Ilustrasi: i.kinja-img.com |
Belum kau
dengar sampai kini, orang gila yang pada suatu pagi nan cerah menyalakan
lentera, lalu memasuki pasar dan menjerit berulang-ulang, Aku mencari Tuhan!
Aku mencari Tuhan!-Lantaran yang berdiri di sekitarnya pada saat itu
orang-orang yang tidak mempercayai Tuhan, orang gila itu hiburan segar.
Apakah
Tuhan hilang? kata salah satunya. Ataukah Ia menyembunyikan diri? Takutkah Ia
kepada kita? Naik kapalkah Ia? Pindah ke negeri lainkah Ia? Demikianlah mereka
bersorak tertawa-tawa.
Namun
orang gila itu menusuk mereka dengan lirikannya: Ke mana gerangan Tuhan
pergi. Ia berseru; Akan kuberi tahu kalian. Kita telah membunuh
Dia-kalian dan aku! Kita semua pembunuh Dia. Tapi bagaimana kita menuntaskannya?
Bagaimana
kita bisa mengosongkan laut? Siapa yang memberi kita spons untuk menyapu
semesta-cakrawala? Apa yang kita lakukan bila kita lepaskan bumi ini dari
mataharinya? Ke mana bumi kini berjalan? Ke mana kita sendiri menuju?
Ini tadi
adalah penggalan esai Friedrich Nietzsche (1844-1900) yang menuntut transvaluasi
nilai terhadap cara pemikiran lapuk yang membelenggu manusia. Sebagai bapak
post-modernis, Nietzsche sudah menyangka kalau upaya penerobosan moral-nya,
tidak mudah dimengerti dengan cepat. Ia pun tak butuh pengakuan lekas,
sebanding dengan hipotesisnya, butuh waktu 200 tahun setelah ia meninggal,
barulah metafora-metaforanya dapat dipahami.
Penggalan
esai Nietzsche soal Orang Gila itu adalah bagian terpisah dari tulisan ini.
Cukuplah ia menjadi bahan kontemplasi bagi kita semua, apakah kita telah ikut
membunuh tuhan dalam diri kita?
Nietzsche
tidak bisa ditelan bulat-bulat, bila kita tidak siap dengan narasi besar yang
ingin dibangunnya. Alih-alih tercerahkan, manusia malah terseret kepada
agnostik dangkal yang sekonyong-konyong melompat menjadi ateis. Apalagi
Nietzsche tidak tunggal, tulisannya baru diterbitkan setelah mati, ada
kemungkinan ide-ide liar diselipkan ke dalamnya.
Para ahli
mendeteksi adanya penyimpangan ide-ide Nietzsche sedemikian rupa sehingga
Hitler mampu menggunakan gagasan-gagasan yang kelihatannya seperti ide-ide
Nietzsche sebagai dukungan filosofis bagi rezim politik rasisnya sendiri.
Penggalan-penggalan
Nietzsche sebagai filsuf paling menggairahkan pasca-modern ini, menghasilkan
efek kejut kepada kita yang lena oleh kedataran pikiran. Pikiran menjadi
seukuran selokan kecil dibanding samudera luas yang bisa ia adakan. Seolah
Nietzsche, saya ingin bertanya, sudah sejauh mana kita menghina pikiran kita
sendiri, dengan hanya menaruhnya di selokan sempit yang mungkin sedang
tersekat, lalu membiarkan sembarang orang menuntunnya.
Di antara
kesakitan yang mendera tubuhnya, Nietzsche menciptakan Superman. Ini jelas
berbeda dengan manusia super pembela kepentingan Amerika, musuh Lex Luthor
dengan celana dalam di luar dan terbang secepat peluru itu. Meskipun pahlawan
Kripton yang ke sana kemari dengan secarik sayap merah itu diciptakan tak lama
setelah kepergian Nietzsche.
Nietzsche
ingin agar orang-orang bisa melampaui diri mereka sendiri dan menjadi
Übermensch (kata Jerman dari Superman). Mulanya Nietzsche membagi manusia
menjadi dua bagian dalam metafora Apolonia dan Dionisius.
Apolonia
menurutnya menimbulkan moralitas budak yang menyebabkan orang-orang mengadopsi
mentalitas ternak. Jika dikaitkan dengan demokrasi, dalam struktur masyarakat
yang mayoritas adalah Apolonia, maka demokrasi akan tersumbat. Alih-alih
menjadi tuan sebagaimana ide dasar demokrasi, masyarakat Apolonia justru berada
dalam moralitas budak: butuh junjungan dan membelanya sampai mati, tak hirau
benar atau salah.
Ada
perbedaan elementer antara budak dengan rakyat. Rakyat sebagai inti bumi
demokrasi akan selalu berada dalam netralitas ruang publik dengan level pikiran
yang luas tanpa belenggu. Jika pemimpin itu baik dia memberi apresiasi, jika
buruk ia akan menyampaikan kritik membangun. Tidak malah denial seolah-olah
suruhan demagog, yang kita lihat hari-hari ini.
Sedangkan
budak, sepanjang hayatnya akan terlihat menyedihkan. Ia akan membela tuannya
sampai mati dan akan memusuhi tuan yang lain sekuat-kuatnya. Pikirannya akan
demikian terpenjara oleh pilihan-pilihan politiknya. Pilihan politik yang
kadang ia lupa, telah diselinapkan oleh siapa.
Aristoteles
dan Nietzsche bermusuhan dalam hal pikiran, tapi dalam menyikapi Apolonia
mereka harus sepakat, budak-budak Apolonia tidak pantas menerima mahkota
demokrasi. Keduanya menginginkan agar Apolonia (diambil dari hegemoni dewa
Apollo) diasuh oleh Aristokrasi: persoalan negara diserahkan kepada cerdik
cendikia berbudi luhur.
Ironinya,
Nietzsche sempat memuji Apolonia sebagai ternak yang berbudi, rasional dan
kalem. Sedangkan di Indonesia hari ini dan hingga entah kapan, Apolonia adalah
kerumunan rusuh dan mencaci maki di sosial media. Kita belum ada ubahnya dengan
masyarakat kuno Sparta 2.500 tahun yang lalu dalam tingkat keriuhan
demokrasinya.
Selanjutnya
Dionisius, adalah manusia yang memiliki moralitas tuan dan bermental pahlawan,
terlepas dari predikat buruk yang juga disematkan Nietzsche ke dalamnya.
Dionisius memunculkan paradoks demokrasi, karena di level ini, Supermen yang
terbaik di antara mereka akan menjadi aristokrat, di sisi lain masyarakat
Dionisius justru yang paling layak menerima mahkota demokrasi.
Pengungkapan
kehebatan spirit manusia dalam Superman dapat kita gunakan untuk membongkar
habis pikiran-pikiran ombak permukaan tentang demokrasi serta keanehan-kelucuan
yang menyertai terminogi-terminologi seperti elektabilitas, oposisi, parlemen,
koalisi, kampanye dan seterusnya, yang mungkin akan dibahas dalam tulisan saya
yang lain. ~MNT
Comments