Ilustrasi https://i0.wp.com |
Sejarah telah memproses akulturasi budaya kedua bangsa serumpun ini, sehingga orang-orang Bugis yang berdomisili di Kapulauan Riau, telah dianggap sebagai keluarga besar Melayu. Mereka dapat bertutur dengan lingua franca yang fasih dan berayun-ayun, khas Melayu Kepulauan Riau dan Semenanjung. Adat yang dipakai adalah adat resam Melayu, meski di dalamnya tak mereduksi seutuhnya ciri-ciri Bugis.
Itulah pembauran orang Melayu dan Bugis yang dicatat sejarah sebagai persaudaraan dua keluarga besar. Dalam literatur Melayu, salah seorang putera raja yaitu Opu Tundari Borang Daeng Relakka dari Kerajaan Luwu pada abad 18 berlayar dari tanah Bugis untuk mengelilingi Nusantara. Dalam perjalanannya mereka berhasil membantu Sultan Sulaiman Ibnu Marhum Sultan Abdul Jalil II, Raja Johor-Riau-Lingga yang sedang mempertahankan kedaulatannya saat hendak dirampas Raja Kecik, Sultan Kerajaan Siak Sri Inderapura dari daratan Riau.
Karena berhasil membantu memenangi pertempuran, Daeng Relakka dan keturunannya mendapat kompensasi dari kerajaan Melayu dengan anugerah kedudukan dan gelar Yang Dipertuan Muda Riau (YDMR). Hal ini termaktub dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama “Persetiaan Marhum Sungai Bahru” tertanggal 4 Oktober 1722 M. Sharing power antara raja-raja Melayu dengan bangsawan Bugis itu adalah sebuah komitmen politik agung yang sejatinya dapat dipanut oleh generasi abad ini.
Orang-orang Bugis kemudian berasimilasi dan melahirkan keturunan-keturunan Melayu Bugis, yang banyak mendiami pesisir Kepulauan Riau hingga hari ini. Yang langsung bertalian darah dengan keturunan YDMR mendapat gelar “Raja” di depan nama mereka.
Tidak hanya Bugis, suku bangsa mana saja yang mendiami tanah Melayu sejak zaman bahuelak, entah itu berasal dari antero Nusantara sampai saudagar perantau dari Timur Tengah, India, Tionghoa atau hasil kawin silang antara pribumi dan kompeni, mendapat perlakuan sama, dianggap sebagai orang-orang Melayu pesisir.
Kesepahaman itu berpunca jika ada kesamaan agama yang dianut yakni Islam. Jadi jangan kaget jika orang Melayu memiliki aneka ciri fisik dan bentuk wajah. Dalam satu pulau kecil saja bisa terdapat berbagai raut muka yang berbeda. Ada yang mancung, pesek, lurus, keriting, kuning, sawo matang, keling, oval, persegi dan sebagainya.
Kesepahaman itu berpunca jika ada kesamaan agama yang dianut yakni Islam. Jadi jangan kaget jika orang Melayu memiliki aneka ciri fisik dan bentuk wajah. Dalam satu pulau kecil saja bisa terdapat berbagai raut muka yang berbeda. Ada yang mancung, pesek, lurus, keriting, kuning, sawo matang, keling, oval, persegi dan sebagainya.
Meski wajah orang Melayu beragam-ragam, tapi sejak dulu ada tabiat kolektif yang tak lekang di panas, tak lapuk di hujan. Orang Melayu umumnya pandai bercerita panjang lebar, dari utara ke selatan, barat ke timur bahkan dari A sampai Z. Jadi kalau pantat tak tahan duduk berjam-jam di kedai kopi, jangan memancing-mancing. ~MNT
Comments