Refleksi Hari Jadi Kota Batam
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Penentuan
Hari Jadi Kota Batam awalnya adalah sebuah proses yang panjang dan melelahkan.
Beberapa momentum sejarah tentang Batam seperti pembangunan pabrik batu Batam
Brick Works pada 26 Juli 1896 dan hikayat Hang Nadim yang
menghadang Portugis di Riau pada 1881 telah dipertimbangkan sebagai titik nol
kilometer kelahiran Batam yang dapat kita saksikan gemerlapnya pada hari ini.
Bahkan ketika pembahasan ini masuk ke domain politik,
beberapa pihak mencoba mengaitkan hari jadi Batam pada Kepres Nomor 65 Tahun
1970 tentang penetapan Batam sebagai logistic base untuk
eksploitasi dan eksplorasi minyak lepas pantai atau pada PP Nomor 34 Tahun 1983
tentang Pembentukan Kotamadya Administratif Batam. Adanya saling pengukuhan
eksistensi antara Pemko dan Otorita Batam (OB) yang terlibat konflik
kepentingan beberapa tahun lalu ikut menggagalkan penentuan Hari Jadi Batam
yang merujuk kepada kaidah normatif.
Barulah tabir terbuka ketika Sejarawan Kepri Aswandi Syahri
mempublikasikan temuan manuskrip pengukuhan Raja Isa ibni Raja Ali sebagai
pemegang perintah atas Nongsa dan sekitarnya atas nama Sultan Riau Lingga
Abdulrahman Syah dan Yang Dipertuan Muda Riau (YDMR) Raja Jakfar pada tanggal
22 Jumadil Akhir 1245 Hijrah, bertepatan 18 Desember 1829 Masehi.
Dengan demikian, kota yang
sempat dianggap sebagai pulau kosong ini rupanya telah berumur 180 tahun.
Tanggal 18 Desember 1829 oleh Aswandi diargumentasikan sebagai fase paling awal
adanya lembaga pemerintahan di Batam. Dengan pengukuhan Raja Isa sebagai
pemegang otoritas atas Batam, maka roda pemerintahan di pulau ini mulai
berjalan secara sistemik yang kemudian perlahan-lahan mengkatrol pertumbuhan
wilayah.
Penetapan hari jadi tiap-tiap kota di Indonesia merujuk
pada pelbagai persepsi. Hari jadi Kota Pekanbaru misalnya dianggap bermula pada
penggantian nama Senapelan menjadi Pekan Baharu pada Selasa tanggal 21 Rajab
1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat
suku yakni Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar. Sedangkan hari jadi
Tanjungpinang diperhitungkan pada 6 Januari 1784 M saat Raja Haji Fisabilillah
menembak kapal komando Belanda “Malaka’s Wal Faren”.
Momentum
ini hampir mirip dengan hari jadi Kota Jakarta yang bertepatan pada saat
pengambilalihan Pelabuhan Sunda Kelapa oleh Pangeran Fatahillah dari Portugis
pada 22 Juni 1527. Kota Pekanbaru dan Tanjungpinang kendati lahir pada tahun
yang sama, latar belakang sejarahnya berlandaskan pada dua momentum yang berbeda.
Sama halnya dengan Jakarta dan Surabaya yang jika dirunut dari sejarah
kelahiran, kedua kota ini sudah muncul pada zaman kerajaan Hindu di abad ke-12,
namun Jakarta memilih titik sejarahnya sendiri.
Sudah Humaniskah Batam?
Ketika sejarah itu telah digenggam, lantas bagaimana kita
memfungsikannya agar langkah-langkah ke depan tidak mewariskan bercak hitam
kepada generasi selanjutnya. Setiap kota seperti
Batam memiliki muatan sejarah yang tidak pernah lepas dari konflik dan kontradiksi.
Sejak
terbentuknya kota di muka bumi ini dimulai dengan peradaban sederhana
Mesopotomia, kota tertua di antara Sungai Eufrat dan Tigris yang berkembang
pada awal Zaman Neolitik antara tahun 7000 SM – 5000 SM, atau kota besar
Mohenjodaro-Harappa yang dibangun sekitar 3000 SM di lembah Sungai Indus,
konflik antara penguasa dan jelata atau antara tuan tanah (pengendali modal)
dengan pribumi telah menoreh luka-luka sejarah sepanjang berdirinya kota itu.
Akan halnya Batam, perjalanan sejarahnya dari titik nol
kilometer itu patut kembali direnungkan, agar kita tidak terlalu puas hanya
karena kota ini
sudah menemukan tanggal lahirnya. Kecuali jika tujuan awalnya hanyalah untuk
mematahkan semua mitos bernada sarkastis yang menyebutkan bahwa Batam hanyalah
hutan belantara yang terdiri dari para monyet, sebelum masuknya era
industrialisasi. Karena tidak akan pernah berbeda dengan sejarah kota manapun
di muka bumi ini, Batam juga menyimpan sebuah luka sejarah. Pertanyaannya
adalah sudah cukup humaniskah kota ini
untuk kita tinggali?
