Oleh Muhammad Natsir Tahar
Mereka tinggal di atas ombak. Tiap hari mengail ikan untuk dimakan dan ditukar rokok atau gula. Hari esok mereka selalu sama dengan orang-orang sebelum mereka yang sesuku, beratus bahkan beribu tahun lampau.
Beberapa di antaranya ada yang menetap di darat, meninggalkan sampan Kajang, tempat mereka beranak pinak. Tapi orang-orang tetap saja menyebut mereka sebagai Suku Laut, sebuah entitas masyarakat asli yang sudah menetap di perairan Batam dan Kepulauan Riau, sejak lama sekali.
Masyarakat Suku Laut merupakan salah satu suku primitif di Indonesia. Mereka tak hirau dengan roda zaman, yang kadang-kadang mereduksi eksistensi mereka. Orang-orang Suku Laut amat membatasi diri dengan dunia luar. Mereka lebih baik meminggir ke pulau-pulau terpencil atau kembali menetap di laut daripada bercampur dengan masyarakat modern.
Masyarakat Suku Laut merupakan salah satu suku primitif di Indonesia. Mereka tak hirau dengan roda zaman, yang kadang-kadang mereduksi eksistensi mereka. Orang-orang Suku Laut amat membatasi diri dengan dunia luar. Mereka lebih baik meminggir ke pulau-pulau terpencil atau kembali menetap di laut daripada bercampur dengan masyarakat modern.
Kehidupan mereka sehari-hari berjalan datar, tidak maju, tidak mundur. Mereka akan tampak sibuk misalnya saja ketika membuat sampan-sampan baru untuk anak lelaki yang mulai memasuki usia pubertas.
Di batas itu, lepas sudah peran orang tua. Remaja tanggung dari klan Suku Laut harus secepatnya menyunting isteri untuk hidup satu sampan berpenutup seperti atap rumah yang disebut Kajang. Begitulah siklus hidup masyarakat Suku Laut. Anak-anak Suku Laut harus mandiri di usia sedini mungkin, sehingga tidak ada kosa kata yang disebut Sekolah.
Rumah-rumah warga Suku Laut primitif yang mereka sebut Kajang itu berukuran seluas tiga meter persegi dengan tinggi tidak sampai satu meter. Selain tempat mencari ikan, perahu unik ini sebenarnya adalah tempat tinggal selama hidup. Di “rumah” sempit itulah mereka melakukan aktivitas sehari-hari, mulai bayi sampai menikah dan beranak.
Di atas Kajang tersebutlah anak-anak dibesarkan, dalam kondisi bercampur aduk. Baru saja menginjak remaja, mereka segera dikawinkan dan hidup terpisah dari orang tua. Mereka harus mandiri di usia dini bersama pasangan hidup sendiri-sendiri, untuk kemudian tumbuh dewasa, persis orang tua mereka. Sebuah siklus yang sangat stagnan dari sisi roda zaman. ~MNT
Comments