Penyengat Heritage: www.genpi.co |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Pulau Penyengat Indera Sakti yang memiliki landmark sebuah masjid megah bersejarah yang dinding-dindingnya hanya direkat dengan putih telur itu berjarak sepelemparan batu dari pelabuhan Tanjungpinang. Di sana tersimpan sejarah keagungan masa lalu. Pernah berdiri sebuah bandar pemerintahan Kerajaan Riau Lingga di mana simbol-simbol kemegahannya diluluhlantakkan menjadi puing-puing oleh Belanda atau oleh pihak kerajaan sendiri yang tak sudi wilayahnya diduduki kaum penjajah.
Yang tersisa hanyalah buku-buku tua dan makam para raja. Penyengat adalah perpanjangan tangan dari pusat kerajaan beribukota di Lingga yang dijuluki Bunda Tanah Melayu. Sebelum berpindah ke Lingga, ibukota kerajaan akbar pada masanya ini berpusat di Kota Piring.
Tak tanggung-tanggung pula, pulau Penyengat sebenarnya adalah mas kawin kepada Engku Puteri Hamidah, puteri Raja Haji Fisabilillah yang dipinang Sultan Mahmud Marhum Besar, Sultan Kerajaan Johor Riau Lingga ketika itu.
Pulau eksotis ini juga pernah menjadi wahana para sastrawan dan pujangga Melayu - mulai dari kalangan bangsawan hingga rakyat jelata - menciptakan karya-karya fenomenal. Di antaranya yang menjadi ikon adalah Gurindam Dua Belas dan Tuhfat al-Nafis buah karya Raja Ali Haji (1809-1872). Raja Ali Haji yang didaulat sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan juga mendapat gelar Pahlawan Nasional adalah orang yang pertama sekali menjelaskan kaidah-kaidah kebahasaan sastra Melayu Lingua Franca secara sistemik.
Karya-karya sastra yang dihasilkan oleh belasan pujangga dari Pulau Penyengat ini kemudian menjadi simbol perlawanan kepada Belanda secara intelektual. Namun karena itu pula mereka dianggap sebagai ancaman serius oleh Belanda. Setelah Raja Ali Haji wafat, para pujangga pengharum nama tanah Melayu dan keturunannya yang masih tersisa dikucarkacirkan oleh Belanda setelah pemakzulan sultan dan pembubaran paksa Kerajaan Riau Lingga pada periode 1911 - 1913. ~MNT
Comments