Menyimak Histori Sengketa Pemko – OB (Paradoks Otda)


Oleh Muhammad Natsir Tahar


Tak terasa waktu terus merambat. Kini sudah di tengah tahun 2008. Belum lama rasanya publik mengamati silang sengketa dua institusi pemerintahan di Batam. Pemerintah Kota (Pemko) dan Otorita Batam (OB) dulunya adalah dua seteru. Ketika sirene tanda dimulainya implementasi otonomi daerah (otda) dipencet, ketika itulah perang dimulai. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah tarik menarik berbagai kepentingan. Tak terhitung begitu besar cost dan waktu tersita untuk itu.

Sebelum keduanya sama-sama kosentrasi pada persiapan menyukseskan frame work FTZ BBK, ada tahapan sinkronisasi yang panjang dan melelahkan. Kedua aktor yang berada di tampuk kedua lembaga ini adalah puncanya. Buktinya, ketika keduanya tidak lagi berada di sana, islah pun berjalan mulus.

Adalah mantan Ketua OB, Ismeth Abdullah dan mantan Walikota Batam Nyat Kadir, dua tokoh di balik kisruh dualisme Pemko – OB kala itu. Dengan semangat Otda yang dilegalisasi dengan UU Nomor 22/1999, Nyat berserta perangkatnya mengobrak-abrik wilayah pertahanan OB, di tahun-tahun awal ia dinobatkan sebagai Walikota Batam. Meski eksistensi OB hanya dilahirkan melalui Keputusan Presiden Nomor 74 tahun 1971 yang secara hirarki perundang-undangan berada di bawah UU Otda, namun untuk mengambil alih berbagai kewenangan dari OB ternyata tidak bisa serta merta. Dengan UU Nomor 53 Rahun 1999 tentang pemekaran wilayah beberapa daerah termasuk Batam, Pemko bermaksud untuk menjadikan OB sebagai sub ordinat-nya

“Berbagai kewenangan dan perizinan akan kita serahkan kepada Pemko secara bertahap, dan tentunya sambil menunggu PP tentang pengaturan kewenangan antara keduanya,” ujar Ismeth, ketika menjabat ketua OB. “Saya bekerja sesuai dengan undang-undang, jika saya tidak berpikir dan bertindak dengan undang-undang (otda) itu, saya harus mempertanggungjawabkannya dalam laporan LPj. Ini juga adalah ukuran dari pencapaian saya, dalam menjalankan amanah yang saya pikul,” papar Nyat Kadir pula.

Tahapan tarik menarik kewenangan ini kemudian masuk ke dalam wilayah debat publik yang membentang ke sana kemari. Persoalan Pemko-OB tidak lagi menjadi urusan rumah tangga keduanya, namun juga menggema di ruang-ruang seminar, gedung – gedung prestisius, hingga ke gang-gang sempit dan pemukiman liar. Dari tingkat pusat sampai lingkungan RT. Sebuah anomali pun terjadi, tanpa disadari di sekeliling kedua gedung ini berdiri orang-orang yang siap berpihak kepada salah satunya. Tentu saja bukan gratis, seperti pepatah Inggris, there is no free launch.

Pengambil kesempatan – untuk tidak mengatakan mereka kaum oportunistik – bisa muncul dari kalangan politisi, organisatoris, LSM, mahasiswa, kelompok pengusaha, hingga pers. Jangan dihitung berapa banyak uang yang dihambur-hamburkan hanya untuk menciptakan opini publik, bahwa OB masih sangat dibutuhkan atau Pemko Batam memiliki hak otonom untuk mengurus rumah tangganya sendiri, misalnya. Jangan ditanya berapa ribu tiket, berapa ribu penginapan, berapa miliar uang jalan yang digelontorkan kedua institusi ini, untuk perang argumentasi di tingkat pusat. Jangan pula ditanya berapa banyak yang kaya mendadak dari benefit perseteruan akbar ini.

Ada kompensasi yang tidak murah kepada siapa saja yang bisa merapat ke Ismeth atau ke Nyat. Banyak fasilitas yang menunggu di depan mata, misalnya jatah izin prinsip (IP) dari OB, atau perizinan dan proyek tertentu dari Nyat Kadir untuk pelobi kelas kakap. Ratusan proposal pun wara wiri disertai kedipan mata, hampir tidak ada yang ditolak asal berpihak. Untuk kalangan pemula, ada uang kas yang juga cukup menggiurkan. 

