Ilustrasi: www.statusvital.com
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Kebencian
macam apa yang hendak dialamatkan kepada Tuan Ramon Damora, Sang Pangeran
Jembia ini. Entah apa pasal dia menulis kata “peneliti” di bawah namaku. Peneliti?
Ahaa..hiperbola..keterlaluan. Dia seperti menggantung egoku di langit – langit
tanpa alasan yang jelas untuk apa aku ada di sana.
Membaca
julukan itu, ingatanku langsung tertarik ke masa silam waktu aku mengenakan
seragam putih biru. Yang tertanam di alam bawah sadarku, peneliti itu adalah
saudara sepupunya penemu atau ilmuan. Aku telah mencoba mendefinisikan kata
“peneliti” dari berbagai referensi, tapi yang selalu tergambar bahwa peneliti
itu adalah seperti seseorang remaja tanggung yang sedang membelah perut katak,
atau pria berkacamata tebal, berpakaian serba putih sedang mengaduk – aduk
gelas kimia yang berasap.
Bisa juga
seperti seseorang berkumis tebal dengan rompi coklat empat saku, memakai topi
boater lalu mengukur tulang iga Dinosaurus. Bertahanlah Tuan Ramon, beta akan
membenci Tuan pada tingkat absolut, jika yang Tuan bayangkan persis sama
denganku, begini: peneliti itu adalah seperti seorang tua gila bernama
Archimedes yang berteriak eureka..eureka sepanjang jalan tanpa
sempat mengenakan celana.
Apapun
yang dikatakan Bung Ramon tentang diriku aku anggap itu sebagai anugerah, bukan
sarkas apalagi kutukan. Manusia adalah apa yang dipersepsikan orang lain
terhadapnya. Jasad kita adalah apa yang dipantulkan cermin. Untuk mengetahui
rupa sendiri, kita mesti melewati tiga perantara, yakni mata, cahaya dan
cermin. Jika salah satu atau ketiganya tidak berfungsi, maka konsep diri kita
tidak akan selesai. Manusia adalah makhluk reflektif.
Bahkan
kemerdekaan bangsa ini tidak hanya dilegitimasi dari suara lantang Bapak
Proklamator, tapi sejauh mana pengakuan negara lain atas kemerdekaan Indonesia.
Reflektif. Bicara Adam dan Iblis. Aku mendiskripsikannya seperti terjemahan
bebas dalam bahasa sendiri yang mungkin tidak patut karena ia berbeda dengan
frasa para mistikus atau alim ulama. Bahwa di masa lalu, surga bukan semata
tempat bersantai untuk menikmati aneka kenikmatan tanpa batas.
Dari
bidadari, dari bebuahan, dari sungai – sungai dan anak – anak yang membawa
nampan berlian. Tapi surga ketika itu menjadi kontraproduktif, karena ia adalah
wilayah permusuhan antara makhluk api dan makhluk tanah. Iblis jumawa, ia
menyangkal Adam dan melawan perintah Allah. Bagi Iblis Adam bukan siapa – siapa
dan tidak pantas untuk sujud padanya. Iblis merefleksikan dirinya sebagai
makhluk mulia dari api yang sudah bertasbih ribuan tahun.
Sedang
Adam hanya tanah kemarin sore. Lengkapnya tanah kemarin sore yang hapal nama –
nama benda di surga. Itu saja. Peradilan Allah tidak pernah abu – abu. Jika
kesombongan dianggap sebagai dosa besar, maka tidak ada dispensasi untuk Iblis
meski ia sudah beribadah ribuan tahun.
Iblis
harus angkat kaki dari surga. Hal ini dapat dijelaskan dalam dialektika
akromatik. Bahwa hukum Allah hanya mengenal hitam dan putih, tidak ada warna
lain. Hitam mewakili dosa, dan putih mewakili pahala. Iblis benar – benar mati
kutu. Sisi lemahnya tidak lulus uji, Iblis adalah produk gagal.
Sifat api
selalu angkuh, ia menguap ke atas. Mestinya begitu terusir dari surga, ia tobat
nasuha tapi malah memproklamirkan diri menjadi penentang yang nyata. Target
Iblis hanya satu, menjerumuskan Adam dan anak cucunya. Menurut Iblis, Adam lah
yang menjadi penyebab ia tersingkir dari surga. Tidak ada pembalasan setimpal,
kecuali Adam juga dicampakkan ke bumi. Hikmah Allah itu terselubung.
