Oleh Muhammad Natsir Tahar
Nasionalisme
akan menyentuh titik paling romantis bagi bangsa Indonesiasaat menjelang detik
– detik Proklamasi. Derab langkah pasukan pengibar Sangsaka dan alunan
Indonesia Raya menjadi helat agung sepanjang dirgahayu republik ini. Selain
soal romantika masa silam, nasionalisme di jantung Indonesia akan berdegup
keras jika terjadi ancaman, apakah itu secara teritorial, identitas atau harga
diri.
Primordialisme
sebenarnya merupakan nasionalisme dalam level embrio. Tapi dasar manusia selalu
ambigu, sikap primordial dinilai minor sedangkan nasionalis dianggap patriot.
Dalam dialektika liberalisme pula, keduanya dinista sebagai langkah mundur.
Nasionalisme dan liberalisme adalah dua polar yang terus menerus berkelahi.
Dari pisau bedah filosofis, tidak ada kebenaran mutlak di antara keduanya.
Karena manusia menyandang dua hal sekaligus: primitif dan futuristik.
Seorang
‘Amerika’ bernama Arcandra Tahar tertuduh melakukan penyusupan ke Kabinet
Jokowi sebagai Menteri ESDM. Tahar gagal total melewati test the water di media
sosial Indonesia. Ia serta merta menjadi figur antagonis yang paling dikecam
netizen untuk tidak mengatakan kemampuan intelijen Indonesia sangat lemah, atau
status kewarganegaraan Tahar bisa ditukangi nanti - nanti. Merespon reaksi
publik, menjelang detik – detik romantisme Proklamasi tepatnya 15 Agustus
2016,Tahar segera diumumkan pemberhentiannya.
Getar –
getar nasionalisme yang diperkuat dengan kebencian patologis pada Amerika
Serikat yang selalu mengusik dan mengisap Indonesia, membuat Tahar mati gaya.
Kulit coklat dan gestur Minang Kabau seorang Tahar tak kuat menahan lagi untuk
ia bisa lebih lama ada di negeri moyangnya sendiri. Bukti paspor Amerika
Serikat miliknya beredar cepat. Tersebab Indonesia tidak melegalisasi
kewarganegaraan ganda apalagi untuk posisi menteri.
Menaruh
curiga pada gerak – gerik Tahar menjadi patut lantaran belum apa – apa, hanya
dalam hitungan hari jadi menteriia sudah meloloskan kepentingan Amerika dalam
rangka pengisapan Indonesia dengan meneken rekomendasi perpanjangan izin ekspor
kosentrat PT Freeport Indonesia.
Namun kabar angin adanya jaringan mafioso migas Indonesia yang merasa terancam dengan sinyal manuver sapu bersihdari sosok ekspert perminyakan dunia ini adalah hal lain yang lebih serius. Kelanjutan peristiwa ini akan menjadi drama detektif yang asyik ditonton.
Namun kabar angin adanya jaringan mafioso migas Indonesia yang merasa terancam dengan sinyal manuver sapu bersihdari sosok ekspert perminyakan dunia ini adalah hal lain yang lebih serius. Kelanjutan peristiwa ini akan menjadi drama detektif yang asyik ditonton.
Keluar
dari itusemua, lepasnya Tahar dari pelukan Bunda Pertiwi yang baru saja mendekapnya
sebentar, membuat Indonesia menambah deretan panjang daftar orang pintar
Indonesia yang tak mendapat tempat di negeri sendiri. Arcandra Tahar adalah
Diaspora (orang perantuan) Indonesia berkualitas tinggi.
Keahliannya sangat dibutuhkan bahkan untuk negara semaju Amerika Serikat. Lagi – lagi yang terjadi adalah brain drain atau human capital flight, yaitu peristiwa hilangnya tenaga ahli, pemikir, intelektual potensial dari negeri ini untuk mengabdi di negara lain.
Keahliannya sangat dibutuhkan bahkan untuk negara semaju Amerika Serikat. Lagi – lagi yang terjadi adalah brain drain atau human capital flight, yaitu peristiwa hilangnya tenaga ahli, pemikir, intelektual potensial dari negeri ini untuk mengabdi di negara lain.
Brain
drain merupakan fenomena global yang acap mendera negara berkembang sejak
Perang Dunia II. Banyak negara miskin yang kehilangan warga negara terbaiknya
akibat potensi mereka berada di atas kebutuhan negara yang bersangkutan baik
secara teknologi maupun oleh tarikan negara maju yang siap menampung mereka.
Sebagai misal, dari laporan UNDP (Amich Alhumami: 2007), mencari dokter ahli
asal Ethiopia di Amerika jauh lebih mudah dibanding mencarinya di Ethiopia
sendiri.
