Oleh Muhammad Natsir Tahar
Dalam
perspektif dogma, kehidupan di dunia ini hanyalah senda gurau belaka karena
Tuhan ingin mengatakan bahwa di sisi-Nya, dunia nan megah ini tidak lebih
berharga dari sebelah sayap nyamuk. Sedangkan dalam semesta kosmos manusia
hanyalah setara Quark, partikel
terkecil dari atom.
Tuhan
sengaja menyampakkan derajat dunia setara sayap nyamuk agar manusia
menghadapkan wajah kepada hari pembalasan. Sedihnya makhluk Quark ini
mengambil sisi asyiknya saja: dunia sebagai alam senda gurau.
Maka dunia ini dipenuhi ekstravaganza, pertunjukan orkestra kehidupan yang kontinum. Sebuah helat, festival dan tarian – tarian superfisial dipertontonkan tanpa jeda. Satu persoalan menindih persoalan lainnya. Lalu meleleh bersama kumparan waktu. Tidak ada yang selesai secara esensi.
Maka dunia ini dipenuhi ekstravaganza, pertunjukan orkestra kehidupan yang kontinum. Sebuah helat, festival dan tarian – tarian superfisial dipertontonkan tanpa jeda. Satu persoalan menindih persoalan lainnya. Lalu meleleh bersama kumparan waktu. Tidak ada yang selesai secara esensi.
Penyelesaian
atas suatu konflik diletakkan di urutan akhir, yang dipentingkan adalah
ekstravaganza, proses yang dramatik – teatrikal akan dipertontonkan kepada
khalayak.
Yang
menjadi bintang adalah siapa yang mampu menguasai gelanggang, sedangkan pahlawan
bertopeng hanya ada dalam fiksi Hollywood.
Masalah –
masalah besar kemanusiaan sebenarnya muncul dari kegagalan kita untuk melihat
kompleksitas masalah. Kita cenderung melakukan simplikasi, terkadang memakai
kacamata kuda, ceteris paribus dan rabun jauh.
Salah
siapa? kita sebagai jelata juga yang salah. Saban hari asyik masyuk dan terayun
– ayun dalam rentak estravaganza, tanpa mampu mengikatkan diri sekaligus
meningkatkan diri secara paripurna kepada sebuah prinsip kuat idealisme, serta
tak mau mengampu kepada dogma yang dikaji mendalam, kepada nilai – nilai
universalyang dapat dijadikan batu pijakan.
Kita yang bersimbah peluh dan mati terinjak demi mengerumuni sebuah panggung pertunjukan ekstravaganza adalah bebek – bebek dogmatis yang dangkal. Di lain sisi menjadi budak – budak duniawi penyembah sayap nyamuk.
Kita yang bersimbah peluh dan mati terinjak demi mengerumuni sebuah panggung pertunjukan ekstravaganza adalah bebek – bebek dogmatis yang dangkal. Di lain sisi menjadi budak – budak duniawi penyembah sayap nyamuk.
Dalam
meniti alam senda gurau ini baiknya kita menoleh kembali ke kebijaksanaan
kuno phronesis (meminjam Sindhunata), ke
pengembangan illative sense, ke penajaman kembali rahsa
(kebatinan) – bukan suasana kebatinan yang dilantunkan oleh lidah politisi.
Inilah sebuah pekerjaan maha besar yang makan waktu panjang dan berujung
utopia. Sebuah antitesis terhadap egoisme dan egotisme yang cupat dan miopik.
Di
sinilah filsafat bisa mengambil peran penting. Seperti ujaran seorang filosof:
dalam filsafat, kita selalu menemukan pandangan – pandangan yang bertentangan
tentang masalah apa saja. Dengan filsafat, kita bisa memainkan dialektika yang
dinamis ketimbang pergulatan yang saling memusnah.
Filsafat
bukanlah ilmu yang mewah dalam arti bisa dipelajari oleh siapa saja dan tidak
selalu menjadi wilayah kerja para filosof. Filsafat adalah suatu disiplin ilmu
mengenai hakikat terdalam segala sesuatu dengan menerapkan prosedur berpikir
ilmiah, yakni metode logis – analitis, seraya memanfaatkan hasil daya pikir
yang absah.
Tentunya
sebagai jelata, kita tak ingin selamanya bertahan sebagai sampah demokrasi.
Kita mesti berpindah kuadran. Laksanakan proses dialektika ke dalam diri
danberdiskusi bersama orang – orang terdekat. Jadilah manusia yang paham
esensi, bukan justru mempeributkan gejala – gejala permukaan di kedai – kedai
kopi hingga dinding sosial media.
Banyak
perdebatan ilmiah di televisi yang hanya mengelupas kulit persoalan kita
jadikan sebagai wacana kekaguman. Sementara sebagian
di antara adalah produk artifisialisasi kapitalisme televisi yang jauh dari
kata holistik. Dalam bahasa postmodernistik, tanpa berfilsafat kita secara tak
sadar sudah terjebak dalam logosentrisme, ke dalam bias – bias yang menyertai
setiap wacana. Filsafat dalam metodologi berpikirnya yang ketat memaksa kita
untuk mengupas tuntas sembarang fenomena secara intelektual dan ilmiah.
Mari kita
kepakkan sayap nyamuk itu untuk bersenda gurau dengan cara yang hebat dalam
ekstravaganza normatif yang kita mainkan sendiri, bukan atas irama orang lain.
Karena Tuhan tidak suka kepada manusia yang tidak berpikir. ~MNT
Comments