Penderitaan
bukanlah penderitaan itu sendiri. Fakta bukanlah kebenaran. Fakta hanyalah
jalan menuju kebenaran. Di balik penderitaan Adam, Allah sudah pun memasang
mahkota di kepalanya sebagai seorang khalifah. Kepadanya diwariskan bumi seluas
510.100.000 kilometer persegi. Tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang
mendapat warisan tanah seluas itu. Tidak seperti Iblis, Adam mampu memperbaiki
diri. Ia mengemban sebaik – baiknya amanah. Menurut riwayat, Adam itu makhluk
raksasa setinggi hampir 30 meter, lebar dua pundak 9 meter dan leher sepanjang
6 meter.
Tapi
bukan hanya ukuran raga Adam yang demikian besar, tapi adalah kekuatannya untuk
melawan penderitaan dan hegemoni Iblis. Jika ketiga metafora postur tubuh,
kurus, gemuk dan sedang itu direfleksikan kepada Adam, maka mestinya tidak ada
yang teraniaya, tidak yang bermegah – megah dan tidak ada yang asyik dengan
diri sendiri. Apapun profesi kita, apapun stratifikasi sosial kita, bagaimana
ujian yang kita hadapi, maka jadilah manusia terbaik seperti Adam.
Manusia
kurus akan lepas dari penindasan segala rupa, jika ia tahu betapa besar
kapasitasnya sebagai manusia di planet bumi ini. Kenapa kita menyerahkan diri
ini kepada rekayasa – rekayasa sosial. Gunakan otak untuk berpikir mandiri,
jangan gemulai dan ikut kemana saja angin kencang bertiup. Miliki prinsip hidup
yang jelas dan majulah. Karena kematian yang sia – sia adalah kematian dalam
kondisi tak mampu melepaskan diri dari aniaya. Manusia gemuk tidak akan arogan
dan terus menerus menghunuskan pedang kekuasaannya jika ia tahu darimana ia
diciptakan dan apa maslahat ia diutus ke muka bumi ini.
Jika
semua kebutuhan dasar manusia sudah terpenuhi, lalu apa? Banyak temuan – temuan
bahwa manusia pada akhirnya akan mencoba bunuh diri ketika semua yang menjadi
hasrat hidup di dunia telah ia penuhi. Ia akan berpikir untuk mengakhiri hidup
jika ia tidak menemukan kebutuhan lainnya, yang paling hakiki yakni kebutuhan
transendental. Suatu kebutuhan di luar dunia material, ia adalah kebutuhan
ilahiah. Hai yang berpostur sedang, manusia pencari aman, hidup ini bukan hanya
soal “I hate Monday”. Tapi tugas Anda di dunia ini apa.
Jika Anda
arsitek jadilah sebaik – baiknya perancang bangun yang berfaedah kepada manusia
lainnya, jika Anda pengebor minyak di lepas pantai, ingatlah bahwa minyak yang
Anda sedot itu bukan milik segelintir kapitalis, tapi milik umat manusia. Jika
Anda dokter, jangan dihitung berapa Anda akan dibayar, tapi fokuslah untuk
menyelamatkan nyawa spesies Anda. Janganlah menempatkan diri sebagai makhluk
eksklusif yang berpikir parsial, tapi jadilah makhluk sosial yang berpikir
holistik. Terakhir dan ini otokritik.
Jika Anda
penulis, maka jadilah penulis dari hati yang mementingkan pembaca. Jangan jadi
penulis hambar untuk sekadar menggugurkan kewajiban. Penulis diisyaratkan untuk
mengolah kata secara padat dan tajam. Setiap paragraf harus menukik, karena
jika landai ia akan mudah ditebak.
Pembaca
akan menemukan ruang hampa, dan membiarkan pikirannya berkeliaran memikirkan
hal lain di luar apa yang sedang ia baca. Ketahuilah bahwa kamampuan otak kita
menyerap informasi secepat 1.287 km/jam. Buatlah pembaca fokus sehingga
kemungkinan pikiran mereka mengambang akan semakin kecil. Salam hatter.! ~MNT
Comments