Maklum brangkas OB kala itu tersimpan dana taktis, yang salah satunya tersalur untuk kepentingan politis meski dibungkus dengan sebutan social development. Untuk diketahui Social Development adalah sebuah kebijakan baru OB dari Ismeth selain sektor perdagangan, perindustrian, pariwisata dan alih kapal. Sementara keuangan Pemko juga tidak seketat sekarang, jadi cukup mesiu untuk menahan gempuran OB. OB – Pemko akhirnya menciptakan sebuah model ekonomi trickle down effect yang absurd.


Asman Abnur Meledakkan Meriam ‘Demisioner’

Tak dinyana, pebisnis sukses Asman Abnur yang ketika itu menjabat Wakil Walikota Batam mencetus ide kontrovesial. “Agar Pemko dapat bekerja maksimal untuk menjalankan Otda, OB harus segera di-demisioner (dibekukan),” kata Asman di Jakarta. Statement ini dikutip Harian Media Indonesia, sontak Batam gempar. Kecaman dan pujian untuk Asman pun datang bergantian. Pro Ismeth amat menyesalkan Asman yang mulanya dianggap sebagai salah satu golden boy-nya Ismeth, kini menjadi “anak durhaka”. Bagi orang Pemko, Asman dipuji karena berani membuat ijtihad politik yang smart.

Pasca ledakan meriam Asman, OB semakin merapatkan barisan. Orang-orang pro Ismeth pun semakin bertambah. Hal ini makin dikacaukan oleh solidnya isu putera daerah versus pendatang, dan Melayu versus non Melayu. Sehingga dapat ditebak mana-mana barisan yang merapat ke Ismeth atau Nyat Kadir, namun ada juga yang berdiri di antara keduanya, mencari tahu mana kira-kira yang lebih menguntungkan. Untuk mengingatkan, ini bukanlah perseteruan antaretnis.

Orang pusat yang diharapkan dapat menjadi penengah tak banyak bisa diharap. Peraturan Pemerintah (PP) tentang pembagian kewenangan Pemko – OB, bahkan tersembunyi entah di laci meja pejabat yang mana. Tarik menarik kepentingan Pemko-OB dibiarkan mengambang, artinya psy war (perang urat syaraf) masih akan berlanjut. Dan orang pusat seolah menikmati pertikaian ini. Sampai akhirnya wacana penerapan Free Trade Zone (FTZ) di Batam bergulir.

Pemko langsung meradang, ketika draft FTZ diketahui akan berlaku untuk seluruh Batam. Mereka kemudian merumuskan model FTZ Enclave (kantong), agar wilayah kerja Pemko Batam tidak tereduksi. Selain soal FTZ, kebijakan keduanya dirilis dalam versi yang selalu berbeda. Misalnya Masterplan OB dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Izin Prinsip (IP) dari OB dengan Izin Alokasi dari Pemko untuk lahan Rempang Galang, ini hanya sekadar contoh.

Bagi investor, peperangan ini semakin membingungkan. Di samping entry barier investasi menjadi lebih besar, rentang birokrasi dua lapis yakni dari Pemko dan OB tentu saja menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Investor terpaksa ditenangkan dengan rencana pembentukan otonomi khusus Batam, meski akhirnya tak pernah sampai pada tataran realisasi.

Kisruh Pemko – OB tak lain adalah kisruh dua pendekar di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan Ismeth Abdullah dan Nyat Kadir. Bedanya, Ismeth yang berciri realistis pragmatis berhadapan dengan seorang Nyat yang bertipikal idealis emosional. Sejak jadi nakhoda Pemko Batam, mantan tokoh guru ini bertekad untuk memastikan Batam dapat mengatur rumah tangganya sendiri, serta mereduksi wilayah kerja OB yang dianggap sebagai perpanjangan tangan pusat (paradoks otda). 

“Saya bukanlah orang yang suka diatur-atur, saya memiliki prinsip yang kuat untuk menjalankan amanah sebagai seorang walikota. Secara pribadi saya tidak bermasalah dengan pak Ismeth, kami baik-baik saja dan akrab pada setiap ada pertemuan juga sering berhubungan lewat telepon,” kata Nyat, dalam suatu wawancara.

“Tidak ada yang salah dengan OB atau Pemko, keduanya sama-sama ingin mempertahakankan eksistensi masing-masing. Untuk itulah kita membutuhkan pembagian kewenangan yang dituangkan dengan PP,” sebut Mambang Mit, yang ketika itu menjabat Sekretaris Kota Batam.

