Ilustrasi: https://i.pinimg.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Jembatan
Barelang (Batam – Rempang – Galang) adalah ikon Batam. Adapula yang
mempopulerkannya sebagai landmark Pulau Batam. Seperti orang mengenal New York
dengan Patung Liberty, Paris dengan Menara Eiffel atau San Francisco dengan
Golden Gate Bridge-nya, maka orang akan mengidentikkan Batam dengan Jembatan
Barelang.
Gugusan kepulauan Rempang dan Galang yang pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Kepri (sekarang Bintan) mulai dilirik pada tahun 1984 terkait dengan rencana pengembangan pusat riset bioteknologi berskala internasional (bio island), sehingga Rempang sebagai bagian dari gugus Barelang dijadikan wilayah Kawasan Berikat berdasarkan Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1984.
Gugusan kepulauan Rempang dan Galang yang pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Kepri (sekarang Bintan) mulai dilirik pada tahun 1984 terkait dengan rencana pengembangan pusat riset bioteknologi berskala internasional (bio island), sehingga Rempang sebagai bagian dari gugus Barelang dijadikan wilayah Kawasan Berikat berdasarkan Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1984.
Terakhir
pembentukan Kotamadya Batam defenitif juga memasukkan Rempang dan Galang ke
dalam wilayah administratifnya. Dalam perkembangan selanjutnya gugus Barelang
berada dalam penjabaran RTRW Provinsi Kepri dengan total luas 715 KM2 atau 115
% luas Singapura. Maka langkah untuk membangun jembatan Barelang mulanya
menjadi keputusan amat strategis.
Enam buah
jembatan megah ini merupakan proyek vital sebagai penghubung jalur Trans
Barelang yang memiliki bentang sepanjang 54 kilometer. Infrastruktur prestisius
tersebut adalah bagian dari obsesi sang visioner Batam, BJ Habibie.
Dalam
proses selanjutnya fasilitas berbiaya mahal dan terkenal se-Indonesia ini dapat
dikatakan mengalami proses disorientasi. Habibie pun kecewa. Dalam
beberapa kali kunjungan ke Batam, teknokrat yang selalu berpikir futuristik ini
tampak risau dengan keadaan Batam kini yang dinilainya tidak terlihat istimewa
sebagaimana grand design semula yang telah ia rancang. Di mata Habibie,
pembangunan Batam tak lebih dari deretan ruko – ruko dengan sistem tata kota
yang sepele. Dalam visi Habibie, Batam didesain dengan sangat futuristik, mulai
dari sistem drainase, fasilitas publik, green area serta tata pemukiman yang
terukur dan by design, namun sekarang terlihat asal jadi.
Begitu
pula jika menilik ke tujuan semula untuk membangun jembatan Trans Barelang yang
setidaknya telah menyedot anggaran Otorita Batam (OB) sebesar Rp 400 Miliar
(mendekati Rp 1 triliun untuk nilai sekarang) yang dibangun dalam masa tujuh
tahun (1992 – 1998), maka Habibie pantas mengurut dada.
Jembatan
Barelang (disebut juga Jembatan Habibie) merupakan pilot project berteknologi
tinggi yang melibatkan ratusan insinyur Indonesia tanpa campur tangan
ekspatriat atau tenaga ahli luar negeri. Dibangun tentu saja untuk memperluas
wilayah kerja OB sebagai regulator daerah industri Pulau Batam dengan pertambahan
luas 277 kilometer persegi. Hal ini adalah juga sebagai manifestasi dari Teori
Balon Habibie.
Teori itu mengasumsikan, Singapura yang luasnya sekitar 500
kilometer persegi itu akan memasuki era jenuh. Ketika era itu tiba, Singapura
tidak dapat lagi menampung investasi yang masuk. Batam pun dibangun dan
disiapkan untuk menampung aliran udara dari balon investasi yang terus
menggelembung. Seandainya Batam sudah penuh maka desakan investasi dapat
disalurkan ke pulau-pulau di sepanjang yang terhubung dengan Jembatan Barelang
(Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Setoko, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan
Pulau Galang Baru).
Namun
fakta yang terlihat hari ini adalah, Jembatan Barelang tidak lebih dari tempat
tamasya jagung bakar dan tempat orang – orang pulau numpang menyeberang, sebuah
kesia-siaan apalagi jika dikaitkan dengan biaya perawatan keseluruhan jembatan
yang mencapai Rp 5 miliar per tahun. Kisruh soal status lahan serta tata cara
kepemilikan lahan bagi dunia investasi yang tampak seperti benang kusut menjadi
bom waktu yang siap meledak kapan saja. Pusat sengaja menahan Hak Pengelolaan
Lahan (HPL) Rempang dan Galang daripada harus menyerahkan kepada pemilik
sahnya, Pemerintah Kota Batam.
Akibatnya
investasi ratusan miliar yang ditanamkan di jembatan Barelang tidak menampakkan
benefit atau return on investment yang mendekati zero meski sudah 20 tahun
berlalu sejak mula dibangun.
Jembatan
Barelang adalah korban ketersia-siaan investasi oleh OB akibat tarikan
kepentingan dan ego sektoral pihak-pihak berkepentingan baik di pusat maupun
daerah. Jika saja benang kusut ini segera dapat diluruskan atau ditempatkan
sesuai pada tempatnya, maka status quo untuk kepemilikan lahan investasi di
Batam tidak perlu terjadi.
Bukan
saja dana ratusan miliar yang menjadi soal tapi kita dapat mengkalkulasi dari
nilai potential lost akibat ratusan investor yang tertolak untuk menanamkan
modalnya di kawasan Rempang, Galang dan pulau-pulau lainnya.
Jika saja
OB dengan cengkeraman pusatnya dapat melunak dan menghargai spirit Otonomi Daerah
yang kala itu diperjuangkan dengan idealisme dan semangat juang seorang
walikota seperti Nyat Kadir, maka pengelolaan lahan investasi di Barelang tidak
perlu memakan korban. Cukup sudah jika Batam sebagai mainland menjadi proyek
besar bagi para penjahat investasi yang “bersepakat” dengan sejumlah oknum di
OB dengan memanipulasi sistem pengalokasian lahan sedemikian rupa, OB pun
tampaknya ingin merebut peluang besar yang akan diperoleh di kawasan sepanjang
Trans Barelang.
OB (baca:
BP) dalam perkembangannya kemudian memang memperoleh Hak Pengelolaan Lahan
(HPL) di Rempang dan Galang namun statusnya kini sedang menggantung di Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Pusat dengan alasan menunggu hasil padu serasi dengan
Kementerian Kehutanan. Sebenarnya sejak dulu problema yang kontraprduktif
dengan iklim investasi ini dapat diatasi jika saja OB dan orang – orang pusat
yang berkepentingan dapat mengikuti trend dan arus reformasi yang berkembang
karena bukan harga mati bahwa visi Habibie hanya dapat diterjemahkan oleh OB
semata.
Maka
amanat yang terkandung di dalam UU No. 53/1999 tentang Pembentukan Kota Batam
dapat dimanifestasikan dengan memindah kedudukan OB di bawah sub ordinat
Pemerintah Kota Batam. Hal ini dapat dilakukan dengan smooth tanpa perlu
mereduksi para experts di tubuh OB, yang pemikiran dan keahliannya telah
terbukti dapat menyulap Batam menjadi metropolitan seperti saat ini. Jadi,
statement Asman Abnur beberapa tahun lalu untuk mendemisioner OB, adalah
langkah tepat dan perlu diulang kembali . ~MNT
Comments