Sepanjang usianya yang mencapai 180 tahun, kenyataannya
pembangun fisik Batam berjalan lamban. Wilayah ini dikagetkan pada 30 tahun
terakhir dengan adanya kontraksi pembangunan menyusul kebijakan pusat yang
menetapkan Batam sebagai basis industrialisasi.
Dan dalam
masa 30 tahun terakhir itu pulalah, fenomena Batam secara utuh seragam dengan
kota-kota besar lainnya di Indonesia sebagai tempat bercokolnya para kapitalis,
keterdesakan ekonomi akibat tingginya urbanisasi, pertumbuhan kawasan
kumuh (slum) serta kekacauan tata ruang dan
ketidaksinambungan ekologi kota.
Globalisasi yang diterapkan di Batam dalam tiga dasawarsa
terakhir menjadi dalih untuk tidak memberi akses lebih banyak kepada
kepentingan publik. Implikasinya terhadap spasial pembangunan kota adalah
tata ruang yang sangat memihak kekuatan dominan dalam hal ini pemilik
modal.
Kota
Batam hari ini yang demikian gempita telah menjadi pusat aglomerasi milik
segelintir orang. Menjamurnya konsep perumahan regency atau cluster
system adalah sedikit upaya untuk menghindari tetek bengek kaum
marjinal sekaligus membersihkan aroma kampung dari orang-orang tempatan yang
telah menyumbangkan tanah moyangnya untuk itu.
Ketidakadilan alokasi sumber daya yang penting bagi rakyat
telah menimbulkan kontradiksi di Kota Batam. Pergeseran makna dari public
goods menjadi private goods yang terjadi sebagai
akibat dari keniscayaan laju sejarah neo-liberalisme menjadi pendorong
kontradiksi di tengah masyarakat.
Salah
satunya yang paling kentara adalah penggusuran rumah liar dan kampung-kampung
kumuh oleh lembaga otoritas dengan perangkat aparatus-aparatusnya untuk
dipersembahkan kepada pemilik modal dengan mengatasnamakan pembangunan dan
estetika.
Sampai di
sini, sebagai rakyat tidakkah kita ingin bertanya apa makna sebuah kota sejatinya?
Sesungguhnya dalam cita-cita filosofisnya, kota dibangun
untuk menyejahterakan masyarakat seluruh lapisan serta tempat bernaung dan
berhimpun penduduknya secara humanis dalam prinsip kesetaraan (equal
opportunity).
Sejak
awal seharusnya orang-orang Batam sebagai penyumbang sejarah perlu wanti-wanti
ketika rumus-rumus pembangunan dan kerumitan grafik ekonometri yang dibanggakan
itu ternyata tidak mampu membuka kebuntuan akses bahkan justru menghambat
masyarakat untuk menikmati kotanya sendiri.
Sepanjang alur sejarah Batam, tersumbatnya akses masyarakat
untuk memiliki dan menikmati kotanya sendiri secara humanis terjadi pada tiga
tahap. Pertama, fase Kesultanan Riau Lingga yang bernafas
feodalistik, ditandai dengan besarnya kewenangan sultan dan kaum bangsawan
dalam kepemilikan lahan dan pemungutan cukai.
Kedua, fase
kolonialisme yang menghegemoni kepentingan rakyat dengan menguasai seluruh
fasilitas kota dan
seluruh sumber daya pribumi untuk kepentingan kompeni. Ketiga, fase
globalisasi di mana sedikit banyaknya, penguasa meng-copy
paste model kebijakan yang diterapkan bangsa kolonial dalam tata
kelola pembangunan kota.
Untuk fase yang terakhir ini, model kebijakan tata kota yang
mengadopsi tabiat kompeni amat terasa di masa orde baru. Masyarakat berada pada
posisi yang sangat dilemahkan ketika tanah-tanah ulayat mereka di-buldozer secara
paksa dengan nilai ganti rugi yang sangat merisaukan hati.
Orang-orang
tempatan terpinggirkan ke sudut-sudut tak penting tanpa pemberdayaan apapun,
hanya untuk sebuah penciptaan zona urban yang hasilnya dinikmati sekian orang.
Titik-titik strategis di Batam ketika itu juga dikuasai orang-orang penting
yang menjelma menjadi calo dan spekulan lahan.
Penyingkiran masyarakat lokal dan kaum pendatang unsklilled terjadi
bersamaan dengan starting point era industrialisasi di Batam
di mana terminologi FTZ pertama kali disebut-sebut. Kini ketika pola FTZ
diterapkan secara lebih masif, perubahan cara pandang elemen eksekutor terhadap
sisi sosial di Batam tidak banyak berubah.
Meski sudah ada desakan politik
untuk pelestarian kampung tua, namun ruang-ruang sosial tempat tumpah darah
masyarakat tradisional tetap menjadi incaran atas nama investasi tanpa
diimbangi tindakan afirmatif terhadap kesejahteraan mereka.
Jika alur sejarah ini tetap dipertahankan, maka asa kita
bersama untuk menjadikan Batam sebagai kota yang
humanis dalam prinsip kesetaraan tidak akan pernah benar-benar sampai ke
tujuan. Dan satu catatan, kondisi kekinian dibandingkan dengan ketika sejarah
itu bermula amat sangat berbeda. Siapa kini yang memiliki Batam sebenarnya? ~MNT
Comments