Tekad Nyat untuk segera mengambil alih berbagai kewenangan di tangan OB kerap dipatahkan oleh mereka yang menganggap OB masih amat diperlukan. Beberapa argumen yang muncul adalah bahwa Pemko Batam belum memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk menangani tugas-tugas OB. Selain itu pengalihan wewenang harus dilakukan secara gradual (bertahap) agar Pemko benar-benar siap menerima limpahan berbagai kewenangan. Solusi yang diberikan terdengar manis, namun ada kekuatan politik yang menginginkan keduanya terus berseteru.

Pemko Batam sebenarnya hampir kelelahan. Kadang-kadang muncul celetukan dari beberapa pejabat pemko, “Coba kalau hak pengelolaan lahan yang ada di tangan kita, pasti OB tidak bisa berbuat banyak,” sebuah kata bersayap yang menyiratkan bahwa kekuatan OB ada pada hak pengelolahan lahan. Entahlah..!


Gencatan Senjata

Banyak kalangan menilai, Ismeth adalah seorang ahli strategi. Ia memiliki jaringan di tingkat lokal hingga nasional yang cukup solid. Sementara Nyat adalah seorang yang memiliki spirit dan prinsip yang kuat namun cenderung eksklusif. Seteru Pemko-OB kemudian melebar ke wilayah politik. Beberapa kali pemilihan posisi ketua di organisasi atau paguyuban sampai ketua partai, selalu sulit dipisahkan dari kepentingan Ismeth dan Nyat-Asman. Meski demikian ada juga beberapa hal yang dapat mereka kerjasamakan, salah satunya adalah, alih fungsi hutan lindung Dam Baloi hasil runding Ismeth dan Asman.

Secara umum dalam akhir kisah ini. Ismeth keluar sebagai pendekar pilih tanding. Manuver-manuvernya hampir semuanya mulus. Mulai dari Pilkada Gubernur hingga membangun regenerasi di tubuh OB dan Pemko Batam. Pengganti Nyat yang mundur karena pencalonannya sebagai kandidat gubernur Kepri adalah Manan Sasmita yang notabene orang OB. Ini lah awal penyatuan OB – Pemko, yang kemudian difasilitasi DPRD Kota Batam, muncullah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) kerjasama berbagai bidang antara Pemko – OB, yang ditandangani oleh Pjs Wako Manan Sasmita, Ketua OB Mustofa Widjaya dan Ketua DPRD Batam Surya Respationo.

Sejak adanya MoU itu, Soerya mengibaratkan Batam bukan lagi kapal dengan dua nakhoda. ’’Tetapi kapal dengan dua mesin, jadi saling melengkapi. Kami (perangkat pemerintah daerah) juga pincang tanpa OB,” ujar Soerya. Meski demikian, Soerya meminta pusat untuk segera menerbitkan PP hubungan kewenangan Pemko-OB dengan mengakomodasi hasil MoU tahun 2004 yang diteken Pemko, DPRD dan OB.

Ismeth hengkang dari OB, penggantinya adalah Mustofa Widjaya, yang menurut kabarnya seperti Soeharto menitipkan Habibie sebagai Presiden RI ke 3. Dalam Pilwako 2005, Ahmad Dahlan yang dulunya adalah Kabiro Humas OB juga terpilih sebagai Walikota Batam. Pemko – OB pun kini ibarat pinang dibelah dua. Praktis lini-lini strategis di Batam dipegang orang-orang Ismeth. Kecuali di DPRD Batam, karena Soerya adalah rivalnya, yang maju sebagai calon wakil gubernur berpasangan dengan Nyat Kadir, beberapa waktu lalu.

Strategi Ismeth bukan a,b,c, d, tapi a – z, lengkap sekali. Ketika menjadi caretaker gubernur Kepri, ia telah mewacanakan Special Economic Zone (SEZ) untuk wilayah Kepri. Ini adalah ikon kampanye Ismeth berikut proyek-proyek prestisius lainnya seperti jembatan Batam – Bintan, Universitas Negeri dan Kepri Airlines. Format SEZ yang terintegrasi, di dalamnya mengisyaratkan bahwa gubernur adalah Ketua Dewan Kawasan (DK). Obsesi itupun menjadi nyata dengan disahkannya FTZ Batam, Bintan dan Karimun (BBK) di mana Ismeth adalah Ketua DK. Sempurna bukan? ~MNT

Comments