bulat-bulat buah karya orang lain. Ibarat batu mulia,
sastrawan memiliki guratan dan retakan unikyang tidak identik satu dengan
lainnya. Sastrawan hanya bisa dikompilasi melalui aliran – aliran seperti
realisme, surealisme, abdsurdisme, psikologisme, romantik dan seterusnya, tapi
keunikan goresan pena mereka tidak terdefinisikan secara kolektif meski
berjuta-juta banyaknya.
Sastrawan tak memiliki Jersey, kostum, salut, busana, seragam atau
apapun terminologinya kecualipada keunikan buah karya mereka sendiri. Sedangkan
para soccer player meski berbungkus jersey dan strategi
pertandingan yang mengikat, tapi masing-masing mereka tetaplah manusia unik.
Keunikan itu tergambar dalam ratusan julukan yang diberikan kepada pemain bola
misalnya Becks untuk David Beckham, Apache untuk
Carlos Tevez, De Kannibaal kepada Khalid Boulahrouz, Captain
Marvel kepada Bryan Robson atau The Phenomenon dipasangkan
pada Ronaldo.
****
Money Can Make History. Apa yang dalam dunia tidak diongkosi dengan
uang. Sepak bola tidak bisa dirayakan dengan “berpuasa”. Para tradisionalis
bola tidak bisa memanjang-manjangkantausiah mereka untuk mencegahbid’ah jual
beli klub, misalnya. Tapiindustri sepak bola adalah pekerjaan akbar yang tidak
gratis, sehingga para miliarder berijtihad untuk membina klub-klub mentereng.
Bintang lapangan pun bermandi uang apalagi pengampunya.
Pecinta bola berjumlah 3,5 miliar itu adalah target potensial yang
terus menerus mengalirkan magma panas pada kapitalisme bola. Uang-uang mengucur
deras pada musim pertandingan, mulai dari episentrum lapangan, media massa dan
iklan, hingga gimmick dan bling-bling suporter yang menyebar ke
seluruh permukaan bumi.
Jersey khususnya pada major league dianggap
sebagai simbol kemakmuran skuad bersangkutan. Pada sehelai jersey asli
bergelayut merek-merek global seperti Adidas, Nike, UMBRO atau Redbull dengan
nilai kontrak ratusan juta poundsterling. Animo fans yang sangat taat pada klub
idola masing-masing menyebabkan jersey imitasi diproduksi secara massal.
Jersey bahkan tidak hanya sebagai identitas, tapi juga menjadi
lambang romantisme, kebanggaan, kerusuhan hingga kematian. Banyak yang mati
cuma-cuma karena telah mewakafkan dirinya untuk “berjihad” di jalan jersey.
Sastra juga demikian adanya. Hasil karya brilian mereka diproduksi
massal dan penulisnya kaya raya. A Tale of Two Cities karya
Charles Dickens (1859) memiliki 200 juta salinan di seluruh dunia. Kemudian
karya fantasy epik J.R.R Tolkien (1937) terjual sebanyak 150 juta buku diikuti
oleh The Hobbit oleh pengarang yang sama sebanyak 100 juta
buku. Hasil karya sastra memenuhi kebutuhan industri kreatif, sehingga tidak
jarang karya sastra yang punya magnet kuat, akan difilmkan oleh Hollywood untuk
segera menjadi box office.
Apakah ada penggemar sastra yang mati akibat “jersey”sastrawan?
Jawabannya ada, bukan mati fisik tapi mati rasa. Seorang penulis sastra mampu
menciptakan mitos atau kekuatan magis lewat karya-karya mereka yang fenomenal
atau membuat jalan pintas dengan menghegemoni sisi-sisi psikis pembaca lewat
testimoni hiperbolik.
Ketika mitos sudah terbentuk, penikmat sastra akan memasuki fase
mati rasa. Mereka tidak bisa lagi memilah mana frasa indah atau sekadar kalimat
hambar bertele-tele dari sang pujangga pujaan. Penulis sastra juga manusia,
yang pikiran-pikirannya bisa tersabotase oleh keadaan, ruang dan waktu. ~MNT
Comments