Oleh Muhammad Natsir Tahar
Dia berdiri di atas sebuah kota dan menembus rumah dengan matanya. Dia mengatakan bahwa roh-roh yang mengambang di sayap mimpi, dan orang-orang yang menyerah pada tidur. Ketika bulan jatuh di bawah cakrawala dan kota menjadi hitam, kematian berjalan diam-diam di antara rumah-rumah - hati-hati menyentuh apa-apa - sampai ia mencapai istana. (Kahlil Gibran)
Tubuhnya ringkih, kurus dan gemetar. Wajah penting itu terlihat sudah makin menua dan letih. Meski sedang kelelahan oleh usia dan penyakit, ia tak terhentikan. Sesetangah orang akan memilih istirahat di rumah besar, bercengkerama dengan anak cucu, bertamasya sambil menjalani terapi di luar negeri, bukan malah mengurus dua juta orang. Lelaki tua uzur itu turun naik pelantar, disepak gelombang, terbang di atas awan, pontang panting, padat, riuh dan penat, dan perih dan ajal menjemput.
Ayah Sani, pria besi unstoppable. Personifikasi Untung Sabut yang melekat pada dirinya seperti punya kekuatan magis. Sani melesat bagai anak panah, meluncur, menembus hingga ke titik paling diinginkan. Ia seakan menjadi tangan kanan keadilan, sosok pemenuh kebutuhan kepada orang – orang tak berayah, yang merindukan figur ayah dan segala tentang ayah. Sani adalah paternalis dari sisi paling positif.
Sani kecil diikat di sebatang pohon inai oleh Subakir bapaknya, sebagai hukuman jika ia malas sekolah atau mengaji. Sejak itu ia siuman bahwa kehidupan ini keras, bukan untuk berleha – leha. Budak Parit Mangkil ini memaksa dirinya untuk sedaya upaya bisa bertahan di bangku sekolah.
Jika Yang Maha Berkehendak sudah memihak, maka tak satu aralpun dapat melintang. Bila Yang Satu sudah restu, maka segala ikhtiarpun membujur lalu. Lalu anak petani miskin yang nyaris putus sekolah itupun menjadi gubernur, dua kali jadi gubernur, orang nomor satu di ranah Kepulauan Riau. Untung sabut timbul, untung batu tenggelam.
Sani kecil adalah potret kusut anak petani papa yang hidup dalam kesempitan, lalu kemudian menemui jalan benderang. Dia menyadari hanya dengan banyak bekerja, belajar dan membangun hubungan baik dengan sesama, hidup ini segera berangkat dari kubang kemiskinan.
Sejak kecil Sani sudah terbiasa menghadapi kerasnya hidup. Saat anak-anak seusianya lebih banyak bermain dan bermanja, ia malah menghabiskan waktu di ladang karet dan kelapa sawit. Bekerja menoreh getah, mengumpulkan daun pinang kering, menjadi pemungut bola tenis atau mendorong gerobak menjual air keliling kampung. Seluruh bait memoar tentang hidup Sani adalah ayat – ayat khotbah untuk menuntun siapa saja yang ingin mencapai cita dan aktualisasi diri. Dari titik nadir ke puncak asa. Zero to hero.
2012 silam, di sela acara Business Meeting di Jerman, Gubernur Sani sedang tak punya pilihan kecuali menjalani operasi penyempitan saraf tulang punggung yang sudah sepuluh tahun ia derita. Meski kelihatan pulih tapi kondisinya tak kunjung membaik.
Beberapa dokter yang sempat memeriksa kesehatannya mendiagnosa ada penyempitan saraf akibat tulang tumbuh yang menekan saraf tulang belakang, tepatnya di punggung (growing and compressor). Namun Sani sebelum itu hanya melakukan pengobatan akupuntur. Ia memilih mementingkan tugas – tugas kedinasan daripada menyelamatkan hidup sendiri. Sani menghindari operasi yang mengharuskannya berlama – lama di rumah sakit.
Padahal delapan tahun sebelumnya, Sani mengaku sudah diminta dokter untuk operasi, tapi dia menolaknya dikarenakan aktivitasnya yang padat. Namun semakin hari, rasa sakit saat menoleh ke kanan dan ke kiri semakin mendera. Bahkan, sangat terasa saat menuruni anak tangga. Rasa sakit bahkan sampai ke pinggang dan tulang belikat.
Rasa sakit itu kian menjadi sehingga Sani berkonsultasi ke Mounth Elizabeth, Singapura dan Mahkota, Melaka. Selain itu, dia juga mengunjungi Profesor dr Hilman, ahli bedah syaraf yang juga teman SMA-nya. Hasilnya sama, ada penyempitan saraf punggung yang berakibat kurang baik terhadap kesehatan dan aktivitasnya hingga disarankan untuk operasi.
Penyakit itu mendekapnya lama untuk kemudian menjadi asbab maut menjemput. Kematian itu mengendap, mengawasinya, mengintip dengan senyum lalu memilih saat yang tepat.
****
Delapan bulan sebelum Pilkada serentak 9 Desember 2015, saya dan orang dekat Sani, kanda Burhanuddin Nur membuat kerja diam – diam. Kami merilis media sosial untuk Sani: facebook, twitter, path dan sebuah website. Enam dari sebelas akun facebook-nya kena banned karena tidak lolos verifikasi. Penyebabnya akun – akun tersebut mencurigakan, ia diserbu netizen menembus angka 5.000 orang hanya dalam waktu beberapa hari. Ribuan permintaan pertemanan lainnya dipastikan tertolak.
