Oleh Muhammad Natsir Tahar
Ilusi terbesar anak cucu Adam di abad milenial ini bukan David Copperfield atau Criss Angel apalagi Deddy Corbuzier. Bahkan berabad – abad lamanya umat manusiatelah hidup dalam ilusi besar ini. Ilusi tersebut dimulai sejak uang kertas dicetak. Sebuah ilusi yang mengancam karena ia menyimpan bencana, mendebat akal sehat bahkan mendustakan kitab suci.
Yang membedakan manusia purba dan primata adalah tata cara mendapatkan makanan. Perbedaan itu semakin tampak ketika manusia mulai mengenal sistem tukar menukar (barter). Akal dan dinamika manusia pun makin berkembang, sehingga mereka butuh alat tukar yang setara mulai dari garam sampai koin emas dan perak yang kemudian disebut uang.
Mobilisasi uang pada skala besar telah ada sejak peradaban Mesopotomia 3000 SM yang selanjutnya dilengkapi kode hukum dan kontrak. Ketika uang yang digunakan memiliki nilai instrinsik atau setara dengan barang yang dipertukarkan, maka sebenarnya itu adalah realitas.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika aktivitas tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas. Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas.
Mula-mula uang kertas (fiat money) yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai instrumen perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100 persen dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya.
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar. Sejak ini kita mulai memasuki era ilusi karena uang – uang yang beredar tidak lagi memiliki nilai intrinsik atau setara dengan asal usulnya.
Sang Pengelana Dunia Marcopolo dibuat tercengang ketika ia mendapati daratan Cina menggunakan uang kertas untuk mengantikan fungsi logam mulia sebagai alat transaksi. Yang dia catat kemudian, alat itu memungkinkan penguasauntuk mendapatkan semua yang berharga tanpa modal apa-apa, cukup dengan mencetak kertas.
la mulai berpikir bahwa alat itu bisa menjelma sebagai ilusi yang berbahaya. Marco Polo benar. Uang kertas memang bisa menjadi ilusi yang berbahaya di kemudian hari. Bukti – bukti itu seperti gelembung ekonomi yang pecah menjadi resesi dan krisis moneter berkepanjangan. Ketika suatu negara collaps, maka tumpukan uang yang mereka simpan akan setara nilainya dengan tumpukan koran bekas.
Jauh sebelum para pedagang semasa Dinasti Tang pada abad ke-7 ramai menggunakan uang kertas, Kaisar Wu-Ti telah mencetak uang kertas. Ahli sejarah mencatat, Wu-Ti telah menggunakan uang kertas sejak abad kedua sebelum masehi. Budaya ini kemudian menyebar dan berkembang di seluruh dunia.
Dunia kemudian memasuki revolusi moneter ketika bank – bank terus tumbuh untuk mendistribusikan uang kertas – yang tanpa nilai – tersebut ke seluruh negara. Di Eropa, para pedagang baik secara individu maupun kolektif mengeluarkan semacam surat atau nota (receipts) sebagai bukti kepemilikan deposit logam berharga.
Dengan berkembang pesatnya aktivitas ekonomi, muncul pula surat perintah untuk membayar (payment order). Dari sini berkembang apa yang sekarang dikenal sebagai cheque dan Bank Note.Mulanya ia memiliki nilai setara emas dan perak namun kini hanyalah secarik kertas yang bisa mewakili setumpuk emas, meski emasnya hanya ada di alam ilusi.
Sistem perbankan semakin lengkap ketika berlakunya nilai minimal persyaratan cadangan wajib (fractional reserve requirement) dan puncaknya, mereka menerima berlakunya sistem bunga (interest) yang sudah dilarang oleh semua agama samawi. ~MNT
Comments