Ilustrasi: www.infostructures.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Dari dimensi ekonomi, etnis Melayu tampaknya tidak begitu memegang peranan penting. Meski terdapat beberapa di antaranya yang menonjol, itu tidak mencerminkan pencapaian secara kolektif. Karenanya Melayu tidak menyandang predikat sebagai saudagar seperti etnis Minangkabau, Bugis, atau taipan kakap seperti etnis Tionghoa.
“Sedap berbisnes dengan Cine lagi, semua tinggal beres. Dengan sesame Melayu ni susah lah, banyak tak kene, banyak cakap tapi duit tak ade,” kata seorang Melayu kepada Melayu lain yang mulai nak membuka usaha sendiri.
Mengapa jaringan bisnis etnis Tionghoa begitu maju, tak lain adalah adanya ikatan emosional yang tinggi. Imperium bisnis mereka melata dari daratan China, Taiwan, Singapura, Malaysia dan Indonesia, yang sebagian besar dibentuk dalam sekat-sekat kesukuan dan marga-marga tertentu. Melayu meski memiliki rumpun yang luas dan tersebar di mana-mana, namun di antara mereka tidak terjalin suatu ikatan yang kuat dalam dimensi ekonomi.
Attitude Melayu sendiri yang menghendaki kondisi seperti itu. Tidak adanya kohesi sosial antara rumpun Melayu untuk menjalin dan mempertautkan kegiatan ekonomi secara lebih massif adalah karena adanya krisis kepercayaan. Kita masih terinfeksi oleh virus yang mengirim sinyal bahwa “Melayu tak Boleh”. Paradigma seperti inilah yang kemudian menghambat kemajuan Melayu secara kolektif. Jika orang Tionghoa begitu percaya dengan sesamanya dan hampir-hampir tidak memberikan kesempatan kepada orang luar, justru kita sebaliknya.
Orang-orang Melayu yang memiliki sumber kapital belum begitu tertarik untuk mengikat atau menjadi “bapak angkat” bagi unit-unit usaha yang dimiliki oleh sesama Melayu. Takut rugi katanya, Melayukan tak pandai berbisnis. Iklan – iklan lowongan pekerjaan, sekalipun tidak pernah memuat kriteria berbunyi “diutamakan orang Melayu” atau “diutamakan anak tempatan”. Coba bandingkan dengan kriteria seperti “diutamakan yang bisa berbahasa Mandarin atau Hokian”, “Diutamakan Chines” atau “Diutamakan dari suku Jawa”.
Hal kedua yang tampaknya menjadi batu sandungan adalah persepsi sebagian elite Melayu yang tidak ingin dikatakan primordialis. Otak kita dicuci oleh jargon-jargon anti primordialisme, sementara tidak ada satu etnis pun yang dapat menerima doktrin tersebut bulat-bulat. Bangsa Melayu dan bangsa ini (baca: Indonesia ) begitu mudahnya “dikerjain” oleh orang lain.
Liberalisasi ekonomi yang didiktekan orang Barat lewat Washington Consensus tahun 1989 misalnya, membuat kita begitu terpesona dan “taat”. Kemudian muncul pasar bebas, privatisasi BUMN dan keengganan memproteksi produk-produk dalam negeri. Padahal hingga saat ini, Amerika Serikat sekalipun terus melakukan proteksi terhadap produk-produk dalam negeri mereka serta melakukan kebijakan ekonomi dua muka. Contoh terbaik adalah Malaysia , yang berani bersuara lantang untuk menolak Amerika, dan mereka terbebas dari gonjang – ganjing ekonomi yang amburadul.
Kembali ke soal Melayu, kita meski berpikir ulang untuk mengatakan bahwa Melayu tidak berbakat dagang atau tidak bisa menjadi pekerja beretos tinggi. Kuncinya adalah bagaimana kita memulainya dengan pikiran yang positif. Melayu harus diberi kesempatan dan kepercayaan. Melayu harus dibina, diberdayakan agar nama Melayu menjadi makin terangkat. Karena hampir semua suku bangsa telah melakukan untuk kaumnya sendiri. “Melayu Bantu Melayu”, mungkin dapat dijadikan slogan alternatif untuk memperkuat spirit kekompakan sesama Melayu.
Kita boleh berharap banyak kepada Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) yang berinisiatif untuk merekatkan simpul-simpul ekonomi Melayu dalam skala antara bangsa. Setidaknya tatanan kerjasama ekonomi yang telah digagas oleh DMDI Kepri dapat membuka keran bisnis orang Melayu untuk berhadapan dengan tantangan zaman. ~MNT
Comments