Akun facebook atas nama atau yang menggunakan foto Sani yang bisa terselamatkan waktu itu adalah Muhammad Sani, Ayahnda Sani, Sani Gubernurku, Untung Sabut, Sani Kepri 1 dan Simpatisan Sani. Selama mengelola akun tersebut saya menyaksikan betapa antusiasnya warga Kepulauan Riau kepada sosok berwajah teduh ini. Betapa Sani sangat diinginkan, meski ada sekelumit sindiran – sindiran penolakan dari group sebelah.
Ratusan inbox dikirim netizen tiap hari untuk memberi semangat, memperkenalkan diri, mohon menghadap, mengundang acara, mengirim proposal, mempertanyakan masalah – masalah krusial di Kepri, memohon bantuan dana, sekadar menyapa, minta diangkat jadi honorer, minta dimutasi, mohon kepastian kapan dana bantuan provinsi cair dan beberapa lainnya menyarankan Sani untuk tidak maju pilkada karena sudah terlalu uzur. Ada lagi yang menawarkan bukti – bukti yang bisa digunakan sebagai senjata kampanye hitam, menyerang pihak lawan. Akun – akun tersebut sempat dinonaktifkan, untuk menghindari hal – hal yang tidak baik untuk Sani.
Ekpekstasi warga Kepri terlalu kuat agar Sani terus bertahan meski kondisi fisiknya sudah tampak tidak memungkinkan. Akun facebook Sani menjadi saluran komunikasi yang selama ini mungkin tersumbat oleh prosedur dan protokoler. Media sosial menjadi wadah tanpa sekat untuk menyampaikan selaksa harapan di pundaknya yang lelah. Jika diperas menjadi saripati, ada empat persoalan utama yakni air, listrik, jalan (transportasi) dan kesempatan kerja.
****
Duhai Ayah Sani yang sudah tenang di alam sana, sebagai mantan jurnalis hubungan saya yang tak seberapa dengan ayah tidak bisa dipaksakan untuk terus membaik. Ada saat – saat di mana saya harus menjalankan tugas bongkar muat perkara sensasional. Saya pernah mengulas kandungan “Buku Putih” ketika ayah menjabat Bupati Karimun. Berturut – turut berita itu terbit di harian nasional tempat saya pernah bertugas.
Ayah yang selalu menghindari konflik mengajak saya berdamai. Ayah yang waktu itu Wakil Gubernur Kepri menunggu lama di Restoran Sanur, Batam Center, tapi saya tidak sempat datang. Saya seperti tidak memberikan kesempatan kepada ayah untuk mengatakan yang sebenarnya, meluruskan silang sengketa.
Sewaktu ayah masih Bupati Karimun, saya waktu itu menjadi redaktur daerah di harian Sijori Mandiri. Tak ada angin tak ada hujan, pas dekat – dekat lebaran, Kepala Perwakilan Karimun Sugito bilang, “ini ada titipan dari Pak Sani”. Saya pribadi tak kan pernah melupakan ini.
Bertahun – tahun setelah itu ayah kembali dibuat kecewa. Bersama Rahmat Riyandi kami mengelola tabloid budaya. Tapi ayah tidak puas pada salah satu edisi. Berbagai alasan ayah buat untuk menghindari kami. Kami mencari tahu apa musababnya. Melalui ajudan ayah mengeluh: foto yang terbit kemarin sekecik – kecik umat.
Kami terbahak dan bermaksud mendatangi ayah untuk menawarkan foto terbesar di sampul depan. Tapi ayah mengalihkan cerita ke soal lain. Ayah mungkin merajuk atau sudah tak berminat. Ayah yang jenaka, memanggil saya Yong Dolah, seorang lagenda komika fenomenal dari Bengkalis.
Lewat tabloid ini ayah punya hajat untuk menerjemahkan Gurindam XII Raja Ali Haji secara berseri, lalu kemudian dibukukan. Gegara foto sekecik - kecik umat, semuanya terbengkalai.
Kini ayah benar – benar sudah tiada. Jejak – jejak ayah dalam pengembaraan hidup dari anak tukang kebun yang papa kedana, menjadi birokrat sarat pengalaman, lalu Gubernur Kepri adalah jejak – jejak kearifan, tentang nilai – nilai kejuangan, kejujuran dan keikhlasan.
Sani adalah sebuah ensiklopedia. Hampir tidak satupun pulau berpenghuni di Kepri yang tidak pernah ia kunjungi. Tak terbantahkan jika Sani satu – satunya figur paling paham problema sosial dan lika liku masyarakat yang menghuni setiap gugus Kepulauan Riau sampai ke akar - akarnya. Ditambah pengalaman berpuluh tahun sebagai birokrat, Sani hampir sempurna untuk ukuran seorang gubernur.
Meski tubuhnya renta tapi otaknya nomor satu. Tutur katanya sistematis, dan sanggup berdiri berjam – jam untuk pidato tanpa teks dengan lutut gemetar. Setidaknya ia lebih beruntung dari Stephen W Hawking, ahli fisika kuantum yang 40 tahun berada di atas kursi roda. Kini ensiklopedia itu sudah bersemayam di pusara. Selamat jalan Ayah Sani.! ~MNT
Comments