Pada
umumnya pelaku brain drain adalah generasi muda yang memiliki kemampuan di atas
rata – rata dan mengambil kosentrasi pada bidang teknologi nuklir, astronomi,
pertambangan, kedokteran, akademisi, kedirgantaraan dan sebagainya. Minimnya
fasilitas, relevansi tingkat keahlian, rendahnya penghargaan yang diberikan
Indonesia serta terbukanya akses yang luas ke dunia internasional membuat
mereka memilih menetap di luar negeri.
Belum ada
data valid berapa ribu otak cerdas Indonesia yang dipakai untuk berpikir bagi
kebutuhan negara yang mengadopsi mereka. Ada yang memperkirakan jumlah diaspora
cerdas Indonesia berkisar 5 persen, itu artinya mencapai 12.500.000 orang dari
250 juta populasi penduduk. Fakta yang sangat menyesakkan di tengah negeri ini
yang kekurangan tenaga ahli, dan ironinya Indonesia harus mengimpor lagi tenaga
kerja asing untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Beberapa
ahli asal Indonesia melakukan rangkaian penelitian yang dibiayai luar negeri.
Temuan mereka dipatenkan dan Indonesia harus membayar royalti untuk hasil karya
anak bangsanya sendiri. BJ Habibie bisa saja terjangkit amnesia pada Indonesia
bila Soeharto tidak cepat – cepat mengutus Ibnu Sutowo untuk menjemputnya dari
Jerman. Sebelumnya Soekarno yang terlalu nasionalistik tak pernah menggubris
proposal Habibie dan dianggap sebagai anak muda yang terlalu Jerman.
Kondisi
politik sebuah bangsa, tradisi keilmuan dan kurangnya apresiasi di negara
asalnya membuat Alexander Graham Bell bermigrasi dari Skotlandia untuk membuat
telepon di Amerika. Atau Jhon Von Neuman, seorang Hungaria yang juga merasa
hanya Amerika yang bisa menampung otaknya untuk kemudian menciptakan basis
komputerisasi yang kita kenal sekarang ini.
****
Diaspora
Indonesia berdiri pada posisi dilematis. Selalu ada alasan moral bagi mereka
untuk tetap menjadi Indonesia atau bersumpah setia kepada negara lain, negara
baru yang sanggup melayakkan mereka.
Jangan
diktekan soal nasionalisme kepada mereka. Tanyakan saja kepada kita - katak
dalam tempurung - ini, nasionalisme macam apa yang sudah kita genggam?
Bagi kita
nasionalisme itu adalah berani memarahi Malaysia, ketika warga keturunan Jawa
di sana memainkan Reog Ponorogo atau mengajukan hak paten untuk batik.
Nasionalisme bagi kita barulah sebatas seragam “Garuda di Dadaku” untuk sepak
bola atau cabang olahraga lainnya.
Tapi kita menyimpan dolar, memuja produk asing, meng-excuce neoliberalisme, membiarkan hutan dan perut bumi dihisap asing.Sementara orang – orang kaya kita terusmenerus memarkir uang mereka di luar negeri sehingga mesti dipujuk dengan tax amnesty.
Tapi kita menyimpan dolar, memuja produk asing, meng-excuce neoliberalisme, membiarkan hutan dan perut bumi dihisap asing.Sementara orang – orang kaya kita terusmenerus memarkir uang mereka di luar negeri sehingga mesti dipujuk dengan tax amnesty.
Bagi
kita, nasionalisme adalah pekik mardeka dan upacara bendera penuh hikmat
menjelang detik – detik proklamasi di Istana Negara. Pesan sejarah yang selalu
terselip adalah Indonesia harus bebas dari penjajahan asing dalam bentuk
apapun, sedangkan faktanya, kita masih dan terus memberi akses yang besar
kepada asing untuk menguasai aset vital Indonesia, membiarkan asing mendiktekan
regulasi untuk kepentingan investasi mereka, serta secara konsisten dan taat
menumpuk utang tak terhentikan sampai bila - bila.
Bagi
kita, darah nasionalisme seketika menggelegak bila menyaksikan babu – babu kita
di negeri orang disiksa majikannya. Sedangkan di sisi yang lain, fakta yang
terjadi adalah siksaan dalam bentuk lain jauh lebih dahsyat yang berpunca dari
kejahatan human trafficking dan bisnis raksasa narkoba yang meracuni sebagian
besar generasi muda bangsa ini. Prilaku koruptif untuk menganyang uang negara
yang bisa digunakan untuk memintarkan Indonesia bahkan sudah menjadi kultur
birokrasi.
Pada
akhirnya nasionalisme hanya sebatas rasa absurd yang hilang
dari definisi asalinya. Nasionalisme mendekap pada romantisme masa perjuangan
dulu yang terbangkitkan oleh rekaman pidato Soekarno, dokomentasi historia
serta lagu – lagu perjuangan. Tapi ideologi Soekarno untuk tidak memberikan
kesempatan setitikpun kepada asing berpesta pora di negeri ini hanya akan
selalu menjadi wacana kekaguman sejarah, tapi tidak pernah ditiru.~MNT
Comments